Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Yang berbeda dari dwitunggal

Sejarah mencatat bung karno & bung hatta berpisah karena perbedaan penafsiran politik dan mencatat kehadiran dwitunggal soekarno-hatta. kedua telah mewariskan nilai-nilai untuk generasi setelah mereka. (nas)

15 November 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KETIKA Tuhan memanggil Mohammad Hatta kembali ke pangkuannya, enam tahun lalu, Jakarta sepi. Dan Republik yang diproklamasikannya bersama Soekarno menunduk sedih. Dari dua kutub yang berbeda, mereka bertemu sambil memperjuangkan gagasan kemerdekaan bagi bangsanya. Sebuah cita-cita yang tak pernah terpikirkan ketika mereka berdua dilahirkan. Keduanya berasal dari keluarga terpandang pada masanya. Hanya saja, Hatta dibesarkan di lingkungan yang memegang teguh norma-norma keagamaan (Islam) dan adat (Minangkabau). Sedang Soekarno mendapatkan proses sosialisasi bersendikan tatanan nilai tradisional Jawa. Namun, mereka beruntung dapat mengenyam pendidikan hingga perguruan tinggi -- kesempatan yang teramat langka kala itu. Berbeda dengan Soekarno, Hatta tidak segera menemukan organisasl politik tempat ia menempa dirinya. Hingga tahun 1918 Hatta lebih banyak berkecimpung di organisasi sosial. Barulah setelah mendapat kesempatan belajar di Belanda, ia mulai berkenalan dengan aktivitas politik sesungguhnya. Melalui tokoh-tokoh muda seperti Hatta dan Iwa Kusumasumantri, Indische Vereniging, perkumpulan sosial yang kemudian mengubah namanya menjadi Perhimpunan Indonesia (PI), mendapat tonikum baru sebagai organisasi yang oleh pemerintah Belanda dicap cukup radikal. Radikal dalam arti bahwa mereka memilih prinsip nonkooperasi. Di tanah jajahan Belanda, Hindia Belanda, angin semangat nonkooperasi pun bertiup. Tahun 1927, Soekarno mendirikan PNI (Partai Nasional Indonesia). Sampai pada titik ini, keduanya mempunyai banyak persamaan. Namun, Halida Nuriah Hatta, dalam skripsinya berjudul Dwitunggal. Analisa Pola Kepemimpinan Nasional Periode 1945-1956 mengungkapkan beberapa landasan pertikaian pola pemikiran mereka. Soekarno sudah sejak tahun 1926 berupaya mempertautkan unsur-unsur nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme. "Jika Soekarno melihat bahwa persatuan Indonesia, antara lain, dapat terwujud bilamana ketiga aliran tersebut dapat hidup rukun, maka Hatta percaya bahwa keanekaragaman daerah, ideologi, agama dapat diatasi dengan sistem parlementer," tulis putri bungsu Hatta ini. Pada perkembangan berikutnya, dukungan Hatta terhadap kepemimpinan Soekarno yang nasionalistis-revolusioner berubah menjadi kritik ketika Soekarno mengundurkan diri dari segala pergerakan, baik Partindo maupun PPPKI. Sebaliknya, Soekarno pernah pula menyerang sikap Hatta yang cenderung menyetujui pencalonan wakil-wakil Indonesia di Tweede Kamer Belanda. Tindakan tersebut, menurut Soekarno, berarti penyimpangan dari prinsip-prinsip nonkooperasi. Jika akhirnya mereka terpilih sebagai presiden dan wakil presiden setelah Proklamasi Kemerdekaan 1945, pilihan tersebut sebenarnya merupakan pengakuan terhadap kemampuan dan konsistensi perjuangan mereka. Namun, pilihan tersebut bisa jadi merupakan sebuah pengorbanan sebagian aspirasi masing-masing. Keluarnya Maklumat No. X, Oktober 1945, yang disusul maklumat tertanggal 3 November, merupakan sebuah jalan tengah untuk mengatasl munculnya pertikaian di antara kedua pemimpin. Kala itu memang sempat terlintas pemikiran di benak Soekarno yang menginginkan satu partai saja di negara ini -- sebuah gejala yang oleh Hardi dianggap perwujudan pengaruh Sejarawan M. Yamin: partai politik seperti matahari terbenam, dan kehadirannya akan digantikan oleh golongan fungsional yang ibaratnya matahari terbit. Kepada Musthafa Helmy dari TEMPO, Natsir, yang pernah menjadi perdana menteri, beranggapan bahwa manuver politik Hatta dengan mengeluarkan maklumat tersebut adalah salah satu upaya mencegah adanya kesempatan Soekarno menjadi diktator. Maklumat pertama sebenarnya memberikan kekuasaan legislatif kepada KNIP. Maklumat berikutnya memberikan kesempatan mendirikan partai politik. Bahwasanya kedua maklumat tersebut muncul, secara yuridis keduanya merupakan penyimpangan UUD 1945. Yaitu dengan memperkenankan sistem parlementer. Namun, disadari pula bahwa kehadiran maklumat tersebut paling tidak merupakan jawaban terhadap sekelompok orang yang menginginkan Soekarno mundur. Menurut mereka, Soekarno adalah seorang kolaborator. Setelah Perjanjian Renville, yang memotong seperempat wilayah Indonesia, situasi pohtik makin tak menentu. Apalagi dengan terjadinya perpecahan di Partai Sosialis. Kabinet Amir Syarifuddin tumbang. Hatta lalu ditunjuk sebagai formatir kabinet. Adapun Hatta tidak memberi konsesi kursi kabinet kepada kelompok Amir Syarifuddin. Inilah yang menyebabkan perpecahan Partai Sosialis semakin menjadi-jadi. Pengikut Amir Syarifuddin keluar dari Partai Sosialis dan bergabung dalam Front Demokrasi Rakyat, yang, antara lain, beranggotakan PKI (Partai Komunis Indonesia). Sementara itu, kelompok Sjahrir mendirikan Partai Sosialis Indonesia (PSI). Sebagai perdana menteri merangkap menteri pertahanan, Hatta memasukkan rasionalisasi TNI sebagai satu dari empat programutamanya. Di sisi lain, program rasionalisasi oleh Hatta dimaksudkan sebagai saringan untuk membersihkan pengaruh komunis di kalangan TNI. Kejelian Hatta menyimak tindak-tanduk kaum komunis inilah juga yang membedakannya dengan Soekarno. Sehingga, ketika Amir dan Muso melancarkan agitasi bersenjata PKI di tahun 1948, TNI sudah siap. Seperti kata Tahi Bonar Simatupang, yang waktu itu menjabat Wakil KSAP, kehidupan Eropa telah mengajar Hatta akan bahaya komunis. "Ajaran komunis itu sendiri sungguh mengancam kelangsungan demokrasi," kata Simatupang kepada Putut Tri Husodo dari TEMPO. Lain halnya dengan Soekarno yang terkesan memandang semangat komunis. Menurut Simatupang, pemberontakan Muso dan Alimin, 1926, dicatat Soekarno sebagai tindakan yang begitu heroik. Berikutnya, "Soekarno senantiasa memandang komunis sebagai keluarga sendiri, saudara dalam melawan kolonialisme," kata Simatupang. Sebegitu jauh, Peristiwa 17 Oktober 1952 sesungguhnya telah menciptakan jurang pemisah baru antara Hatta dan Soekarno. Apalagi setelah itu Soekarno merasa dirinya sebagai tumpuan harapan dari kekuatan-kekuatan politik yang sedang bertikai. Pertanda-pertanda bahwa Soekarno ingin mengakhiri kerja samanya dengan Hatta makin terlihat sesudah jatuhnya Kabinet Wilopo, 1953. Sementara itu, di tubuh TNI sendiri terlihat polarisasi antara kelompok pro-17 Oktober dan kelompok anti-17 Oktober. Akibat yang paling terasa setelah itu adalah kesulitan membentuk kabinet pengganti. Baik PKI, PNI, dan Soekarno menginginkan kabinet PNI tanpa mengikutsertakan Masyumi. Sedangkan Masyumi dan PSI menginginkan kabinet presidensiil di bawah pimpinan Hatta. Tapi Soekarno terang-terangan menolak. Ia menganggap situasi saat itu tidak dalam keadaan darurat. Namun, di balik penolakannya itu, sebenarnya tersembunyi kekhawatiran naiknya kembali Hatta. Oleh Soekarno, hal ini diartikan sebagai penghalang tindakannya. Maka, sejak Februari 1956 tersiarlah berita keinginan Hatta mengundurkan diri sebagai wakil presiden. Namun, pada kenyataannya, pengunduran diri tersebut baru terlaksana sepuluh bulan kemudian. Dwitunggal berakhir. Pertikaian perbedaan di antara mereka berdua pun usai. Namun, tidak berarti Hatta kalah. Sebab dalam hal ini tidak ada yang kalah maupun yang menang. "Bung Hatta tidak ingin menampakkan bahwa ia berbeda pendapat dengan Bung Karno," kata bekas PM Mohammad Natsir kepada Musthafa Helmy dari TEMPO. Hatta mundur tapi tidak diam. Sebagai seorang yang ikut memperjuangkan kemerdekaan negeri, dengan caranya sendiri, ia terus berusaha mengingatkan Soekarno akan bahaya akibat tindakan-tindakan politiknya. Ketika Soekarno makin ngotot memaksakan konsepsi politiknya kepada masyarakat Indonesia, Hatta menulis pamflet Demokrasi Kita. Di sana Hatta mengkritik Demokrasi Terpimpin yang baru saja diberlakukan oleh Soekarno. Tulis Hatta: . . . sejarah dunia memberi petunjuk bahwa diktator yang bergantung kepada kewibawaan orang-seorang tidak lama umurnya. . . . Apabila Soekarno sudah tidak ada lagi, maka sistemnya itu akan roboh dengan sendirinya seperti rumah dari kartu. Tidak ada seorang juga dari tim kerja sama yang diadakannya itu mempunyai kaliber dan kewibawaan untuk meneruskannya. Tidak ada pula bayangan dalam masyarakat bahwa sistem itu disukai orang. Kritik Hatta ini amat mengingatkan kita pada kritiknya kepada Soekarno di awal tahun 1930-an, ketika PNI dibubarkan oleh Sartono setelah Soekarno ditahan oleh pemerintah kolonial. Waktu itu Hatta mengkritik cara berjuang Soekarno yang menggunakan agitasi sebagai metode perjuangan. Hatta menganggap cara demikian tidak mendidik rakyat. Rakyat yang berjuang setelah diagitasi, menurut Hatta, akan kacau dan kehilangan arah apabila sang agitator hilang. Menurut Hatta, itulah yang terjadi dengan para pengikut Soekarno ketika ia mendekam dalam tahanan. Hatta bukan cuma melancarkan kritik tapi juga melakukan sesuatu. Sepulang dari Negeri Belanda, Hatta bergabung dengan teman lamanya, Sjahrir, yang sudah lebih dahulu bergiat dalam Pendidikan Nasional Indonesia (PNI baru). Berbeda dengan PNI bentukan Soekarno atau partai-partai lainnya, PNI baru ini lebih menekankan pada kaderisasi, dan sama sekali menghindari agitasi. PNI baru ini akhirnya dihancurkan oleh aparat keamanan kolonial. Tapi sejumlah kader mereka, kelak di zaman Jepang, menjadi tenaga inti dalam gerakan di bawah tanah yang dipimpin oleh Sjahrir. Dan ketika Sjahrir kemudian mendirikan Partai Sosialis -- bersama Amir Syarifuddin, maupun Partai Sosialis Indonesia, setelah berpisah dengan Amir -- tenaga inti dari partai-partai tersebut bersumber pada kader-kader PNI baru tadi. Kritik Hatta tidak didiamkan oleh Soekarno. Pada masa Demokrasi Terpimpin, di puncak kejayaan Soekarno, terbit memoir sang Pemimpin Besar Revolusi yang ditulis oleh Cindy Adams. Tentang Hatta -- dan Sjahrir sekaligus -- Soekarno berpendapat: Hatta dan Sjahrir tidak pernah membangun kekuatan. Apa yang mereka kerjakan hanya bicara. Aku mencoba usaha yang terakhir. "Ini adalah peperangan," kataku. "Suatu perjuangan untuk hidup. Ini bukanlah soal ketuhan pendirian dengan generasi yang akan datang ataupun suatu kehormatan bagi sisa dari pergerakan, sehingga tingkatan yang lebih bawah dapat memegang teguh prinsip-prinsip yang telah dikurangi setelah para pemimpin mereka masuk bui. Kehormatan tidaklah pada tempatnya pada perjuangan mati-matian ini. Ini adalah semata-mata persoalan kekuatan. Di saat Bung Hatta dan Sjahrir maju terus dengan usaha pendidikan, pada waktu itu pula kepala Saudara-Saudara akan dipukul oleh musuh." Machtsvorming dan machtsaanwending itu adalah dua kata penentu bagi Soekarno. Dan untuk itu, agitasi adalah bagian mutlak bagi kegiatan politik Soekarno. Pendidikan adalah yang terpenting bagi Hatta. Untuk itu, kaderisasi dan bukan agitasi yang jadi metodenya. Soekarno dan Hatta sudah berlalu, dua pilihan mereka ditinggalkan bagi generasi setelah mereka. James Lapian & Salim Said

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus