Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Eksekusi Pertama, Bagi Oesin

Hukuman mati dilaksanakan terhadap Oesin Umar Batfari oleh regu provos Kodak x Jawa Timur, setelah divonis oleh Pengadilan Negeri Surabaya dengan tuduhan membunuh 6 orang rekan bisnisnya. (hk)

7 Oktober 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IA seorang pedagang, tingal di Desa Jagalan, Mojokerto Jawa Timur. Tapi ia juga dikenal sebagai penyembelih kambing. Sehinga orang-orang desanya sering menyebutnya juga dengan Oesin jagal. Nama lengkapnya Oesin bin Umar Batfari. Tak diketahui secara pasti berapa umurnya. Tapi ketika ia menjalani hukuman mati di depan regu penembak pertengahan bulan lalu, Oesin menampilkan tampang seorang tua. Dan kurus. Ia meninggal dipagi hari, 14 September lalu dipinggir desa Keputih dekat pantai kenjeran kotamadya Surabaya. Matanya masih tertutup oleh kain penutup dan tubuhnya tetap trikat di sebuah tiang ketika ia menghembuskan nafas terakhir. Oesin bin Umar Batfari dipersalahkan telah membunuh 6 orang rekan bisnisnya. Pembunuhan pertama ia lakukan di rumahnya di Desa Jagalam. Lima orang lainnya ia bunuh di sebuah rumah yang disewanya di desa Seduri, di pinggir jalan raya antara Mojokerto-Surabaya. Setelah pembunuhan pertama rupannya ia sudah merencanakan pembunuhan-pembunuhan selanjutnya. Untuk itu ia menyewa rumah milik Abdul Wahid di Desa Seduri. Isteri dan anak-anaknya tetap tinggal di Desa Jagalan. Di rumh sewaannya ini Oesin hanya ditemani kedua adiknya, Amak dan Alwi. Ke rumah inilah pada waktu-waktu tertentu ia menyuruh para relasinya datang untuk mengadakan transaksi dagang. Dan pada saat itu pula mereka dibunuhnya satu persatu. Korban terakhir bernama Mas'ud, pedagang asal Banjarmasin tapi juga tetangga paling dekatnya di Jagalan. Mas'ud ini pula yang membongkar seluruh pembunuhan yang pernah dilakukan Oesin. Sebab korban terakhir ini sempat berteriak sebelum menghembuskan nafas terakhir: nan tetangga sekitar rumah itu sempat mendengar teriakan itu. Semua ini terjadi pada tahun 1964. Permintaan Terakhir Waktu polisi menggerebek, mayat Mas'ud sudah disembunyikan Oesin di bawah kolong tempat tidur. Kemudian diketahui pula 4 mayat sebelumnya sudah dikubur di bawah dapur. Oesin akhirnya mengakui juga bahwa korban pertamanya ia kubur di kebun belakang rumahnya di Jagalan. Di depan pengadilan Oesin mengakui semua perbuatannya. Pengadilan Negeri Surabaya pertengahan tahun 1967 menjatuhkan hukuman mati bagi Oesin bin Umar Batfari dan seumur hidup untuk Amak Alwi sebagai tertuduh ke-3 dibebaskan. Baik pengadilan tinggi maupun Mahkamah Agung kemudian memperkuat keputusan itu, kecuali terhadap Amak dirubah menjadi hukuman 20 tahun. Melalui pengacaranya Liem Kundeng SH, Oesin meminta grasi kepada Presiden RI. Tapi 17 Nopember 1977 permohonan itu ditolak. Maka pelaksanaan hukuman mati itupun dilakukan Kamis 14 September jam 06.00. Satu regu Provos Kodak X Jawa Timur melaksanakannya dengan beberapa kali tembakan tepat di jantung Oesin. Kejadian ini disaksikan pejabat-pejabat dari kejaksaan, pengadilan, kesehatan dan rokhaniawan Islam. Pihak kejaksaan sebagai ekskutor tidak bersedia mengungkapkan kejadian yang hanya berlangsung beberapa menit itu. "Hukuman sudah dilaksanakan di daerah hukum Surabaya" itu saja ucapan Prapto Supardi SH dari Seksi Penyidikan Kejaksaan Tinggi Jawa Timur. Tapi sumber TEMPO di Surabaya yang sempat menyaksikan eksekusi itu mengungkapkan, bahwa Oesin menjalani hukumannya dengan kedua mata tertutup, diikat pada sebuah tiang setelah seorang rokhaniawan Islam menuntunnya berdoa dan mengucapkan tobat kepada Tuhan. Di hadapan pejabat-pejabat yang menyaksikan eksekusi itu, Oesin menitipkan permintaan terakhir: "Saya menitipkan adik saya Amak." Sang adik masih tetap di penjara Kalisosok. Dituturkan pula, sesaat setelah eksekusi mayat Oesin segera diangkut ke RSU Karang Menjangan Surabaya. Di saat inilah Rafi'ah, isteri Oesin, diberi kesempatan menyaksikan mayat suaminya. Menurut sumber TEMPO yang lain, Oesin dikuburkan di sekitar Jalan Demak (Surabaya) bercampur dengan kuburan orang-orang yang meninggal di rumah sakit yang tak diketahui keluarganya. Anak-Anak, Jangan Sampai Tahu Menurut Rafi'ah, pada Kamis subuh seorang petugas datang ke rumahnya di Mojokerto dan langsung membawanya ke Surabaya. Jam 07.30 hari itu juga ia sudah berada di RSU Karang Menjangan. Ia membiarkan mayat suaminya diurus dan dikubur pihak rumah sakit karena "tidak ada biaya". "Saya tidak tahu di mana dikuburkan sebab saya tidak ikut ke kuburan," tutur Rafi'ah. Rafi'ah (40 tahun) bersama ke-empat anaknya (semua laki-laki) sekarang tinggal di Gang 10 Jalan Gajah Mada Mojokerto. Waktu Wartawan TEMPO menjumpainya di rumah itu ia baru saja selesai bersembahyang. Tidak banyak kata-kata yang diucapkannya. Ia tampak sedih. "Lima hari ini saya tidak bisa bekerja, kepala pusing," katanya. Rumah di mana ia dan anak-anaknya sekarang tinggal disewa Rp 1.000 sebulan. Rumah itu hanya berukuran 4 x 4 meter, berdinding anyaman bambu. Tak terlihat meja kursi di seluruh ruangan. Yang ada hanya amben, dingklik dan kenap (meja pendek) dengan taplak sudah robek. Di dinding menempel gambar Presiden Soeharto. "Semua sedang bersekolah," jawab Rafi'ah ketika ditanya tentang keempat puteranya. Paling tua kini kelas 2 SMP, si bungsu kelas 2 SD. Kabarnya Oesin sendiri pernah berpesan agar anak-anaknya tidak sampai tahu siapa bapak mereka sebenarnya. Dan tampaknya memang begitu. Sebab kata Rafi'ah "Mereka tidak ada yang tahu dan tidak ada yang menanyakan bapaknya." Untuk menghidupi anak-anaknya, Rafi'ah berjualan di pasar. Tak ada seorangpun yang membantunya. Hubungan dengan keluarga Oesin putus sama sekali sejak suaminya di penjara. Sewaktu Oesin masih di penjara ada beberapa kali ia menjenguk suaminya itu. Tapi hari-hari setelah kematian suaminya, Rafi'ah sempat melangsungkan selamatan untuk meniga-hari dan menujuh-hari almarhum. Sementara Rafi'ah dirundung kesedihan dan dengan keras menolak dipotret, keluarga korban yang pernah dibunuh suaminya umumnya sudah mendengar tentang pelaksanaan hukuman mati itu. "Dengar dari televisi dan orang-orang yang membaca koran," kata Galuh Samsiah kakak kandung almarhum Mas'ud. Isteri Mas'ud sendiri - ketika itu masih penganten baru sudah menikah lagi dengan laki-laki lain dan mengikuti suami barunya ke Kediri. Rumah Abdul Wahid yang pernah disewa ocsin duh, sekarang tak tampak lagi. Sudah lama dibongkar pemiliknya dan dijadikan kebun pisang. "Tidak ada yang berani tinggal di situ," ujar isteri Abdul Wahid. Wahid sendiri sekarang hekerja sebagai tukang kayu dan telah mendirikan rumah batu dekat bekas rumahnya yang telah dibongkar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus