Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian setuju dengan wacana mengubah sistem penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung menjadi dipilih Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Alasannya, pilkada langsung mengeluarkan biaya besar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Saya sependapat tentunya, kita melihat sendiri bagaimana besarnya biaya untuk pilkada," kata mantan Kapolri ini di Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat pada Senin, 16 Desember 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pilkada langsung, kata Tito, juga menyebabkan kekerasan di sejumlah daerah. Melihat sejumlah dampak itu, Tito sebetulnya sudah lama mengajukan pilkada asimetris. Salah satu opsi pilkada asimetris itu, yakni kepala daerah dipilih DPRD.
Pilkada asimetris adalah sistem yang memungkinkan adanya perbedaan pelaksanaan mekanisme pilkada antar daerah. Perbedaan tersebut bisa muncul dikarenakan suatu daerah memiliki karakteristik tertentu, seperti kekhususan dalam aspek administrasi, budaya ataupun aspek strategis lainnya.
Tito menilai, pilkada melalui DPRD juga bisa diterjemahkan sebagai demokrasi perwakilan. Namun, Tito mengatakan, ide itu harus dikaji oleh parpol, DPR, hingga akademisi. "Tapi ya kita lihat bagaimana teman-teman di DPR nanti, parpol, akademisi, Kemendagri melakukan kajian," kata dia.
Menurut Tito, ide ini akan dibahas secara serius di bawah kementeriannya. Sebab, aturan mengenai pemilu kepala daerah ini sudah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025.
"Kan salah satunya sudah ada di prolegnas. Di prolegnas kalau saya tidak salah, termasuk UU Pemilu dan UU Pilkada. Nanti gongnya akan dicari tapi sebelum itu kita akan adakan rapat," kata Tito.
Presiden Prabowo Subianto sebelumnya mengusulkan pesta demokrasi untuk memilih DPRD saja. Setelah itu, DPRD yang nanti akan memilih gubernur hingga bupati. Menurut Prabowo, sistem itu lebih efisien dan bisa menekan banyak biaya.
"Saya lihat negara-negara tetangga kita efisien, Malaysia, Singapura, India, sekali milih anggota DPRD, sekali milih, ya sudah DPRD itulah yang milih gubernur, milih bupati," kata Ketua Umum Partai Gerindra ini dalam sambutannya pada Puncak Perayaan HUT ke-60 Partai Golkar di Sentul International Convention Center (SICC), Kamis, 12 Desember 2024.
Menurut Prabowo, opsi itu bisa dilakukan untuk menekan banyaknya anggaran yang dialokasikan untuk menggelar Pilkada. Anggaran sebesar itu, kata Prabowo, lebih baik digunakan untuk kebutuhan masyarakat.
"Efisien enggak keluar duit? Uang yang bisa beri makan anak-anak kita, uang yang bisa perbaiki sekolah, bisa perbaiki irigasi," kata Prabowo.
Belum lagi banyaknya anggaran politik yang harus dikeluarkan peserta pilkada. Dengan keadaan itu, Prabowo menyarankan perlu ada evaluasi sistem secara bersama-sama.
"Berapa puluh triliun habis dalam satu-dua hari, dari negara maupun dari tokoh-tokoh politik masing-masing," kata Prabowo.
Usulan ini sebelumnya juga disampaikan Politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Jazilul Fawaid. Ia mengusulkan agar pemilihan gubernur dilaksanakan melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau DPRD masing-masing provinsi.
Wakil Ketua Badan Anggaran (Banggar) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI itu mengungkapkan alasannya karena pemilihan kepala daerah atau Pilkada 2024 berbiaya tinggi. Jazilul memberikan contoh, pemerintah harus mengeluarkan biaya lebih dari Rp 1 triliun untuk Pilkada Jawa Barat. Belum lagi ditambah biaya pemilihan gubernur di wilayah lainnya.
"Itu bukan anggaran yang kecil. Kalau yang Rp 1 triliun itu diberikan ke salah satu kabupaten di salah satu provinsi, di NTT misalnya, itu bisa membuat ekonomi bangkit," kata Jazilul di Jakarta, Kamis, 28 November 2024, dikutip dari Antara.
Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi atau Perludem, Titi Anggraini, menilai pemilihan gubernur melalui DPRD berpotensi menimbulkan tindak kesewenang-wenangan elite partai karena tidak melibatkan aspirasi masyarakat. “Bisa memutus mata rantai aspirasi publik dan menimbulkan kesewenang-wenangan elite,” kata Titi saat dihubungi melalui WhatsApp, pada Ahad, 1 Desember 2024.
Meski begitu, Titi tidak menampik pemilihan gubernur oleh DPRD dapat menawarkan proses yang lebih mudah dan efisien. Namun, kata Titi, hasil pemimpin yang diputuskan hanya berbasis terhadap kesepakatan eksklusif para elite partai tanpa mengakomodasi suara dan harapan masyarakat.
Dalam pelaksanaan pilgub dengan dipilih oleh rakyat, kata Tito, juga masih ditemukan keputusan pencalonan yang berbeda dengan konstituen partai. “Apalagi kalau diambil alih sepenuhnya oleh wakil partai di DPRD,” ujarnya.
Alfitria Nefi berkontribusi dalam penulisan artikel ini.