DENTUMAN hebat malam itu merobek kesenyapan desa Anau Kadok, Solok, Sumatera Barat. Gemuruh susul-menyusul menuruni lereng Gunung Talang. Irman, yang sedang asyik main domino, tersentak. Bahaya besar mengancam desa di kaki gunung setinggi 1.300 meter itu. Pemuda yang sehari-hari bertani itu lari lintang pukang ke rumahnya. Alhamdulillah, istri dan seorang anaknya lolos dari galodo Selasa pekan lalu. Namun, puluhan warga yang saat itu terlelap tidur tak sempat lagi membuka mata. Mereka tak mungkin menghindari maut. Bencana menggelindingnya batu-batu sebesar gajah yang terseret ribuan kubik air melindas apa saja yang menghalangi. Desa Anau Kadok, yang selama ini terkenal dengan "beras Soloknya", dalam sekejap berubah jadi lautan lumpur. "Malam itu sungguh sangat mengerikan. Jerit tangis dan pekik kesakitan bersahut-sahutan. Tapi suara-suara itu langsung hilang, ditelan banjir dan batu besar," tutur Irman, 28 tahun, saksi mata di malam nahas itu. Selain Anau Kadok, empat desa lain Koto Gaek, Gadang Damo, Tabek Pala, Sungai Rotan -- juga tersapu gelombang lumpur dan air. Jumlah korban jiwa tercatat 35 orang. Sementara itu, 50 penduduk dirawat di rumah sakit dan sekitar 600 lainnya diungsikan. Mereka tak hanya kehilangan sanak saudara tapi juga rumah dan sawah. Kerugian diperkirakan mencapai Rp 2 milyar. Penyebab bencana hingga kini memang masih dalam penelitian. Namun, diduga air bah itu berasal dari Lubuk Batu Kali di pinggang Gunung Talang. Waduk seluas hampir satu hektar itu selama ini tak pernah bertingkah. Menurut beberapa penduduk yang mencari kayu di hutan, di beberapa bagian di lereng gunung sering dijumpai retakan. Ketika hujan turun sangat deras malam itu, beberapa jam sebelumnya, rongga tersebut terisi air. Lama kelamaan tak kuat lagi menahan beban, lalu ambrol. Menyapu apa saja yang ada di bawah. Selama hujan turun, galodo serupa bisa mengancam setiap saat. Tak heran bila jumlah pengungsi terus bertambah. Di musim hujan, seperti tahun yang sudah, bencana bakal muncul di mana-mana. Bukan cuma di Sumatera Barat, sejumlah daerah mulai merasakan akibatnya. Di Sumatera Utara dalam minggu-minggu terakhir ini sudah 17 sungai meluap. Tak tercatat korban jiwa, kecuali delapan rumah hanyut, sekitar 10 jembatan runtuh, belasan kilometer jalan rusak berat. Kerugian material, sekitar Rp 2 milyar. Tak hanya jalan-jalan rusak, transportasi kereta api juga terganggu. Di Jawa, Jalur Bandung-Kroya selama dua hari, pekan lalu, terputus karena bantalan rel di daerah Jeruk Legi, Cilacap, amblas tersapu banjir. Sementara itu, belasan desa tergenang air setinggi 1 sampai 1 1/2 meter. Di Jawa Barat air menggasak Tasikmalaya, Cianjur, Sukabumi, Rancaekek, dan Ciamis Selatan. Selain puluhan rumah berantakan, kolam ikan hancur, tercatat hampir 500 hektar sawah terendam. Kerugian ditaksir Rp 500 juta. Yang agak siap menghadapi banjir barangkali Jawa Timur. Seluruh instasi di daerah itu sudah dikoordinasikan jauh-jauh hari. Terutama di kawasan rawan banjir seperti Kali Wadas, Ngajuk, dan Bengawan Solo. Selain itu, perbaikan juga dilakukan di sana-sini. "Penanganan sifatnya hanya preventif saja, berupa perbaikan tanggul-tanggul yang dianggap kritis," kata Soenardi Hadisoepadmo, Kepala Dinas PU Jawa Timur. Bisa dimaklumi bila perbaikan tidak bisa dilakukan secara menyeluruh mengingat keterbatasan dana. Lebih-lebih anggaran yang disediakan pemerintah dari tahun ke tahun melorot terus. Tahun 1985/1986, misalnya hampir Rp 100 milyar plus bantuan luar negeri sekitar US$ 47 juta. Namun, pada tahun anggaran 1987/1988 terpangkas jadi Rp 36,7 milyar, sementara dari luar memperoleh US$ 106,2 juta. Karena itu, beberapa proyek perlu digabung jadi satu. "Untuk efisiensi," kata Sunaryo, Kasubdit Perencanaan Pembangunan Perairan, Departemen PU. Ya, efisiensi. Yusroni Henridewanto dan Laporan biro-biro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini