Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Mencari jawaban dari al-muaisim

Korban terowongan al-muaisim telah dimakamkan.muncul protes dari berbagai pihak. munawir yang kedua kalinya berkunjung ke arab saudi membawa pesan pre siden soeharto. ada sebab-sebab yang belum terungkap.

28 Juli 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JENAZAH syuhada Indonesia, yang meninggal di terowongan Al-Muaisim, telah dimakamkan. Bendera setengah tiang sudah diturunkan. Tapi Menteri Agama Munawir Sjadzali masih dikecam kiri-kanan. Perhimpunan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), yang punya hubungan sejarah panjang dengan Nahdlatul Ulama (NU), misalnya, menuding Munawir tidak responsif atas peristiwa Al-Muaisim, minta yang bersangkutan mengundurkan diri. "Dikatakan apa terserah. Itulah suka dukanya menjadi menteri," kata Munawir di pesawat GA 7112 yang membawa rombongan Menteri ke Arab Saudi, Kamis sore pekan lalu. Ini adalah kunjungan kedua Munawir ke Arab Saudi dalam Zulhijah -- dan dengan tugas yang berbeda. Pada awal Zulhijah lalu, Munawir bertugas sebagai amirul hajj, pemimpin rombongan jemaah haji Indonesia. Sedangkan keberangkatannya kali ini, Kamis sore pekan lalu, untuk menemui Raja Fahd dan sekaligus mencari tahu penyebab terjadinya musibah terowongan Al-Muaisim, Mina. Apakah penjelasan utusan khusus Raja Fahd, Menteri Perindustrian dan Perlistrikan Abdul Aziz Al-Zamil, yang disampaikan kepada Presiden Soeharto dirasakan belum cukup? Tampaknya belum. Kepala Negara merasa masih ada sebab-sebab yang belum terungkap. Ini penting untuk segera diketahui agar peristiwa serupa, kalau ini disebabkan oleh kelalaian manusia, tidak terulang karena ibadah haji akan tetap berlangsung setiap tahun dan kemungkinan jumlah jemaah terus meningkat. Sedangkan pemakaman jenazah haji Indonesia, yang sudah dilakukan petugas pada 3 Juli, ternyata tidak jadi bahan pembicaraan dalam kunjungan Munawir ini. Begitu pula permintaan penyatuan lokasi bagi para syuhada Indonesia -- hal yang sempat membuat Munawir kesal karena tidak memperoleh informasi dari Pemerintah Arab Saudi. Tapi, bagi NU, organisasi Islam terbesar di Indonesia, Arab Saudi ikut bertanggung jawab atas terjadinya peristiwa Al-Muaisim. Itu disampaikan Ketua PB NU Bidang Hubungan Kelembagaan Negara, Chalid Mawardi, dalam keterangan kepada kantor berita Antara, seusai rapat Tanfiziah NU, Sabtu dua pekan lalu. Keterangan itu dikutip oleh Radio BBC, London. Ditambahkan oleh BBC, bahwa sejumlah pejabat Mesir, Kuwait, Irak dan Bahrain -- yang tak bersedia disebutkan namanya karena jabatan mereka -- ikut menyesalkan penanganan Pemerintah Arab Saudi terhadap para syuhada. Mengenai tuntutan PMII yang minta Munawir mundur, Chalid mengatakan, "Pengunduran diri itu belum mentradisi di Indonesia." Ia menambahkan selama Orde Baru belum pernah terjadi ada menteri mengundurkan diri karena suatu sebab yang dianggap sebagai kegagalan. Langkah protes NU ternyata kemudian diikuti sejumlah organisasi massa. Jumat pekan lalu, sejumlah pimpinan ormas pemuda Indonesia, melalui Kedutaan Besar Arab Saudi di Jakarta, memprotes keras perlakuan, tindakan, dan penjelasan yang tidak tuntas tentang musibah dari Pemerintah Arab Saudi. Suara Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Advokat Indonesia (DPP Ikadin), yang disampaikan dua hari sebelumnya, lebih keras. Pemerintah Arab Saudi, menurut Ikadin, sesuai dengan asas hukum internasional, bertanggung jawab atas segala kerugian materiil dan imateriil yang diderita jemaah haji di terowongan Al-Muaisim. Keluarga korban dan Pemerintah Indonesia, kata mereka, dapat menuntut Pemerintah Arab Saudi di pengadilan internasional di Den Haag, Belanda. Munculnya suara-suara keras ini menunjukkan bahwa utusan Arab Saudi tidak berhasil menjelaskan permasalahan terowongan Al-Muaisim kepada rakyat Indonesia. Diduga ketidakpuasan masyarakat itulah yang menyebabkan Munawir ditugasi menemui Raja Fahd kembali dan menyampaikan sejumlah usul. Surat Pak Harto yang disampaikan Munawir kepada Raja Fahd, Minggu lalu, kabarnya, memang mencerminkan keinginan agar jemaah haji dapat kemudahan pelayanan di masa datang. Kepala Negara disebut-sebut, antara lain, minta perkemahan jemaah haji Asia Tenggara, termasuk Indonesia, dipindahkan lebih dekat ke tempat pelemparan jumrah tanpa harus melewati terowongan. Kalau pemindahan lokasi perkemahan itu tak mungkin, disarankan dibangun terowongan baru untuk menampung arus mereka yang pulang dari melempar jumrah. Selama terowongan baru belum selesai dibangun, saran Pak Harto, terowongan yang ada sekarang secara jelas dibagi dalam dua jalur: jalur pergi dan jalur pulang. Pak Harto dalam surat kepada Raja Fahd, kabarnya, tidak mengungkit-ungkit dua soal: pemakaman korban yang terlambat diberitahukan dan penyatuan makam agar mudah diziarahi sanak keluarga korban kelak. Kepala Negara tampak memahami kesulitan pemindahan jenazah yang telah dikuburkan ke tempat lain di negeri yang berpaham Wahabi ini. Kesulitan itu, kata Munawir, di samping susah mencari mayat yang terkubur, juga akan ditentang oleh ulama Indonesia. Tentang usul pemakaman di satu tempat, sebagaimana disampaikan Munawir sebelumnya, kabarnya berdasarkan asumsi jenazah masih disimpan di kamar mayat yang berpendingin. Selama ini, berdasarkan pengalaman pemakaman mayat TKI dan TKW, Pemerintah Arab Saudi terlebih dahulu minta pendapat kepada Kedubes Indonesia di Riyadh, dan setelah itu baru jenazah dikuburkan. Lalu di mana jenazah syuhada Indonesia yang meninggal di terowongan Al-Muaisim dimakamkan? Ada empat lokasi yang dite tapkan panitia pemakaman. Itulah yang dikunjungi Menteri Munawir beserta empat anggota Komisi IX DPR, pekan ialu, agar dapat memberikan kesimpulan apa yang bisa dilakukan ahli waris mereka. Mereka yang dibaringkan di sana sebanyak 659 orang. Tampaknya, tak akan mudah ahli waris menziarahi kuburan orangtua maupun sanak famili mereka itu. Di Arab Saudi, kata Wakil Rais Am NU, Kiai Ali Yafie, tidak ada pemeliharaan kubur seperti kita kenal di sini. Mengapa? Menurut mereka, yang menganut paham Wahabi, ziarah kubur yang dibenarkan mazhab Syafii, identik meminta kepada kubur. Ini adalah syirik. Itu sebabnya di sana kuburan di samping dilarang diziarahi juga tidak diberi nisan (lihat "Maka Ziarahlah Kamu... "). Ketentuan itu juga mereka lakukan terhadap syuhada Indonesia, umumnya pengikut mazhab Syafii, yang dimakamkan di Mahala (300 orang), Mina (200 orang), Muzdalifah (150 orang), dan Arafat (50 orang). Satu-satunya tanda di situ adalah pagar yang mengelilingi makam tersebut. Yang masih belum terjawab, sekalipun peristiwa terowongan Al-Muaisim terjadi dua pekan lalu, penyebab kejadian tersebut. Komandan pengamanan haji di Mekah, Jenderal Abdul Kader Kamal, mengatakan kejadian ini adalah musibah biasa. Tidak ada sabotase sama sekali (lihat Anyir di Arafah dan Lalat di Mina). Banyak orang menduga kematian disebabkan kekurangan oksigen di dalam terowongan itu. Tapi, menurut Ketua Persaudaraan Haji Indonesia, Dokter Sulastomo, yang ikut meninjau terowongan bersama Munawir, kematian para jemaah bukan karena kekurangan oksigen. Karena ruang sirkulasi udara cukup lebar. Blower yang dikabarkan mati juga tidak ada kaitannya. "Mereka meninggal semata-mata karena jatuh dan terinjak-injak," kata Sulastomo. Pendapat itu dibenarkan pegawai Dispen AURI, Mohamad Salim Effendi, yang menunaikan ibadah bersama istrinya, Siti Fatimah. Pasangan yang membuka restoran di Jalan Otista, Jakarta Timur, meragukan penyebab musibah karena tidak berfungsinya blower dan matinya lampu terowongan. "Penyebabnya saya kira adalah ulah orang-orang bertubuh besar itu," kata Salim. Maksudnya: ulah orang-orang Afrika dan Turki, yang kalau berjalan saling memegang pundak sehingga merupakan kesatuan besar. Kalau kena seruduk rombongan mereka pasti kejengkang. Pada pukul 8.30, sewaktu Salim dan istrinya sampai di mulut terowongan setelah melakukan pelemparan jumrah, ada yang memberi tahu kepada mereka supaya jangan masuk karena di dalam banyak orang meninggal. Tapi banyak orang yang tidak mempedulikan imbauan itu, dan terus saja masuk. Sebaliknya Salim dan istrinya mencari jalan lain dan tersesat. Sekitar pukul 12.30, Salim kembali ke mulut terowongan, dan di situ dilihatnya banyak truk berisi bongkahan es, sejumlah ambulans di depan terowongan, serta sejumlah helikopter mondar-mandir dari terowongan ke rumah sakit. Ia menyaksikan petugas-petugas penolong kecelakaan, dengan memakai masker, bekerja sangat sigap mengangkat jenazah dengan tandu lalu meletakkannya di truk. Ternyata, cerita Salim, dari tumpukan jenazah (semuanya hampir telanjang) hingga bertumpuk tujuh di truk berisi es itu masih ada yang belum meninggal. Ia melihat ada yang bangun dari tumpukan keenam, dan orang-orang yang melihatnya berteriak, "Alhamdulillah, dia masih hidup." Dan kemudian orang itu dirawat di tempat lain. Dalam tempo dua jam korban di lokasi kejadian bisa diatasi petugas. Ada yang bilang cepatnya penanganan karena turunnya banyak petugas keamanan Saudi, meski pada jam-jam peristiwa terjadi di sekitar terowongan Al-Muaisim tak terlihat seorang petugas pun. "Seharusnya kita berterima kasih kepada mereka," kata jemaah yang selamat dari injakan massa. Ia, yang naik haji bersama istri dan anak-anaknya, mengaku betapa sigapnya pihak keamanan Arab Saudi mengatasi kepanikan massa. Tapi ada juga yang bercerita kecepatan itu berkat alat-alat berat semacam forklift. Dan ia tetap menyayangkan -- sebagaimana dikatakan oleh banyak jemaah sejak diketahui banyak yang meninggal -- mengapa tak ada penjaga di mulut terowongan sejak pagi. Tapi sesal dahulu, kata orang, pendapatan, sesal kemudian tak mengubah yang sudah terjadi. Masalah, bagaimana musim haji untuk selanjutnya. Lembaga Riset Ummul Qura di Mekah, sudah lama menyadari jumlah jemaah memang meningkat. Ada proyek jangka panjang "Armina" (Arafah, Muzdalifah dan Mina), memperluas dan melengkapi berbagai fasilitas pelaksanaan ibadah haji, yang dana dan pengawasannya langsung berada di bawah Raja Fahd. Itu tampaknya menjawab pertanyaan permintaan internasionalisasi Mekah dari berbagai pihak -- terutama Iran. Bagi Raja Fahd, internasionalisasi atau apa pun namanya, berarti mencampuri urusan dalam negeri Arab Saudi. "Tak layak negara lain mencampuri urusan kami," kata Sulaiman Maliki, wakil direktur Lembaga Riset Haji Ummul Qura. Julizar Kasiri, Ardian T. Gesuri, Linda Djalil, Sri Pudyastuti (Jakarta), Dja'far Bushiri dan Wahyu Muryadi (Mekah)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus