Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Hasil riset Puskapol menyimpulkan penyebab biaya mahal pilkada akibat politik uang.
Mahar politik kandidat kepala daerah kepada partai jadi penyebab biaya pilkada tinggi.
Pilkada lewat DPRD tidak menjamin jual-beli suara hilang.
HASIL riset Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia tentang sistem pemilihan kepala daerah empat tahun lalu masih relevan menjadi pijakan saat ini. Riset Puskapol itu berkutat pada beberapa opsi sistem pilkada, baik pemilihan langsung maupun lewat dewan perwakilan rakyat daerah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peneliti Puskapol Universitas Indonesia, Delia Wildianti, mengatakan ada empat poin utama dari kajian lembaganya tersebut. Pertama, tidak ada jaminan pilkada lewat DPRD akan menghasilkan pemimpin yang lebih baik dibanding pemilihan langsung. Kedua, pilkada di DPRD tak bakal menghilangkan politik uang dan jual-beli suara. Ketiga, sesuai dengan pengalaman politik pada 1999-2004, relasi eksekutif dan legislatif di daerah membuktikan adanya instabilitas politik akibat pelaksanaan program pembangunan yang tidak mudah disetujui oleh DPRD. Keempat, akuntabilitas vertikal antara pemimpin dan rakyat akan makin tergerus atau hilang jika sistem pilkada kembali ke DPRD.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Delia mengatakan, sesuai dengan hasil riset lembaganya itu, ada beberapa faktor penyebab tingginya biaya politik. Faktor tersebut antara lain mahar politik, dana kampanye, biaya konsultan politik dan lembaga survei, politik uang, serta biaya untuk saksi-saksi saat pemungutan suara. “Artinya, siapa yang membuat pilkada ini menjadi mahal? Perilaku dari aktor politik itu sendiri dan normalisasi budaya korupsi dalam politik,” kata Delia, Senin, 16 Desember 2024.
Delia berpendapat para pelaku politik, baik partai politik maupun peserta pilkada, selama ini tidak jujur mengungkap pengeluaran mereka dalam mengikuti pilkada langsung. Mereka mengklaim biaya politik dalam pilkada langsung mahal, tapi para aktor politik itu tak membuka pengeluarannya secara transparan. “Sistem pilkada lewat DPRD belum tentu berdampak pada perbaikan dasar perilaku aktor politik dan budaya korupsinya,” ujar Delia.
Peneliti dari Transparency International Indonesia (TII), Sahel Muzzammil, menguatkan penjelasan Delia. Sahel mengatakan lembaganya tengah mengkaji biaya politik dalam pilkada. TII berkonsentrasi pada pelaporan dana kampanye pasangan calon kepala daerah yang disampaikan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan fakta-fakta di lapangan.
Hasil sementara pengkajian itu menunjukkan ada indikasi kandidat kepala daerah tidak mengungkap penerimaan dan pengeluaran mereka secara jujur dalam pelaporan dana kampanye ke KPU. TII membandingkan antara batas pengeluaran yang ditetapkan oleh KPU dan pengeluaran yang dilaporkan oleh pasangan calon dalam Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK).
Sahel mencontohkan pilkada di Banten. Di provinsi ini KPU menetapkan batas maksimal pengeluaran dua pasangan calon gubernur di Banten sebesar Rp 917 miliar. Tapi pengeluaran dua kandidat yang tercatat hanya sekitar Rp 9 miliar.
Menurut Sahel, dalam penetapan batas maksimal pengeluaran dana kampanye itu, KPU Banten pasti berdiskusi dengan peserta pilkada lebih dulu. Hasil diskusi itu yang jadi pijakan penentuan batas maksimal pengeluaran dana kampanye. Dengan demikian, batas maksimal pengeluaran dan laporan pengeluaran pasangan calon seharusnya tidak jauh berbeda. “Kalau jomplang seperti kasus di Banten, tentu ini menimbulkan tanda tanya, antara batas itu sengaja dibuat untuk tidak membatasi atau memang tidak ada kejujuran dalam laporan dana kampanye kandidat,” tutur Sahel.
Di luar kejanggalan tersebut, kata dia, batas maksimal pengeluaran yang ditetapkan oleh KPU juga menjadi indikasi biaya politik yang tinggi dalam pilkada. Batas maksimal pengeluaran itu menjadi prediksi ihwal total ongkos politik setiap pasangan calon.
Presiden RI, Prabowo Subianto, pada acara peringatan Hari Ulang Tahun Partai Golkar ke-60 Tahun dengan tema Golkar Solid Indonesia Maju, di Sentul Internasional Convention Center, Bogor, Jawa Barat, 12 Desember 2024. TEMPO/Imam Sukamto
Sistem pilkada dan biaya politik ini kembali menjadi sorotan saat Presiden Prabowo Subianto mengusulkan perubahan mekanisme pilkada, dari pemilihan langsung ke pemilihan di DPRD. Usulan itu diungkapkan Prabowo saat berpidato dalam perayaan ulang tahun Partai Golkar di Sentul International Convention Center, Bogor, Jawa Barat, Kamis, 12 Desember 2024. Acara ini dihadiri ketua umum partai politik pendukung pemerintahan Prabowo.
Prabowo mengeluhkan anggaran negara ataupun biaya politik pasangan calon yang dihabiskan dalam pilkada langsung. “Sekali memilih anggota DPR-DPRD, ya, sudah DPRD itulah (yang) memilih gubernur, bupati, wali kota,” kata Prabowo. “... Begitu banyak ketua umum partai malam ini (yang hadir), sebetulnya bisa kita putuskan malam ini juga.”
Agenda untuk menghidupkan kembali pilkada lewat DPRD juga mengemuka pada 2014. Saat itu Dewan Perwakilan Rakyat dan eksekutif mengesahkan perubahan Undang-Undang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Isinya, mengembalikan pemilihan kepala daerah ke DPRD.
Partai Gerindra dan lima partai politik lain di Koalisi Merah Putih—koalisi pendukung Prabowo Subianto dan Hatta Radjasa dalam pemilihan presiden 2014—mendukung perubahan sistem pilkada tersebut. Namun, di ujung masa pemerintahannya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang yang membatalkan perubahan undang-undang tersebut serta mengembalikan sistem pilkada langsung.
Mantan Komisioner KPU, Hadar Nafis Gumay, mengatakan ide pemilihan kepala daerah kembali ke DPRD bertentangan dengan konstitusi. Sebab, Undang-Undang Dasar tidak membedakan antara prinsip pemilu dan pilkada. Tapi prinsip pemilihan dalam konstitusi adalah jujur dan adil serta langsung, umum, bebas, dan rahasia.
Koordinator gerakan JagaSuara2024 ini masih mengingat ketika DPR dan eksekutif bersepakat mengubah sistem pilkada dari DPRD ke pemilihan langsung. Salah satu pertimbangannya adalah terjadi jual-beli suara partai politik ataupun anggota DPRD saat pemilihan di parlemen. “Salah satu faktor dulu kenapa mau diubah karena banyak permainan uang. Itu gelap sama sekali. Rakyat betul-betul tidak bisa mengikuti dan mengetahui proses pemilihan di DPRD,” ucap Hadar, Senin kemarin.
Selain itu, ada gap antara aspirasi rakyat dan keinginan anggota DPRD ataupun partai politik. Dengan demikian, keinginan rakyat tentang calon kepala daerah kerap berbeda dengan kehendak anggota Dewan.
Ia melanjutkan, biaya politik dalam pilkada menjadi tinggi antara lain akibat politik uang. Karena itu, Hadar mengusulkan agar berbagai perilaku buruk peserta pilkada ataupun partai politik dalam pilkada itu seharusnya diubah.
Hadar juga menyarankan sistem pilkada langsung dibuat lebih sederhana untuk menghemat anggaran. “Jangan dikasih uang berlebihan kepada penyelenggara sehingga mereka mengerjakan hal-hal yang tidak efisien dan tidak perlu,” katanya. “Penggunaan teknologi juga bisa mengurangi biaya penyelenggaraan, misalnya rekapitulasi suara.”
KPUD Jakarta menggelar rekapitulasi suara calon Gubernur dan Wakil Gubernur Pilkada Jakarta di tingkat Provinsi, di Hotel Sari Pan Pacific, Jakarta Pusat, 7 Desember 2024. TEMPO/Martin Yogi Pardamean
Dosen hukum pemilu Universitas Indonesia, Titi Anggraini, juga menentang sistem pilkada dikembalikan ke DPRD. Ia berpendapat, sistem pilkada langsung memang harus dievaluasi agar lebih efektif dan efisien. Tapi sistem pilkada tidak semestinya dikembalikan ke DPRD. Sebab, pemilihan lewat DPRD tidak serta-merta menghilangkan politik uang dan tak mengurangi biaya tinggi dalam pilkada.
Ia yakin peran dan pengaruh partai politik pasti sangat besar dalam pencalonan kepala daerah lewat sistem pilkada di DPRD. “Politik uang bisa makin buruk apabila pemilihan benar-benar sepenuhnya dilakukan tidak langsung, tapi melalui wakil-wakil partai di DPRD,” tutur Titi.
Tindak Lanjut Usulan Prabowo
Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya Sugiarto mengatakan usulan Presiden Prabowo Subianto tersebut berasal dari aspirasi yang kuat di masyarakat. Politikus Partai Amanat Nasional ini mengaku mendapat informasi bahwa ongkos pilkada kabupaten-kota mencapai puluhan miliar rupiah dan pilkada provinsi di atas Rp 1 triliun.
“Jelas ini tidak sehat dan merusak sistem politik dan demokrasi kita. Harus ada evaluasi menyeluruh. Namun evaluasi ini harus terarah, termasuk akar dari politik biaya tinggi,” kata mantan Wali Kota Bogor ini, Senin kemarin.
Ia mengatakan Kementerian Dalam Negeri akan membuka ruang publik untuk membahas berbagai opsi sistem pilkada, termasuk pemilihan lewat DPRD. Bima mengatakan pemerintahan Prabowo juga terbuka dengan konsep pilkada asimetris, yaitu pilkada langsung hanya diberlakukan di daerah yang memenuhi indikator tertentu.
Menteri Hukum Supratman Andi Agtas mengatakan opsi perubahan sistem pilkada akan menjadi pertimbangan dalam perubahan Undang-Undang Pilkada. Perubahan Undang-Undang Pilkada itu menjadi satu paket dengan revisi Undang-Undang Pemilihan Umum. Politikus Partai Gerindra ini mengatakan DPR yang menyiapkan naskah akademik dan draf revisi undang-undang tersebut. “Kami masih menunggu DPR mengajukan RUU-nya,” kata Supratman.
Ketua Komisi II DPR Muhammad Rifqinizamy Karsayuda mengatakan usulan Presiden Prabowo tersebut merupakan masukan penting dalam menyusun revisi undang-undang paket politik. Dalam penyusunan draf undang-undang, kata dia, DPR akan mengevaluasi pelaksanaan Pemilu 2024 dan pilkada serentak 2024 lebih dulu.
“Kami ingin mengambil posisi bahwa revisi terhadap paket undang-undang politik yang di dalamnya terdapat bab tentang pemilu, pilkada, parpol, dan hukum acara sengketa pemilu dibuat jauh hari sebelum 2029 agar kami punya waktu yang panjang dan mendalam terhadap perumusan itu,” ucap politikus Partai NasDem ini.
Anggota Komisi II DPR, Zulfikar Arse Sadikin, mengatakan revisi paket UU Pemilu sudah masuk Program Legislasi Nasional 2024. Tapi Badan Legislasi belum memutuskan revisi itu masuk prolegnas prioritas.
Politikus Partai Golkar ini juga mengatakan komisinya akan mempertimbangkan usulan Prabowo tersebut saat membahas revisi Undang-Undang Pemilu. Apalagi putusan Mahkamah Konstitusi menyebutkan pemilu dan pilkada berada dalam satu rezim.
Deddy Sitorus, anggota Komisi II DPR dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, menegaskan fraksinya menolak usulan perubahan sistem pilkada langsung tersebut. “Kami tetap mendukung pilkada langsung,” katanya. ●
Hendrik Yaputra berkontribusi dalam penulisan artikel ini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo