DUA belas jemaah haji Indonesia, di antara yang diumumkan meninggal dalam peristiwa Al-Muaisim 10 Zulhijah, ternyata masih hidup. Di antara mereka memang ada yang ikut tergencet dan terpaksa dirawat di rumah sakit tanpa diketahui ketua rombongan kloternya. Sedangkan sebagian besar cuma lantaran salah informasi atau lantaran tidak berada di antara rombongan kloternya ketika pengecekan dilakukan. Salah seorang yang dirawat adalah Hajah Halunan binti Aliudin, 62 tahun, jemaah dari Lampung. Hingga 16 Juli lalu, anggota kloter 36 ini termasuk di antara jemaah yang dinyatakan meninggal. Kini Halunan sedang menjalani perawatan intensif di Rumah Sakit Islam Jakarta. Sebelumnya dia dirawat di Rumah Sakit King Fadh, di Jeddah. Berikut kisah Hajah Halunan: "Pada Senin 2 Juli saya berniat melempar jumrah bersama suami dan adik ipar. Ketika tiba di mulut terowongan Al-Muaisim, gerak maju arus manusia tertahan, sementara dorongan dari belakang semakin kuat dan menyakitkan. Ketika itulah saya mulai terimpit. Saya memiringkan badan, agar masih bisa sedikit bernapas. Tapi impitan makin ketat. Saya tidak bisa apa-apa. Suami saya juga sudah tergencet. Saya pasrah. Sedang adik ipar saya entah di mana. Dalam keadaan berbahaya itu, tiba-tiba muncul adik ipar saya. Dia merenggut suami saya dari timbunan banyak orang, lalu menarik dia keluar terowongan. Kemudian saya tidak sadarkan diri. Begitu sadar, ternyata saya berada di Rumah Sakit King Fahd, Jeddah. Rupanya saya terpisah dengan suami dan adik ipar saya. Repotnya lagi, saya tak bisa bahasa Arab, jadi saya cuma 'iya, iya' saja kalau ditanya. Saya tak bisa bertanya di mana suami dan adik saya. Rabu, 4 Juli, saya harus menjalani operasi. Engsel pangkal paha saya lepas akibat tergencet. Pada Ahad 8 Juli, eh, suami saya muncul di rumah sakit. Katanya, ia sudah keliling rumah sakit di Mekah dan Madinah, tapi tak menemukan saya." Berikut cerita Slawi bin Saladin, jemaah anggota rombongan kloter 01 Surabaya yang dinyatakan meninggal, karena ketika pengecekan dilakukan dia tidak berada di kemah. Padahal, jangankan tergencet-gencet, ia masuk terowongan pun tidak. "Minggu malam, saya dan istri saya, Saadiah, berangkat ke Mina, siap-siap melempar jumrah di esoknya. Selesai jumrah, saya berangkat ke Masjidil Haram, sementara kawan-kawan kembali ke perkemahan. Keberangkatan ke Masjidil Haram inilah yang menyelamatkan kami dari musibah. Kami memilih naik bis. Entah kenapa, saya kok memilih naik bis, meski harus rebutan dengan jemaah lain yang badannya besar-besar. Saya tarik seorang penumpang yang bergelantungan di pintu, lalu saya dorong istri saya agar bisa masuk. Alhamdulillah, saya berhasil menjadi penumpang bis itu. Semula saya tidak pernah membayangkan bakal terjadi musibah. Baru ketika melakukan tawaf, mengelilingi Ka'bah di Masjidil Haram, saya mendengar musibah tersebut. Namun, saya tidak segera kembali ke perkemahan. Saya terus beribadah di Masjidil Haram bersama istri saya. Itu yang menyebabkan kami luput dari bencana, tapi masuk dalam daftar korban. Mungkin ketua rombongan terlalu terburu-buru menyimpulkan. Tapi, bagaimana ya, soalnya waktu kami dicari, memang tak ketemu." PBS, Linton P. Siregar, dan Jalil Hakim
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini