Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Raibnya dua muhidin

Dua warga plumpang yang bernama sama, Muhidin, diciduk. diduga gara-gara perkara tanah merah, kawasan plumpang. mereka pernah mengajukan tuntutan & menggugat Gubernur Jakarta dan Walikota Jak-Uut.

2 Mei 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MIRIP suasana lebaran, tamu keluar masuk rumah Haji Muhidin di Plumpang, Jakarta Utara, Ahad lalu. Bulan Syawal memang belum usai. Tapi, kedatangan tamutamu Haji Mudihin kali ini bukan untuk berhalal bihalal. "Kami datang ke sini untuk memanjatkan doa syukur bahwa Pak Haji telah kembali dengan selamat," ujar seorang tamu, sembari menyalami tuan rumah. Muhidin, 52 tahun, sempat membuat warga tanah sengketa Plumpang waswas. Lima hari dia menghilang. Dia mengaku dijemput tiga orang petugas, yang konon dari jajaran militer, pagi 21 April lalu. Pensiunan sersan kepala dari Batalyon Angkutan Air itu merasa tak kuasa menolaknya, kendati jemputan itu tak disertai surat tugas. "Sebab mereka berjanji sorenya saya bisa pulang," katanya. Peristiwa yang dialami Haji Muhidin itu rupanya berkaitan dengan perkara pembebasan kawasan Plumpang, yang sering pula disebut Tanah Merah, oleh Pertamina. Pemda DKI secara tegas menyatakan, tanah 6,5 ha yang berada di tiga kelurahan Jakarta Utara itu dimiliki secara sah oleh Pertamina. Namun, karena lama dibiarkan terlantar, ribuan warga mendirikan rumah di situ dengan status penggarap. Maka, muncullah tragedi klasik ala ibukota: penggusuran. Wali Kota Jakarta Utara telah menurunkan surat pembongkaran, akhir Desember lalu. Ribuan bangunan pun ambruk, ribuan warga tersingkir, termasuk pula sebagian warga Kompleks Batalyon Angkutan Air, tempat kediaman Haji Muhidin. Namun sebagian warga, ratusan jumlahnya, masih mencoba bertahan. Mereka mempertanyakan uang ganti rugi Rp 37 ribu tiap meter persegi untuk bangunan yang ditawarkan Pertamina. "Dengan uang itu, apa yang bisa diperbuat para warga," kata Muhidin, yang diakui warga Tanah Merah sebagai pimpinan informal. Alhasil, warga tanah tergusur itu mengajukan tuntutan atas Gubernur Jakarta dan Wali Kota Jak-Ut ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), dan menggugat keduanya lewat Pengadilan Negeri, Maret lalu. Pencidukan terhadap Muhidin itu boleh jadi merupakan jawaban atas manuver warga Tanah Merah. Muhidin mengaku mendapat tekanan selama di dalam tahanan aparat keamanan, tapi dia tak sampai diperlakukan secara kasar. Dia tak tinggal diam. "Saya melawan dengan cara mogok makan," ujar Muhidin. Namun, pertahanan Muhidin jebol juga akhirnya. Dia harus bersedia menerima uang ganti rugi dan membuat pernyataan mencabut tuntutannya, baik yang ke PTUN maupun yang ke pengadilan negeri. Yang mengherankan, dia menerima ganti rugi Rp 1,7 juta, padahal mestinya cuma Rp 1 juta. "Mungkin ini disengaja," katanya. Rupanya, tak cuma Haji Muhidin yang kena ciduk. Nasib serupa juga dialami oleh sesama pensiunan ABRI yang kebetulan namanya sama pula: Muhidin, 67 tahun. Dia menghilang sejak 16 April silam. "Saya tidak tahu bapak kini ada di mana," kata Aminah, istri Muhidin tua. Dia cuma bisa membuat laporan kehilangan suami ke Kodim dan Polres Jak-Ut. Sebelum raib, tutur Hamidah, suaminya mendatangi para kuli bangunan yang sedang mengerjakan pagar di atas tanah milik Pertamina itu. Kakek tua itu menyuruh mereka pergi. Mendadak seorang berseragam muncul, dan menegur keras si kakek. Mereka bertengkar. Tak lama kemudian, Muhidin diringkus dan dibawa pergi dengan sebuah mobil. Lalu dia lenyap. Kepala Penerangan Kodam Jaya, Letkol. TNI H.R. Permana, mengaku belum tahu tentang penahanan Muhidin muda dan raibnya Muhidin tua itu. Dia pun menolak memberikan komentarnya. "Saya mesti pelajari dulu duduk persoalannya," kata Permana. Akan halnya Muhidin muda, ternyata dia belum kapok. Dia masih akan terus memerkarakan pejabat Pemda DKI lewat pengadilan. Uang ganti rugi yang telah diterimanya tak akan diutak-utik. "Akan saya pakai sebagai barang bukti," katanya. Maksudnya, bukti bahwa ada intimidasi. Putut Trihusodo dan Siti Nirbaiti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus