IA tak hadir di Istana Negara, Jakarta, Sabtu siang lalu, ketika Presiden Soeharto menganugerahkan gelar Pahlawan Proklamator bagi Almarhum Bung Karno. Acara itu cuma disaksikannya melalui televisi, pada malam harinya. Sejak 1966, Haryati memang telah bercerai dengan Bung Karno. Kendati demikian, "Saya sangat terharu melihat upacara itu," kata Haryati kepada Sayadi dari TEMPO. Maka, ia lantas terkenang masa lalunya. Adalah kepandaian menari yang mengantarkan Haryati, anak bungsu dari delapan bersaudara, sebagai pegawai urusan kesenian Istana Kepresidenan pada Sekretariat Negara. "Waktu itu, saya masih berusia 21 tahun," ujar Haryati. Pada suatu hari, ketika Haryati baru saja menjadi pegawai, terdengar seseorang memanggil-manggil namanya, "Haryati . . . Haryati." Tapi ia tak menghentikan langkahnya. "Saya terus berjalan. Sampai tiba-tiba seorang pengawal menghampiri sambil mengatakan bahwa saya dipanggil Bapak Presiden," tutur Haryati. Ketika keduanya bertatap muka, bertanyalah Bung Karno dalam bahasa Jawa. "Kamu Haryati, 'kan? Silakan duduk." Haryati bingung dan deg-degan ketika dipersilakan begitu. Untuk menolak, ia tak kuasa maka permintaan itu diikutinya saja. "Bagaimana kerja di sini? Senang?" tanya Bung Karno tanpa berkedip menatap orang yang ditanyanya. Belum sempat Haryati menjawab, Bung Karno kembali menimpali. "Tahu tidak. Jadi pegawai negeri, gajinya kecil, lho." "Tidak apa-apa," jawab Haryati singkat. "Baiklah. Silakan teruskan," kata Bung Karno. Adalah panggilan di jalan setapak Istana Merdeka itulah yang kemudian mengantarkan Haryati ke penghulu, Mei 1963. Di sana, ia menyatakan bersedia menjadi istri Soekarno. Waktu itu, Haryati sudah sadar bahwa d antara mereka terentang jarak usia 39 tahun. Ia pun tahu bahwa Bung Karno masih menjadi suami resmi bagi tiga wanita lainnya. Salah satu faktor yang membuat Haryati menerima lamaran Soekarno adalah tiga istri yang lain berdiam di luar Istana "Perhitungan saya wajar-wajar saja," ujar Haryati. Kendati begitu, hubungan mereka bukan tidak mendapat halangan. "Waktu pernikahan di Istana, datang Bu Hartini mengeja saya. Tidak sampai ribut besar, memang. Tapi, sampai sekarang dia tidak mau kena saya," kata Haryati. Yang menjengkelkannya, tidak satu pun koran memberitakan peristiwa tersebut. Penyebab ketidakcocokan Haryati dengan Bung Karno berikutnya datang bersama kehadiran Ratna Sari Dewi. "Tentan Dewi, kalau saya tanyakan kepada Bapak. beliau selalu mengatakan bahwa Dewi iu penerjemah bahasa Jepang," ujar Haryati. Tapi kebohongan itu terungkap sewaktu Haryati mengetahui Dewi hamil. Ketika mahasiswa mulai turun ke jalan mengecam kebijaksanaan Bung Karno, Haryati minta cerai. Dari Bung Karno, Haryati tak memperoleh keturunan. Dari perkawinan berikutnya, dengan seorang perwira TNI-AD, Haryati memperoleh empat anak. Tahun 1978, setelah sepuluh tahun lebih berumah tangga, mereka bercerai. Kini Haryati harus membiayai sendiri sisa perjalanan hidupnya. Apa yang diwariskan Bung Karno buat Haryati? "Yang jelas, Bapak tidak meninggalkan saya di sembarang tempat," ucapnya. Bung Karno, kata Haryati, sempat menghadiahkan rumah di Jalan Madiun, dan sebidang tanah di Slipi, untuk dirinya. Kedua peninggalan itu sampai sekarang masih dalam sengketa. Tapi, kata Haryati, ia masih punya peninggalan Bung Karno yang paling berharga: sebentuk cincin kawin dari emas bertuliskan Soekarno. Kendati tak lagi muat di jari manisnya, cincin itu mustahil lepas dari empunya. Hartini beruntung masih mendapatkan warisan sebidang tanah seluas 7.000 m2 di Bogor. Dari hasil penjualan tanah itu, ia kemudian membeli rumah di Jalan Proklamasi, Jakarta Pusat, sekitar 200 meter dari Patung Proklamasi -- yang dilambangkan dengan sosok Bung Karno dan Bung Hatta. Tak cuma itu keberuntungan Hartini. Ia juga berada di samping Bung Karno, saat suaminya menutup mata untuk selama-lamanya. "Saya hanya ingin membuktikan bahwa saya setia kepada Bung Karno pada saat apa pun. Saya kasmaran pada Bung Karno bukan karena kepresidenannya. Tapi karena ia telah menggetarkan hati saya: suaranya, penampilannya kalau sudah mengenakan baju resmi dan berpeci, kharismanya, dan, di samping itu, dia 'kan handsome," kata Hartini kepada Mohamad Cholid dari TEMPO. Adalah Hartini pula yang hadir pada upacara penganugerahan gelar Pahlawan Proklamator. "Saya tergetar saat itu. Saya ingat Bapak, lantas ingat Taufan, anak saya yang belum lama ini meninggal," kata Hartini dengan mata berkaca-kaca. Sebuah pertanda kesetiaan? Ketika menikah dengan Bung Karno di tahun 1952, usia Hartini waktu itu sudah 28 tahun. "Saya sadar bahwa saya akan dimadu. Tetapi saya mencintainya, dan Bung Karno juga mencintai saya," kata Hartini. Pernikahan mereka berlangsung secara bersahaja di Istana Cipanas. Hanya dihadiri 10 orang -- termasuk tiga petugas Kantor Urusan Agama dan kedua orangtua Hartini. "Kami menikah tidak dengan emosi," Hartini mengenang. Karena itu, mereka tidak gentar menghadapi kritik tajam organisasi wanita Persit dan Perwari atas perkawinan tersebut. Bung Karno juga mengakui bahwa perkawinannya dengan Hartini atas dasar cinta. "Percintaan kami begitu romantis, sehingga orang dapat menulis sebuah buku tersendiri mengenai hal tersebut," kata Bung Karno dalam otobiografi yang ditulis Cindy Adams. Mulanya, Hartini kaget juga menghadapi kelakuan suaminya yang pantang melihat wanita cantik. "Lama-lama, kelakuan itu, bagi saya, menjadi biasa," kata Hartini suatu ketika. Tapi ada satu hal yang dipegang teguh Hartini, yaitu janji Bung Karno kepadanya sebelum mereka ke penghulu, "Engkaulah, Tien, wanita terakhir yang kukawini." Janji-janji tinggal janji. Karena itu, tidak heran jika Hartini mendamprat Haryati habis-habisan saat dinikahi Bung Karno. Begitu pula waktu Bung Karno menikahi Yurike Sanger dan Ratna Sari Dewi (sebelumnya bernama Naoko Nemoto). Kabarnya, perkawinan Bung Karno dengan wanita Jepang itu baru diakui Hartini setelah mereka menikah 10 tahun. Seperti geramnya Hartini mendengar Bung Karno menikahi Haryati, begitu pula marahnya Fatmawati terhadap perkawinan Hartini. Karena itu, Fatmawati memutuskan keluar dari Istana. Dari catatan sahabat dekat Soekarno, yang dikutip Fatmawati dalam biografinya, tertulis, "Sampai dengan lahirnya Mohammad Guruh, tahun 1954, keluarga Presiden rukun dan kelihatan bahagia sekali. Akan tetapi setelah pecah berita bahwa Bung Karno akan menikah dengan Bu Hartini, hubungan Bung Karno dengan Bu Fat mulai tegang dan renggang." Berbagai upaya dilakukan untuk merujukkan mereka. Namun, Fatmawati tetap bersikeras. Bahkan ketika suaminya berada di luar kota, Fatmawati mengemasi barang-barangnya dan pindah ke rumah di Jalan Sriwijaya, yang sekarang ditinggali anak bungsunya, Guruh. "Aku tidak akan menceraikan Fatma, karena anak kami yang lima orang," kata Bung Karno kepada Cindy Adams. Hal yang kemudian membuat temperamen BK meninggi adalah aksi unjuk rasa kelompok-kelompok wanita. "Sekiranya demonstrasi ini menentang kebijaksanaan negara, aku akan segera mengambil tindakan. Akan tetapi ini ditujukan kepadaku pribadi. Sekalipun menyakitkan hati dan menyebabkan kemarahanku, aku tak bisa berbuat apa-apa .... Sebagian wanita-wanita itu menolak orang lain selain dari Fatmawati sebagai Ibu Negara." Betapapun tindakan Fatma dimaksudkan untuk menutupi perasaan yang paling dalam dari lubuk hati seorang wanita: tak mau dimadu. Padahal, ia menikah juga ketika Bung Karno masih beristrikan Inggit Garnasih, wanita yang mendampingi calon Proklamator itu di tanah pembuangan. Tidak bisa disangkal memang bahwa kehadiran Katna Sari Dewi memberikan warna lain dalam kehidupan Bung Karno. Polesan duniawi. Bekas geisha di sebuah bar itu hidup bagaikan putri bangsawan: hinggap dari satu kota metropolitan ke kota metropolitan lainnya. Dan hampir di setiap pesta jetset namanya terdaftar sebagai undangan. Ketika Bung Karno meninggal, kedatangan Dewi ke Indonesia merupakan berita besar. Satu kali ia dikabarkan hendak menuntut ganti rugi terhadap penyitaan rumah warisannya di Jalan Gatot Subroto, yang sekarang dipakai sebagai Museum ABRI. Kali berikutnya, ia diberitakan hendak membuka bisnis kontraktor pembangunan sipil di Jakarta. Dewi adalah satu-satunya istri Bung Karno yang masih menjadi incaran masyarakat. Adalah Dewi yang hadir pada saat-saat terakhir Bung Karno, karena permintaan terakhir presiden pertama Republik Indonesia itu. Dan pemerintah menyetujuinya. Kini Dewi menetap di Jakarta. Lakon Bung Karno telah lama berakhir. Tak ada yang perlu disesali dari kepergiannya. Dengan segala kelemahannya, ia telah memberikan yang terbaik bagi negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini