Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Dewey Yang Tepat Guna

Dewey Decimal Classification (DDC) susunan Melvin Dewey secara teoritis dapat diperluas tanpa batas. Sistem ini juga fleksibel dan dapat diubah sesuai dengan keperluan.

21 Februari 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DEWEY Decimal Classification, Klasifikasi Persepuluhan Dewey -- lebih dikenal dengan singkatannya, DDC -- disusun oleh Melvin Dewey (1851 - 1931) pada usianya yang ke-21. Waktu itu dia masih mahasiswa di Amherst College. Dewey memang sangat memikirkan bagaimana mengatur buku secara efisien di perpustakaan. Ia mengeluarkan buku klasifikasinya yang pertama pada 1876. Kemudian tahun 20-an berdiri badan pengawas DDC di New York, yang untuk selanjutnya mengusahakan edisi baru buku klasifikasi yang telah disesuaikan dengan perkembangan. Edisi terbaru adalah ke-19. Sistem Dewey, yang dasar filosofisnya dapat ditelusur dari pemikiran filsuf Bacon ini, membagi ilmu menjadi 10 klas utama, yang masing-masing mendapat 3 angka desimal. Karya umum mendapat notasi 000, Filsafat 100, Agama 200, Ilmu Sosial 300, I1mu Bahasa 400, Ilmu Murni 500, Ilmu Terapan 600, Kesenian 700, Sastra 800 dan Sejarah 900. Setiap klas utama dibagi lagi menjadi 9 divisi. Misalnya, klas 200 menjadi 210 sampai dengan 290. Setiap divisi diperinci lagi menjadi seksi -- misalnya notasi 290 menjadi 291 sampai dengan 299. Selanjutnya seksi dapat diperinci lagi. Jadi secara teoritis DDC dapat diperluas tanpa batas. Dan karena menggunakan angka yang bersifat universal, banyak dipakai di dunia -- termasuk Indonesia. Menurut suatu survei tahun 1972, dari 434 perpustakaan Indonesia yang disurvei, 51% menggunakan DDC, 21% menggunakan Universal Decimal Classification (yang sebenarnya berdasar DDC dengan tambahan berbagai simbol), 8% menggunakan sistem klasifikasi lain dan sisanya tidak menggunakan sistem apa pun. Dapat dikatakan 95% perpustakaan sekolah dan perpustakaan umum di Indonesia menggunakan DDC. Djarnawi, Harun Nasution . . . Sebenarnya sudah sering terdengar DDC dikritik -- sebagai sistem klasifikasi yang penuh terminologi Amerika. Sistem itu mencerminkan kebutuhan masyarakat kapitalis, terlalu berorientasi pada peradaban Barat dan kultur Kristen. Namun bila dikaji lebih lanjut, sistem ini fleksibel dan dapat diubah sesuai dengan keperluan. Misalnya bila ingin memberi tekanan utama pada agama Islam, notasi 220 - 289 dapat digunakan untuk subyek Islam sedang Alkitab dan agama Kristen dimasukkan pada notasi 297. Pola semacam ini pernah dicoba di Mesir, dan Muangthai (untuk agama Budha). Cara lain, memperluas notasi yang ada. Ini dilakukan di Indonesia, dirintis oleh A. Kartawirana pada 1952. Dilanjutkan oleh Perpustakaan Islam Yogyakarta pada 1958, dengan membentuk komisi yang diketuai Prof. R.H. Faried Ma'ruf beserta 14 anggota -- antara lain Moch. Solichin, Djarnawi Hadikusumo, Bakri Syahid. Kemudian dalam rangka kegiatan Tahun Buku Internasional, dibentuklah satu panitia dengan tugas melakukan adaptasi dan perluasan notasi 297 -- dipimpin oleh IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Panitia telah mengadakan diskusi dengan beberapa ahli agama Islam, antara lain Prof. H. Mahmud Yunus, Prof. H. Abubakar Aceh, Dr. Harun Nasution, K.H.M. zaini Miftah. Hasilnya suatu bagan klasifikasi dengan corak baru, yang hakekatnya bukan perluasan notasi 297. Dan pada 1978, seorang mahasiswa Jurusan Perpustakaan FSUI menulis skripsi tentang pengembangan notasi 297 itu. Perluasan yang telah dilakukan di Indonesia sebetulnya tidak terbatas pada notasi agama Islam. Juga untuk notasi lain -- seperti geografi Indonesia, periodisasi sejarah Indonesia, bahasa dan sastra Indonesia. Perluasan tersebut memang belum dilaporkan ke badan pengawas DDC yang berada di Library of Congress, AS. Sebetulnya dengan melaporkan ke badan pengawas tersebut dunia internasional bisa tahu kebutuhan klasifikasi di Indonesia. Tapi, perlukah DDC diganti dengan suatu sistem nasional? Membuat suatu sistem yang baru memerlukan banyak tenaga, waktu, pikiran dan biaya. Kecuali itu sistem nasional hanya terbatas pada pemakaian di Indonesia -- berlainan dengan sistem DDC yang internasional. Misalnya notasi DDC 512 selalu berarti subyek Aljabar, di mana pun jua. Bahkan sistem ini telah diakui sebagai ilmu serapan. Walhasil, lebih praktis kiranya tetap menggunakan DDC dengan memperluas notasi yang menyangkut kepentingan Indonesia. Ini sesuai dengan prinsip teknologi tepat guna. Sulistyo Basuki

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus