DEWEY Decimal Classification, Klasifikasi Persepuluhan Dewey --
lebih dikenal dengan singkatannya, DDC -- disusun oleh Melvin
Dewey (1851 - 1931) pada usianya yang ke-21. Waktu itu dia masih
mahasiswa di Amherst College. Dewey memang sangat memikirkan
bagaimana mengatur buku secara efisien di perpustakaan. Ia
mengeluarkan buku klasifikasinya yang pertama pada 1876.
Kemudian tahun 20-an berdiri badan pengawas DDC di New York,
yang untuk selanjutnya mengusahakan edisi baru buku klasifikasi
yang telah disesuaikan dengan perkembangan. Edisi terbaru adalah
ke-19.
Sistem Dewey, yang dasar filosofisnya dapat ditelusur dari
pemikiran filsuf Bacon ini, membagi ilmu menjadi 10 klas utama,
yang masing-masing mendapat 3 angka desimal. Karya umum mendapat
notasi 000, Filsafat 100, Agama 200, Ilmu Sosial 300, I1mu
Bahasa 400, Ilmu Murni 500, Ilmu Terapan 600, Kesenian 700,
Sastra 800 dan Sejarah 900. Setiap klas utama dibagi lagi
menjadi 9 divisi. Misalnya, klas 200 menjadi 210 sampai dengan
290. Setiap divisi diperinci lagi menjadi seksi -- misalnya
notasi 290 menjadi 291 sampai dengan 299. Selanjutnya seksi
dapat diperinci lagi.
Jadi secara teoritis DDC dapat diperluas tanpa batas. Dan karena
menggunakan angka yang bersifat universal, banyak dipakai di
dunia -- termasuk Indonesia. Menurut suatu survei tahun 1972,
dari 434 perpustakaan Indonesia yang disurvei, 51% menggunakan
DDC, 21% menggunakan Universal Decimal Classification (yang
sebenarnya berdasar DDC dengan tambahan berbagai simbol), 8%
menggunakan sistem klasifikasi lain dan sisanya tidak
menggunakan sistem apa pun. Dapat dikatakan 95% perpustakaan
sekolah dan perpustakaan umum di Indonesia menggunakan DDC.
Djarnawi, Harun Nasution . . .
Sebenarnya sudah sering terdengar DDC dikritik -- sebagai sistem
klasifikasi yang penuh terminologi Amerika. Sistem itu
mencerminkan kebutuhan masyarakat kapitalis, terlalu
berorientasi pada peradaban Barat dan kultur Kristen.
Namun bila dikaji lebih lanjut, sistem ini fleksibel dan dapat
diubah sesuai dengan keperluan. Misalnya bila ingin memberi
tekanan utama pada agama Islam, notasi 220 - 289 dapat digunakan
untuk subyek Islam sedang Alkitab dan agama Kristen dimasukkan
pada notasi 297. Pola semacam ini pernah dicoba di Mesir, dan
Muangthai (untuk agama Budha).
Cara lain, memperluas notasi yang ada. Ini dilakukan di
Indonesia, dirintis oleh A. Kartawirana pada 1952. Dilanjutkan
oleh Perpustakaan Islam Yogyakarta pada 1958, dengan membentuk
komisi yang diketuai Prof. R.H. Faried Ma'ruf beserta 14 anggota
-- antara lain Moch. Solichin, Djarnawi Hadikusumo, Bakri
Syahid. Kemudian dalam rangka kegiatan Tahun Buku Internasional,
dibentuklah satu panitia dengan tugas melakukan adaptasi dan
perluasan notasi 297 -- dipimpin oleh IAIN Syarif Hidayatullah,
Jakarta. Panitia telah mengadakan diskusi dengan beberapa ahli
agama Islam, antara lain Prof. H. Mahmud Yunus, Prof. H.
Abubakar Aceh, Dr. Harun Nasution, K.H.M. zaini Miftah. Hasilnya
suatu bagan klasifikasi dengan corak baru, yang hakekatnya bukan
perluasan notasi 297. Dan pada 1978, seorang mahasiswa Jurusan
Perpustakaan FSUI menulis skripsi tentang pengembangan notasi
297 itu.
Perluasan yang telah dilakukan di Indonesia sebetulnya tidak
terbatas pada notasi agama Islam. Juga untuk notasi lain --
seperti geografi Indonesia, periodisasi sejarah Indonesia,
bahasa dan sastra Indonesia. Perluasan tersebut memang belum
dilaporkan ke badan pengawas DDC yang berada di Library of
Congress, AS. Sebetulnya dengan melaporkan ke badan pengawas
tersebut dunia internasional bisa tahu kebutuhan klasifikasi di
Indonesia. Tapi, perlukah DDC diganti dengan suatu sistem
nasional?
Membuat suatu sistem yang baru memerlukan banyak tenaga, waktu,
pikiran dan biaya. Kecuali itu sistem nasional hanya terbatas
pada pemakaian di Indonesia -- berlainan dengan sistem DDC yang
internasional. Misalnya notasi DDC 512 selalu berarti subyek
Aljabar, di mana pun jua. Bahkan sistem ini telah diakui sebagai
ilmu serapan.
Walhasil, lebih praktis kiranya tetap menggunakan DDC dengan
memperluas notasi yang menyangkut kepentingan Indonesia. Ini
sesuai dengan prinsip teknologi tepat guna.
Sulistyo Basuki
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini