MEMANG terasa janggal: buku Pedoman Penyelenggaraan
Perpustakaan SLTA, Departemen P&K, 1980. Buku setebal 88 halaman
itu, halaman 63-86-nya berisi nomor Klasifikasi Persepuluhan
Dewey. Di halaman 67-69 Dicantumkan notasi subyek agama. Dan
dari notasi agama itu -- bernomor 200-299 -- hanya satu nomor
untuk Agama Islam: notasi 297. Sementara untuk Agama Kristen
disediakan nomor-nomor 220-280.
Jusuf Hasjim, anggota DPR dari FPP, adalah yang pertama kali
mengingatkan kenyataan itu. Ia tidak mengatakan buku itu,
misalnya, Kristen-sentris --melainkan "tidak nasionalistik".
Klasifikasi Dewey di situ, sebagai pedomanperpustakaan, telah
dijiplak mentah-mentah tanpa adaptasi.
Sialnya, sambutan pihak P&K sendiri tampaknya dingin. "Lha
masalah begitu saja diributkan, apa tidak ada pekerjaan lain?"
kata Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, Prof. Dardji
Darmodihardjo -- seperti dituturkan harian Pelita. Prof. Dardji
juga membayangkan tidak perlunya peninjauan. "Itu 'kan sudah
merupakan sistem yang dipakai Pusat Pembinaan Perpustakaan,"
katanya. Barangkali memang, seperti dikatakan Soemarno, penyusun
buku, kepada TEMPO, "buku itu hanya merupakan pedoman.
Pelaksanaannya sangat tergantung pada guru yang menangani
perpustakaan."
Edisi Ke-18
Soemarno sendiri, drs., adalah karyawan Pusat Pembinaan
Perpustakaan. Bukunya, yang telah disetujui Dirjen, sebenarnya
merupakan buku petunjuk menyelenggarakan perpustakaan di SLTA
dari soal mengatur ruang, cara menyetempel buku sampai cara
memilih bahan koleksi. Diketahui, Departemen P&K merencanakan
mewajibkan semua sekolah mempunyai perpustakaan (TEMPO, 8
November 1980). Hanya, perpustakaan yang bagaimana?
Soal itu pun kemudian dipermasalahkan dalam rapat kerja Komisi
IX (Agama, Pendidikan dan Kebudayaan) DPR dengan Menteri P&K,
Senin pekan lalu -- dan kali ini oleh Drs. H. Asrul Sani,
anggota Komisi.
Padahal adaptasi itu memang ada. Bahkan sebenarnya sejak 1952.
Beberapa usaha pengembangan telah dilakukan sehubungan dengan
notasi 297 itu -- beberapa kali, bahkan juga dalam hal
klasifikasi untuk Bahasa dan Sastra dan Geografi Indonesia
(lihat box).
Tapi yang jadi soal memang, hal itu tidak tercermin dalam buku
pedoman untuk seluruh SLTA tersebut -- meski ada janji dari
pihak Pusat Pembinaan Perpustakaan untuk mengirimkan diktat
pengembangan tersebut sebagai kelengkapan, nantinya.
Itulah agaknya yang menyebabkan Jusuf Hasjim menyangka, bahwa
"Departemen P&K telah membuang produk berbagai tim sebelumnya
dari pedoman yang dipakai sekarang." Jusuf agaknya bukan menolak
Dewey serta-merta. Ia menyebut misalnya Perpustakaan Islam
Yogya, perpustakaan IAIN, Pondok Modern Gontor, Pesantren
Tebuireng yang memakai klasifikasi Dewey dengan adaptasi.
Jadi soalnya memang adaptasi. Tetapi bahkan dalam materi
pokoknya, "Dewey'-nya sendiri, cukup disayangkan satu hal. Yakni
bahwa yang diambil sebagai bahan buku pedoman tersebut
sebenarnya edisi Dewey yang ketinggalan zaman. Sebab dalam edisi
ke-18, notasi 297 (Islam) telah dikembangkan menjadi delapan
bidang -- sementara masing-masingnya dibagi lagi ke dalam
bagian-bagian. Ini, meski mungkin tak menyelesaikan seluruh
soal, rupanya terluput.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini