Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Menengok bapak bangsa di ...

Makam bung karno di blitar tetap ramai dikunjungi para peziarah, menjelang peresmian patung proklamasi, peresmian bandara soekarno-hatta & terulang waktu penganugerahan gelar pahlawan proklamator.(nas)

15 November 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KHUSUSAN ila rukhi Bung Karno fil qubur. . . Al Fatihah . . . Dengung lafal surat terpokok Alquran pun terdengar serempak: Al-Fatihah... Suara itu seperti bergema, mengalun tinggi-rendah, memantul di langit-langit serambi bangunan joglo itu. Para lelaki, juga anak-anak -- banyak yang berpeci -- duduk bersila. Para wanita bersimpuh agak ke sisi. Kumandang Al-Fatihah mengalun berkepanjangan. Tahlil demi tahlil bersahut bagai tak mengenal hari. Bunga terus-menerus dihamparkan di depan pintu kaca. Itulah suasana makam seorang tokoh besar yang di hari-hari terakhir ini kembali mengusik kita: Bung Karno. Kota Blitar di Provinsi Jawa Timur, boleh dibilang, tak berarti apa-apa bila tidak melahirkan, dan akhirnya menyimpan, jasad Bung Karno. Sebidang tanah di pojok kota itu, yang pada mulanya pekuburan umum seluas setengah hektar, cukup lapang untuk menyimpan jasad sang Proklamator. Jalan di samping makam itu sudah ditutup untuk kendaraan roda empat. Para peziarah harus berjalan kaki sekitar 500 meter sebelum memasuki pagar tembok bermarmar dengan lengkung-lengkung bercorak arsitektur Islam, untuk mencapai gerbang makam. Gapura di pintu gerbang itu sendiri bercorak Jawa kuno, setidak-tidaknya mengingatkan pada bentuk candi yang ada di Jawa Tlmur, misalnya Candi Penataran, yang tak jauh dari Kota Blitar. Di tengah areal inilah sebuah bangunan joglo, dengan atapnya menjulang ke langit, berdiri tegak. Di situlah jasad Bung Karno disemayamkan untuk selamanya, ditandai batu setinggi tegak orang, berdampingan dengan makam orangtuanya, Raden Sukemi dan Ida Ayu Nyoman Rai. Sekeliling makam dikepung dinding-dinding kaca yang pintunya selalu ditutup. "Hanya pejabat eselon satu dan dua, serta keluarga dekat Bung Karno yang boleh masuk," kata Salimin, 50, juru kunci makam, kepada M. Baharun dari TEMPO. Kamis pekan lalu, hari telah beranjak sore. Tetapi masih ada tujuh bis bernomor polisi Bandung parkir menunggu para penumpangnya berziarah. Kios yang berjejer sepanjang jarak antara tempat parkir dan makam masih tetap buka dan ramai, bersaing menawarkan cendera mata, di antaranya T-shirt bergambar Bung Karno. Anak-anak belasan tahun masih berlari kecil mengejar peziarah, menawarkan reproduksi foto-foto BK dan keluarganya. "Dua ratus lima puluh, Om, dua ratus lima puluh, Tante," katanya merengek. Di dekat pintu gerbang, tukang foto langsung-jadi berkumpul menanti rezeki seperti lazimnya di obyek wisata di banyak tempat. Mereka membuntuti pengunjung, dan bila petugas keamanan lengah, Mat Kodak ini menyelinap ke kompleks dalam makam, dan menawarkan jasa memotret orang di depan makam. Resminya, di areal ini dilarang memotret. Suasana seperti ini mewarnai hari-hari di makam BK. "Setiap hari, rata-rata ada seribu orang yang datang," kata Salimin. Pada hari libur, jumlah itu meningkat di atas tujuh ribu kepala. Jumlah itu semakin berlipat kalau hari Minggu Legi, yang dikenal sebagai hari meninggalnya BK. Banyak yang menanti-nanti hari itu, bukan saja peziarah dari Jawa, tetapi juga peziarah dari Bali -- yang agaknya punya pertautan dengan Almarhum, yang ibunya berasal dari Bali. Keluarga BK sendiri acap kali berziarah ke makam. Ada hari-hari tertentu yang hampir-hampir tak pernah dilewatkan keluarga untuk berziarah ke makam tadi. "Biasanya Senin Pahing, Rabu Wage, dan Ahad Legi," kata Nyonya Soekartini, putri Bu Wardoyo, yang kini menempati rumah keluarga besar BK di Blitar. "Hari-hari itu merupakan hari meninggalnya Pak Wardoyo, Bu Wardoyo, dan Bung Karno." Bu Wardoyo adalah kakak kandung BK. Putra-putri BK sendiri juga sering datang. "Kalau pas ke Jawa Timur, biasanya menyempatkan diri datang ke sini," kata Nyonya Soekartini lagi. Di antara para janda BK, yang paling sering ke makam adalah Nyonya Hartini, yang pekan lalu mewakili keluarga BK menerima gelar Pahlawan Proklamator. Nyonya Dewi sendiri, tahun lalu, membawa biksu dari Jepang ke makam suaminya, mengadakan upacara tersendiri. Rasa ingin tahu, kekaguman kepada BK, mendorong para peziarah tekun berdoa: dengan berbagai cara dan keyakinan. Ada yang bertahlilan, ada yang membungkukkan badan menghormat, ada yang hanya menaburkan bunga, ada pula yang menghormat dengan sikap militer. "Beginilah ragam dan macam tingkah laku peziarah. Tak apa-apa, asal tujuannya hanya mendoakan arwah Bung Karno," kata Salimin. Bagi peziarah yang datang dengan tujuan lain, misalnya mencari nomor buntut atau Porkas, mungkin mengharap promosi jabatan, atau mohon petunjuk nama apa yang cocok untuk merk tokonya -- permintaan yang umum di makam-makam keramat di Jawa -- tak bisa disalurkan di makam BK. Dulu, sebelum makam BK ini dipugar, suasana seperti itu memang hampir saja tercipta. Waktu itu, makam BK berdampingan dengan puluhan makam lainnya, namanya saja pekuburan umum. Nisan BK hanya dibedakan dengan payung yang menaunginya. Orang pun merubung di sana, siang atau malam. "Waktu itu, setiap pengunjung membawa bunga sendiri, membawa sesajen sendiri, dan malah ada yang menaburkan bunga ke makam" kata Arief, yang rumahnya tak jauh dari makam. Suasana itulah yang berganti, begitu makam BK dipugar, dan sejumlah jasad lain harus merelakan diri menjauh untuk jasad sang Proklamator. Sejumlah larangan diberlakukan, jam ziarah ditentukan dan ditempel jelas. Bila jarum jam menunjuk pukul 5 sore, petugas keamanan mempersilakan peziarah keluar dari kompleks makam. Pengunjung tak dibolehkan bermalam. Maka, yang bernama samadi, hening diri, mencari wangsit tak memperoleh penyaluran. Larangan itu masih ditambah dengan tidak boleh mengadakan selamatan, tidak boleh membaca puisi, apalagi berpidato. Juga tak boleh memasuki makam membawa poster. Dalam kaitan inilah, agak menarik peristiwa yang terjadi Senin lalu. Yakni dikaitkannya makam BK dengan peringatan Hari Pahlawan. "Ini memang yang pertama kali," kata Haryono Kusumo, Wali Kota Blitar, kepada Jalil Hakim dari TEMPO. Secara khusus, Ketua Umum Panitia Peringatan Hari Pahlawan Tingkat Nasional, Kharis Suhud yang juga Wakil Ketua DPR -- datang ke Blitar. Usai upacara bendera di alun-alun Blitar, Kharis Suhud dan rombongan berziarah ke makam BK didampingi Rachmawati Sukarno dan suaminya, mewakili keluarga. Dan hari-hari menjelang dan sesudah BK memperoleh gelar Pahlawan Proklamator, pengunjung ke makam pun terasa lebih padat. Itu sudah menjadi tradisi. Setiap kali pemerintah memberi penghargaan kepada BK, makamnya pun semakin ramai. Itu terjadi menjelang peresmian Patung Proklamasi, peresmian Bandara Soekarno-Hatta dan terulang lagi pekan lalu. Seandainya, ya, seandainya, Bung Karno bisa melihat dari dunia sana, melihat bentuk makamnya yang dipugar pemerintah, melihat berbondong-bondong orang datang ke Blitar, apakah komentarnya -- kalaupun ia bisa berkomentar? Astaghfirullah. Masalahnya, ketika BK masih hidup, ia ternyata sudah menulis sejumlah surat dengan tulisan tangan di atas kertas surat Presiden Republik Indonesia. Di situ, ia menyinggung soal kematian dan kubur. Dalam "surat wasiat" berjudul Testamenku tertanggal 6 Juni 1962, tepat di hari ulang tahunnya ke-61, BK menulis, antara lain: "Kalau aku mati, kuburkan aku di bawah pohon yang rindang." Kalimat ini diulang lagi sebagai pembuka kata untuk surat berjudul Amanat yang bertanggal 16 September 1964. Lalu yang lebih terinci ditulis dalam Surat Wasiat -- begitu judulnya bertanggal: Bogor 24 Mei 1965. Bunyinya,"Kalau saya meninggal dunia, maka saya menghendaki, agar kelak istri saya Hartini dikubur berdampingan dengan saya. Tempat kuburan bersama itu telah saya tentukan, yaitu di Kebun Raya Bogor dekat bekas kolam permandian yang membukit." Bung Karno meninggal dunia 21 Juni 1970 di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta, pukul 7 pagi setelah dirawat di sana lima hari. Pemerintah memberlakukan masa berkabung selama tujuh hari. Bukan cuma itu, lewat Keppres RI No. 44 tahun 1970, pemerintah pun menetapkan makamnya, di Blitar. Tak ada protes yang mencolok, setidak-tidaknya dalam suasana berkabung itu. Berbulan setelah itu, barulah keluar berbagai komentar dan pernyataan, baik dari keluarga dekat BK maupun putra-putrinya, yang ingin memindahkan makam Bung Karno di Blitar itu ke sebuah "tempat yang rindang" sebagaimana diwasiatkan BK semasa hidup. Polemik tentang "pohon rindang" itu pun sempat berkepanjangan: ada yang mengartikan pohon beringin, ada yang mengartikan simbolis, Pancasila. Polemik itu langsung hilang -- dan diganti polemik dengan tema lain -- ketika Ali Murtopo, dalam jabatannya selaku Waka Bakin, memberi sambutan pada HUT PDI ke-5 di Gelora Manahan, Solo. Pernyataan Ali Murtopo itu mengagetkan, karena ia, katanya, membawa pesan Pak Harto, baik selaku pribadi maupun selaku presiden, yang menyatakan makam BK akan dipugar. Pernyataan Ali Murtopo ini diulang-ulang dalam berbagai kesempatan. Sejumlah orang menyambut gembira, karena itu berarti kelanjutan penghargaan pemerintah, yang sebelumnya sudah mengangkat BK sebagai Perintis Kemerdekaan. Tetapi sejumlah lain, termasuk keluarga BK sendiri, keberatan dengan rencana pemugaran itu, karena menyimpang dari pesan-pesan BK sebelumnya, ingin kuburan yang sederhana. Itulah polemik dengan tema yang lain, dan sejarah akhirnya mencatat, kini di Blitar berdiri makam Bapak Bangsa Indonesia. Zaim Uchrowi & Putu Setia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus