IA seorang pedagang, tingal di Desa Jagalan, Mojokerto Jawa
Timur. Tapi ia juga dikenal sebagai penyembelih kambing.
Sehinga orang-orang desanya sering menyebutnya juga dengan
Oesin jagal.
Nama lengkapnya Oesin bin Umar Batfari. Tak diketahui secara
pasti berapa umurnya. Tapi ketika ia menjalani hukuman mati di
depan regu penembak pertengahan bulan lalu, Oesin menampilkan
tampang seorang tua. Dan kurus. Ia meninggal dipagi hari, 14
September lalu dipinggir desa Keputih dekat pantai
kenjeran kotamadya Surabaya. Matanya masih tertutup oleh
kain penutup dan tubuhnya tetap trikat di sebuah tiang ketika
ia menghembuskan nafas terakhir.
Oesin bin Umar Batfari dipersalahkan telah membunuh 6 orang
rekan bisnisnya. Pembunuhan pertama ia lakukan di rumahnya di
Desa Jagalam. Lima orang lainnya ia bunuh di sebuah rumah yang
disewanya di desa Seduri, di pinggir jalan raya antara
Mojokerto-Surabaya. Setelah pembunuhan pertama rupannya ia
sudah merencanakan pembunuhan-pembunuhan selanjutnya.
Untuk itu ia menyewa rumah milik Abdul Wahid di Desa Seduri.
Isteri dan anak-anaknya tetap tinggal di Desa Jagalan. Di rumh
sewaannya ini Oesin hanya ditemani kedua adiknya, Amak dan Alwi.
Ke rumah inilah pada waktu-waktu tertentu ia menyuruh para
relasinya datang untuk mengadakan transaksi dagang. Dan pada
saat itu pula mereka dibunuhnya satu persatu. Korban terakhir
bernama Mas'ud, pedagang asal Banjarmasin tapi juga tetangga
paling dekatnya di Jagalan. Mas'ud ini pula yang membongkar
seluruh pembunuhan yang pernah dilakukan Oesin. Sebab korban
terakhir ini sempat berteriak sebelum menghembuskan nafas
terakhir: nan tetangga sekitar rumah itu sempat mendengar
teriakan itu.
Semua ini terjadi pada tahun 1964.
Permintaan Terakhir
Waktu polisi menggerebek, mayat Mas'ud sudah disembunyikan
Oesin di bawah kolong tempat tidur. Kemudian diketahui pula 4
mayat sebelumnya sudah dikubur di bawah dapur. Oesin akhirnya
mengakui juga bahwa korban pertamanya ia kubur di kebun belakang
rumahnya di Jagalan.
Di depan pengadilan Oesin mengakui semua perbuatannya.
Pengadilan Negeri Surabaya pertengahan tahun 1967 menjatuhkan
hukuman mati bagi Oesin bin Umar Batfari dan seumur hidup untuk
Amak Alwi sebagai tertuduh ke-3 dibebaskan. Baik pengadilan
tinggi maupun Mahkamah Agung kemudian memperkuat keputusan itu,
kecuali terhadap Amak dirubah menjadi hukuman 20 tahun. Melalui
pengacaranya Liem Kundeng SH, Oesin meminta grasi kepada
Presiden RI. Tapi 17 Nopember 1977 permohonan itu ditolak.
Maka pelaksanaan hukuman mati itupun dilakukan Kamis 14
September jam 06.00. Satu regu Provos Kodak X Jawa Timur
melaksanakannya dengan beberapa kali tembakan tepat di jantung
Oesin. Kejadian ini disaksikan pejabat-pejabat dari kejaksaan,
pengadilan, kesehatan dan rokhaniawan Islam. Pihak kejaksaan
sebagai ekskutor tidak bersedia mengungkapkan kejadian yang
hanya berlangsung beberapa menit itu. "Hukuman sudah
dilaksanakan di daerah hukum Surabaya" itu saja ucapan Prapto
Supardi SH dari Seksi Penyidikan Kejaksaan Tinggi Jawa Timur.
Tapi sumber TEMPO di Surabaya yang sempat menyaksikan eksekusi
itu mengungkapkan, bahwa Oesin menjalani hukumannya dengan kedua
mata tertutup, diikat pada sebuah tiang setelah seorang
rokhaniawan Islam menuntunnya berdoa dan mengucapkan tobat
kepada Tuhan. Di hadapan pejabat-pejabat yang menyaksikan
eksekusi itu, Oesin menitipkan permintaan terakhir: "Saya
menitipkan adik saya Amak." Sang adik masih tetap di penjara
Kalisosok.
Dituturkan pula, sesaat setelah eksekusi mayat Oesin segera
diangkut ke RSU Karang Menjangan Surabaya. Di saat inilah
Rafi'ah, isteri Oesin, diberi kesempatan menyaksikan mayat
suaminya. Menurut sumber TEMPO yang lain, Oesin dikuburkan di
sekitar Jalan Demak (Surabaya) bercampur dengan kuburan
orang-orang yang meninggal di rumah sakit yang tak diketahui
keluarganya.
Anak-Anak, Jangan Sampai Tahu
Menurut Rafi'ah, pada Kamis subuh seorang petugas datang ke
rumahnya di Mojokerto dan langsung membawanya ke Surabaya. Jam
07.30 hari itu juga ia sudah berada di RSU Karang Menjangan. Ia
membiarkan mayat suaminya diurus dan dikubur pihak rumah sakit
karena "tidak ada biaya". "Saya tidak tahu di mana dikuburkan
sebab saya tidak ikut ke kuburan," tutur Rafi'ah.
Rafi'ah (40 tahun) bersama ke-empat anaknya (semua laki-laki)
sekarang tinggal di Gang 10 Jalan Gajah Mada Mojokerto. Waktu
Wartawan TEMPO menjumpainya di rumah itu ia baru saja selesai
bersembahyang. Tidak banyak kata-kata yang diucapkannya. Ia
tampak sedih. "Lima hari ini saya tidak bisa bekerja, kepala
pusing," katanya. Rumah di mana ia dan anak-anaknya sekarang
tinggal disewa Rp 1.000 sebulan. Rumah itu hanya berukuran 4 x 4
meter, berdinding anyaman bambu. Tak terlihat meja kursi di
seluruh ruangan. Yang ada hanya amben, dingklik dan kenap (meja
pendek) dengan taplak sudah robek. Di dinding menempel gambar
Presiden Soeharto.
"Semua sedang bersekolah," jawab Rafi'ah ketika ditanya tentang
keempat puteranya. Paling tua kini kelas 2 SMP, si bungsu kelas
2 SD. Kabarnya Oesin sendiri pernah berpesan agar anak-anaknya
tidak sampai tahu siapa bapak mereka sebenarnya. Dan tampaknya
memang begitu. Sebab kata Rafi'ah "Mereka tidak ada yang tahu
dan tidak ada yang menanyakan bapaknya."
Untuk menghidupi anak-anaknya, Rafi'ah berjualan di pasar. Tak
ada seorangpun yang membantunya. Hubungan dengan keluarga Oesin
putus sama sekali sejak suaminya di penjara. Sewaktu Oesin masih
di penjara ada beberapa kali ia menjenguk suaminya itu. Tapi
hari-hari setelah kematian suaminya, Rafi'ah sempat
melangsungkan selamatan untuk meniga-hari dan menujuh-hari
almarhum.
Sementara Rafi'ah dirundung kesedihan dan dengan keras menolak
dipotret, keluarga korban yang pernah dibunuh suaminya umumnya
sudah mendengar tentang pelaksanaan hukuman mati itu. "Dengar
dari televisi dan orang-orang yang membaca koran," kata Galuh
Samsiah kakak kandung almarhum Mas'ud. Isteri Mas'ud sendiri -
ketika itu masih penganten baru sudah menikah lagi dengan
laki-laki lain dan mengikuti suami barunya ke Kediri.
Rumah Abdul Wahid yang pernah disewa ocsin duh, sekarang tak
tampak lagi. Sudah lama dibongkar pemiliknya dan dijadikan kebun
pisang. "Tidak ada yang berani tinggal di situ," ujar isteri
Abdul Wahid. Wahid sendiri sekarang hekerja sebagai tukang kayu
dan telah mendirikan rumah batu dekat bekas rumahnya yang telah
dibongkar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini