LAMPU merah akhirnya menyala pula. Ini terjadi Sabtu pekan lalu setelah Menteri Dalam Negeri Rudini menerbitkan surat keputusan tertanggal 24 April. Isinya, pemerintah Indonesia melarang organisasi kemasyarakatan (Ormas) dan lembaga kemasyarakatan di Indonesia menerima bantuan dari pemerintah Belanda atau dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) Belanda yang dananya didapat dari pemerintahnya. Dengan putusan ini, nasib LSM dan Ormas menjadi runyam. Karena, mereka yang membangkang, artinya secara diam-diam tetap menerima dana tersebut, akan ditindak. "Akan dikenai sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku," kata Rudini yang bertindak selaku pembina politik dalam negeri. Dengan demikian, bantuan dari luar negeri tak akan gampang masuk ke Indonesia. "Setiap bantuan yang diberikan kepada organisasi kemasyarakatan harus diberitahukan kepada Pemerintah," kata Menteri Sekretaris Negara Moerdiono. "Jadi, sebenarnya, Pemerintah berhak saja membubarkan atau membekukan pengurus apabila mereka mengganggu keamanan, menerima bantuan dari pihak asing atau memberi bantuan kepada pihak asing yang merugikan kepentingan bangsa dan negara," katanya lagi. Aba-aba turunnya SK itu, sebenarnya, sudah terdengar santer beberapa minggu lalu. Dan ini merupakan kelanjutan sikap Pemerintah yang menolak bantuan Belanda dan membubarkan IGGI. Gara-gara bantuan itu, Pemerintah merasa didikte. Selain itu, sering pula LSM pemberi dan penerima bantuan suka bikin kesal dengan kritik-kritiknya yang pedas (TEMPO, 18 April 1992). Dampak penyetopan bantuan itu tampaknya bakal besar bagi perekonomian rakyat kecil, yang selama ini sering mendapatkan dana yang disalurkan LSM. Maklum, jumlah dana dari berbagai LSM Belanda ke LSM di Indonesia setiap tahunnya tak kurang dari Rp 27 milyar atau hampir seperenam bantuan Belanda lewat IGGI. Maka, LSM gede, seperti YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia), Walhi (Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), dan juga PKBI (Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia) diduga bakal kelabakan. Misalnya saja YLBHI. Tiap tahunnya ia menerima bantuan hibah sekitar Rp 900 juta dari NOVIB (Nederlandse Organisatie Voor Internationale Bijstand), atau 90 persen dari anggarannya. Itu terjadi sejak tahun 1980. Maka, menurut Mulyana W. Kusumah, Wakil Ketua Dewan Pengurus YLBHI, secara politis penghentian dana itu akan berpengaruh terhadap LSM, baik yang mendapat bantuan dari Belanda maupun yang dari negara lain. "Dana yang masuk, dari mana pun datangnya, nanti tentu akan lebih ketat pengontrolannya," kata Mulyana. Sehubungan dengan larangan menerima bantuan dari Belanda itu, sebenarnya Pemerintah masih memberi kesempatan kepada beberapa LSM yang belum selesai proyeknya untuk meneruskannya. Mereka dianjurkan berkonsultasi dengan departemen teknis yang bersangkutan. Yang mungkin akan terpukul oleh penyetopan bantuan ini justru rakyat kecil yang selama ini menerima bantuan lewat LSM. Karena, biasanya mereka menikmati gulden itu lewat proyek-proyek, seperti pendidikan, penyuluhan, air bersih, industri kecil, koperasi, bank perkreditan, dan lain-lain. Sialnya, LSM yang membimbing mereka hampir tak pernah melontarkan kritik kepada Pemerintah. Dan tentu saja mereka tak berani lantang memprotes keputusan itu. Jalan yang ditempuh paling-paling menghentikan proyek. Lain halnya dengan LSM yang sudah biasa bersuara keras, seperti YLBHI. "Yayasan LBH Indonesia menyesalkan pernyataan Menteri Dalam Negeri. Sebab, kerja sama LSM Belanda dan LSM Indonesia tak didasarkan pada hubungan subordinatif, apalagi bersifat instrumental dalam arti LSM Indonesia menjadi alat politik LSM Belanda," begitu siaran pers YLBHI yang ditandatangani Mulyana Senin lalu. WY, Leila S. Chudori, dan Sri Wahyuni (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini