LEBIH dari seratus rumah melompong tak berpenghuni. Juga 200 ha lahan pertanian di sekeliling permukiman di Desa Lekak Pakok, Kabupaten Bulungan, Kal-Tim, tampak sepi. Padahal, proyek senilai Rp 100 juta -- yang dipersiapkan mendadak sejak Februari lalu -- itu diperuntukkan bagi hampir dua ratus orang suku Dayak Kenyah yang akan dideportasikan pemerintah Serawak. Kabar deportasi itu pertama kali diterima Gubernur Kal-Tim, Soewandi, pertengahan Januari lalu. Lewat teleks dari Danar Dunus, Konjen Rl di Kota Kinabalu, Sabah, diberitakan: Hampir dua ratus orang suku Dayak Kenyah yang menyeberang dan menjadi tenaga kera di Serawak konflik dengan penduduk setempat. Tak dirinci apa bentuk konflik itu. Tetapi ada sebuah sumber yang mengatakan bahwa orang-orang Dayak -- yang sudah merembes ke negeri tetangga sejak tahun 1970 itu -- tadi membabat hutan lindung. Apa pun kesalahan kaum pendatang haram itu, ancaman pemerintah Serawak cukup merepotkan Pemda Kal-Tim. Soalnya mereka merencanakan akan memulangkan tenaga kerja -- yang kebanyakan bekerja di perkebunan kelapa sawit -- dengan helikopter. Karena itu, demikian bunyi teleks tadi, pemerintah Serawak minta kepastian lokasi untuk memulangkan mereka. Langkah cepat segera dilakukan. Tim Pengembalian Pelintas Batas (TP2B) -- yang antara lain beranggotakan Korem, Departemen Transmigrasi, Sosial, Pertanian -- segera dibentuk. Empat bulan kemudian, hasil kerja sudah tampak. Di Desa Lekak Pakok Kabupaten Bulungan, Kal-Tim, sudah berdiri seratus rumah, dan dua ratus hektar lahan pertanian siap garap. Tetapi yang ditunggu tak muncul-muncul. Memang pada akhirnya deportasi itu tak jadi berlangsung. Minggu pertama Mei lalu, diperoleh kabar bahwa pemerintah Serawak membatalkan pemulangan itu. Bahkan lewat surat Sekjen Keselamatan Negeri Serawak, aparat keamanan di sana, pelintas batas gelap tadi akan dijadikan tenaga kerja resmi. Artinya, status mereka akan diputihkan. Menurut Danar Dunus, penyeberangan itu sudah terjadi sejak lima belas tahun lalu. Orang-orang yang melintas ke Serawak itu didorong kenyataan bahwa lahan pertanian mereka ternyata sudah tak subur lagi. Ini memang masalah utama bagi penduduk di kawasan Kayan hulu dan hilir. Lahan pertanian yang tandus serta biaya hidup yang tinggi bayangkan harga gula Rp 2.000 sekilo dan minyak tanah Rp 1.500 seliter -- cukup alasan untuk hijrah. Maka, di daerah yang dahulu pernah menjadi basis TNI -- kala konfrontasi dengan Malaysia -- jumlah penduduk susut dengan cepat. Kini hanya tinggal 5 ribu orang dari 20 ribu kala itu. Dan berpindah ke Serawak bukan masalah bagi suku Dayak Kenyah. Budaya mereka dengan tempat baru toh hampir sama. Selama bersekutu dengan lingkungan setempat, 50 anak lahir hasil perkawinan campur. Suku Dayak memang suku asli Kalimantan. Ada lusinan suku ini yang tinggal di pedalaman Kahmantan yang luas itu. Barangkali kehidupan di Ulu Blaga, sebuah tempat terpencil di pedalaman divisi VII, Serawak, sudah cukup enak bagi orang Dayak Kenyah itu. Inilah tempat akhirnya mereka menetap. Di sini mereka sudah mempunyai pekerjaan tetap, menjadi buruh perkebunan kelapa sawit. Maka, permukiman yang sudah telanjur dibangun itu, "Akan kita alihkan untuk penampungan lain," ujar Imam Achmad, Kepala Bina Kesejahteraan Sosial, Depsos Kal-Tim. Tapi yang merepotkan adalah pengalihan anggaran pembangunannya. "Proyek ini memakai anggaran tambahan dari pusat. Jadi repot pengalihannya nanti," katanya. Orang yang kecewa dengan eksodus yang batal ini adalah Gubernur. "Kita sudah capek-capek menyiapkan, kok tidak jadi," ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini