GALUNG Ambarita terpaksa menunda ujian kesarjanaannya, bukan
atas maunya sendiri. Mahasiswa Fak. Pertanian USU (Universitas
Sumatera Utara), Medan, itu seharusnya Oktober Ini menempuh
ujian sarjana lengkap. Tapi malang, ia masuk dalam 824
mahasisvwa USU yang belum membayar SPP (sumbangan pembinaan
pendidikan) tahun kuliah 1982/1983. Menurut keputusan Prof. Dr.
Parlindungan Lubis, Rektor USU, yang belum membayar SPP hingga
batas waktunya, 11 September, tidak dibolehkan mengikuti ujian
semester tahun ini.
Keputusan rektor itu terasa keras bagi mahasiswa. "Terlalu
drastis dan kurang manusiawi," kata Patisiri Ginting, Ketua
Senat Fak. Pertanian, yang juga termasuk yang terkena sanksi
SPP. Masalahnya, katanya, "kebanyakan yang telat membayar SPP
itu datang dari keluarga kurng mampu."
Tapi di pihak USU sendiri keterlambatan setoran SPP bisa
berakibat fatal. SPP di USU tahun ini ditetapkan Rp 42 ribu,
yang harus dibayar sekaligus. Untuk mahasiswa fakultas eksakta
masih ditambah uang praktikum dan laboratorium Rp 20 ribu. Maka
824 mahasiswa dari lima fakultas eksakta dan tiga falkultas
noneksakta USU itu, paling tidak menunggak lebih dari Rp 35
juta. Uang itu antara lain untuk membiayai penelitian,
pembelian alat dan bahan laboratorium, juga uang kesejahteraan
dosen dan karyawan lainnya.
Tahun lalu Rektor masih bersikap lebih lunak, memberikan
perpanjangan pelunasan SPP sampai lima kali. Tapi akibatnya, USU
harus berutang pada BNI 1946, Medan--artinya USU harus membayar
bunga, yang seharusnya tidak perlu. Jalan ini ditempuh, karena
keterlambatan terkumpulnya SPP itu "cukup mengganggu mekanisme
fakultas, khususnya untuk anggaran rutin."
Sebetulnya keputusan Rektor USU tidak mendadak. Mahasiswa sudah
diber i kesempatan dua kali perpanjangan. SPP yang seharusnya
dilunasi Juli lalu, kemudian diundur hingga 11 September. "Apa
itu tidak manusiawi" kata Parlindungan kepada TEMPO. "Mereka
memang sengaja telat membayar."
Para mahasiswa USU tidak tinggal diam. Awal Oktober mereka
mencoba menemui Rektor untuk membicarakan sanksi yang mereka
rasakan sebagai sebagian besar, terutama menyangkut masa
kuliah. Di Fak. Pertanian misalnya, untuk menyelesaikan
kesarjanaan, hanya dibutuhkan waktu 4 « tahun. Tapi dengan adanya
sanksi SPP itu,"kami paling cepat baru bisa lulus setelah 5 «
tahun," tutur Patisiri. Tapi usaha mahasiswa tak menemui hasil
apa pun. Rektor yang tak bisa ditawar lagi itu hanya bilang
bahwa masa pembayaran SPP tidak akan diperpanjang lagi.
Mengapa mahasiswa terlambat membayar SPP? Galung Ambarita, asal
Tanah Jawa, Pariaman, 125 km dari Medan, memang mengalami
kesulitan. Anak sulung dari 11 bersaudara itu, bercerita betapa
panen di kampungnya terlambat, entah karena apa. "Bagi kami,
hasil panen itulah tempat kami bergantung," katanya kepada TEMPO
Dan mahasiswa yang tergantung panen (karet maupun padi) konon
tidak sedikit. Karena itulah Daulat Sitorus, anggota DPRD
Kotamadya Medan menghimbau rektor USU agar meninjau kembali
keputusannya. "Boleh jadi resesi dunia mempengaruhi nasib petani
karet rakyat dan petani lain," kata wakil rakyat itu.
Tapi menurut pengamatan rektor, alasan ekonomis hanya
dicari-cari. "Buktinya, mahasiswa masih mampu membeli rokok
Gudang Garam. Berapa itu harganya?" katanya. "Lagipula
kebanyakan mahasiswa USU mempunyai sepeda motor." Tentu saja dia
bukan tak menyadari, bahwa di antara 824 mahasiswa yang terkena
sanksi, tentu ada yang tidak mempunyai motor dan tidak merokok -
terutama mahasiswinya yang benar-benar sedang kesulitan uang.
Bagi mereka terbuka dispensasi apabila melapor sebelum 11
September. Kcnyataannya, memang ada sejumlah mahasiswa yang
membayar SPP setelah batas waktu, 11 September itu, dan tidak
terkena sanksi.
Di perguruan tinggi negeri yang lain, bukannya tidak ada
mahasiswa yang terlambat membayar SPP. Cuma jumlahnya tidak
begitu besar seperti di USU. Di Unair, Surabaya, misalnya,
menurul Prof. Ir. Soekarman, Purek 11 Unair, tahun ini ada 40
mahasiswa yang belum melunasi SPP-nya. Ini karena bermacam
sebab. Antara lain, kiriman uang dari orang tua terlambat,
mahasiswa itu sibuk dan sebagainya. Yang jelas jumlah itu tidak
mengganggu jalannya perkuliahan.
Yang unik di Unand, Padang. Untuk mengatasi keterlambatan
pembayaran SPP, mahasiswa diwajibkan melapor sebulan sebelum
batas waktu, bila mereka merasa akan telat membayar. Untuk ini
Unand akan memberi pinjaman kepada mahasiswa tersebut, dengan
perjanjian akan dilunasi dalam jangka waktu tertentu.
Ternyata tidak banyak yang kemudian "bersedia dipinjami"
itu--mungkin gengsi. Menurut Rektor Unand, Drs. Mawardi Yunus,
kini hanya ada 3-4 mahasiswa yang terlambat membayar. Tidak
dijelaskan memang, andaikan banyak yang terlambat membayar SPP,
dari mana Unand mendapat uang untuk meminjami mahasiswa itu.
Kasus di USU memang menimbulkan tanda tanya: besarnya jumlah
mahasiswa yang terlambat membayar SPP--lebih dari 5 « % dari
jumlah mahasiswa USU seluruhnya yang 14.500 itu. Dugaan pun
macam-macam. Misalnya, mungkinkah mereka masih kurang puas
dengan universitasnya yang telah menyediakan laboratorium untuk
tiap fakultasnya, begitu pula asrama meski masih kecil daya
tampungnya? Atau luka lama -- beberapa waktu lalu mahasiswa Fak.
Teknik masih harus praktek ke ITB dengan biaya sendiri, misalnya
-- masih membekas? Apa pun sebabnya, adalah menarik bila USU
sendiri mencoba mengungkapkan latar belakang itu. Untuk tidak
menelantarkan administrasi universitas, tapi juga tidak
merugikan mahasiswa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini