Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Mencari Biang Huru-hara

Setelah menangkap 233 tersangka kerusuhan antaretnis di Sampit, kini polisi memeriksa Profesor M. Usop. Diduga ia ikut membakar emosi orang Dayak.

6 Mei 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


PROFESOR H. K.M.A. M. Usop adalah orang ternama di Palangkaraya. Lelaki berusia 65 tahun itu tidak hanya disegani di Kampus Universitas Palangkaraya, tapi juga dihormati oleh masyarakat Kalimantan Tengah. Maklum, selain mengajar, sehari-hari Usop juga dikenal sebagai Ketua Presidium Lembaga Musyawarah Masyarakat Dayak dan Daerah Kalimantan Tengah, sebuah lembaga yang menyatukan berbagai macam etnis Dayak di Kalimantan tengah.

Rumah Usop, yang terletak di Kompleks Perumahan Dosen Unpar, tak pernah sepi. Tamu-tamunya tak berhenti mengalir, terutama setelah meletusnya kerusuhan antaretnis di Sampit, pertengahan Februari lalu. Mereka biasanya membicarakan nasib masyarakat Dayak, Madura, dan penyelesaian permanen konflik antara dua etnis itu. Bahkan, Usop sudah menyusun Buku Merah I dan II, yang berisi fakta-fakta peristiwa Sampit. "Buku itu berisi hal-hal obyektif untuk memahami permasalahan, bukan isu," kata Usop.

Kemudian, muncullah berita yang mengejutkan. Mabes Polri Jakarta melayangkan surat panggilan untuk Usop sebagai saksi kasus kerusuhan Sampit, tiga pekan silam. Lalu, sepekan kemudian, Usop memenuhi panggilan. Menurut keterangan polisi, ia dipanggil karena namanya disebut-sebut oleh beberapa tersangka yang telah diinterogasi aparat.

Nah, dari hasil penyelidikan polisi selama pekan lalu, ada kemungkinan status Usop bakal dijadikan tersangka. "Sebagai tokoh masyarakat Dayak, beberapa kali ceramahnya di berbagai tempat sudah bisa digolongkan sebagai provokator kerusuhan," kata seorang sumber TEMPO di Mabes Polri yang intens menyelidiki kasus Sampit. Artinya, Usop bisa diancam dengan Pasal 160 KUHP, yaitu melakukan tindak pidana terhadap kepentingan umum dengan hukuman maksimum enam tahun penjara.

Pemanggilan Usop juga menunjukkan polisi cukup getol dalam menyelidiki kasus Sampit, yang menewaskan 469 jiwa manusia, 456 di antaranya etnis Madura. Hingga saat ini, polisi sudah menahan 233 tersangka, yang disebar di tahanan Polresta Palangkaraya, Polres Kapuas, dan Polres Kotawaringin Barat. Polisi juga telah memberkaskan 98 perkara yang sudah dikirim ke kejaksaan.

Usop memang menjadi orang penting pertama yang diperiksa. Sebelumnya, polisi hanya menjaring keterangan dari orang-orang kebanyakan. Bahkan, tidak sedikit dari orang-orang yang ditangkapi polisi dan dijadikan tersangka itu masih di bawah umur sehingga mereka harus dilepas kembali. Kalau ada tokoh yang sudah dijerat, mereka adalah Fedlik Aser, seorang kepala bidang di Kantor Bappeda Kotawaringin Timur, dan Lewis, pejabat di Dinas Kehutanan setempat. Keduanya sempat dimintai keterangan di Mabes Polri, akhir Februari silam.

Seperti yang dilakukan terhadap Fedlik dan Lewis, menurut sumber TEMPO di Mabes Polri, polisi sedang berusaha keras mencari bukti-bukti untuk menjaring Usop. Sang Guru Besar itu, lewat pidato dan pernyataannya, telah membakar emosi masyarakat Dayak untuk melakukan kekerasan. Cuma, untuk membuktikannya memang tak gampang.

Sebagai orang Dayak, selama ini Usop memang konsisten dalam memperjuangkan nasib sukunya. Usop pernah menyatakan bahwa Orde Baru telah membuat orang-orang Dayak tersingkir ke hutan. Menurut keturunan bangsawan Dayak Ngaju itu, nyaris tidak ada posisi penting di eksekutif dan legislatif di Kalimantan Timur yang dipegang putra daerah. Ia juga pernah memprotes keras soal proyek sawah sejuta hektare, yang merupakan ide mantan presiden Soeharto, karena proyek itu hanya semakin membuat orang-orang Dayak tersingkir. Dan Usop adalah orang yang tidak setuju bila orang-orang Madura terlalu cepat dikembalikan ke Kalimantan Tengah, sebelum akar persoalan di sana benar-benar terpecahkan. "Sebab, menurut saya, hubungan baik antara etnis Dayak dan Madura akan terjalin dengan sendirinya 25 tahun mendatang," kata Usop.

Penyelidikan polisi seharusnya bukan cuma mengincar para tersangka. Akar persoalan kerusuhan Sampit juga perlu dikuak. Apalagi, bukan tahun ini saja huru-hara terjadi di Kalimantan Tengah. Kalau tidak, penyebab utama konflik etnis akan tetap gelap. Dan masyarakat di sana akan selalu terjebak pada kesalahan yang sama.

Bina Bektiati, Edy Budiyarso, dan Bambang Kartika Wijaya (Palangkaraya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus