Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Macam ragam pahlawan

Dalam memberikan gelar pahlawan, pemerintah membagikan 8 kelompok pahlawan. dengan kriteria pembagian yang tak jelas. di masyarakat berkembang gelar pahlawan tak dikenal dan pahlawan tanpa tanda jasa.(nas)

15 November 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SIAPAKAH pahlawan itu ? Peraturan Pemerintah RI No. 3 tahun 1964 menyebutkan, pahlawan adalah warga negara Indonesia yang gugur atau tewas atau meninggal dunia karena tindak kepahlawanannya yang cukup mempunyai mutu dan nilai perjuangan dalam suatu tugas perjuangan untuk membela negara dan bangsa. Yang ditekankan di sini adalah pahlawan itu seseorang yang sudah meninggal dunia. 'Kalau orang itu belum meninggal dunia, tak akan diberi gelar pahlawan secara resmi, menurut peraturan pemerintah ini," kata R.P. Soekandarno Poerbo, Direktur Urusan Kepahlawanan dan Perintis Kemerdekaan (UKPK), Direktorat Bina Kesejahteraan Sosial, Departemen Sosial. "Rawan untuk memberi gelar pahlawan kepada seserang yang masih hidup," kata Soekandarno lagi. Yang dikhawatirkan, bagaimana kalau, misalnya, seseorang itu telanjur diberi gelar pahlawan, tetapi tiba-tiba dalam sisa hidupnya membuat cemar. "'Kan tidak enak untuk mencabutnya kembali," katanya kepada Sayadi dari TEMPO. Tetapi mengapa Presiden dan Wapres RI yang pertama, Bung Karno dan Bung Hatta, baru pekan lalu bergerak menyandang gelar pahlawan? Tentang ini, Soekandarno menyebutkannya, "Itu hanya masalah administrasi saja." Pahlawan Proklamator untuk keduanya itu sudah disinggung oleh pemerintah begitu keduanya masing-masing tutup usia. Ketika Bung Karno wafat, ketika patungnya diresmikan di Jalan Proklamasi, pada saat peresmian pemugaran makamnya di Blitar, pemerintah sudah menyebut-nyebut pahlawan proklamator. Dan itu ada yang lewat surat keputusan pesiden," kata Direktur UKPK ini. Yang dimaksud agaknya, antara lain, Keppres No. 4 tahun 1970 yang dikeluarkan beberapa saat setelah Bung Karno wafat, 21 Juni 1970. Dalam bagian menimbang nomor tiga disebutkan: bahwa bangsa Indonesia yang memiliki falsafah Pancasila patut memberikan penghargaan yang wajar atas jasa-jasa Dr. Ir. Soekarno terhadap nusa dan bangsa sebagai Prklamator Kemerdekaan Negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Bagian ini lantas diperkuat pada bagian memutuskan, yang menetapkan upacara pemakaman kenegaraan kepada almarhum sebagai proklamator. Rupanya, masyarakat belum puas, kalau gelar pahlawan itu tidak dilakukan secara resmi, maklum ini negeri yang penuh upacara. Maka, diadakanlah upacara resmi pekan lalu itu, yang memang merupakan upacara tahunan untuk menambah jumlah pahlawan -- kalau memang ada yang menyusul. "Jadi, gelar untuk Bung Karno dan Bung Hatta itu bukan usulan baru," kata Soekandarno. Yang belum terjawab adalah kenapa baru tahun ini yang resmi itu diselenggarakan. Yang juga unik adalah sebutan Pahlawan Proklamator itu. Ternyata, dalam ketentuan pemerintah sebelum ini, sebutan itu tak pernah ada. Selama ini dikenal tujuh kelompok pahlawan, itu pun dengan kriteria pembagian yang tak ada penjelasannya. Ketujuhnya adalah: Pahlawan Nasional, Tokoh Nasional/Pahlawan Kemerdekaan Nasional, Pahlawan Kemerdekaan Nasional, Pahlawan Revolusi, Pahlawan Kemerdekaan, Pahlawan, dan Tokoh Nasional. Dalam barisan Pahlawan Nasional, terdapat nama Wahidin Soedirohoesodo, penganjur berdirinya Budi Utomo. Ikut "bergabung" di sini Jos Soedarso yang gugur pada pertempuran ketika merebut Irian Jaya di Laut Arafuru (15 Januari 1962), Pangeran Diponegoro yang meninggal 8 Januari 1855, juga Basuki Rachmat yang meninggal karena sakit 8 Januari 1969. Dalam kelompok inilah masuk Raden Intan II dari Lampung dan R. Pandji Soeroso -- Bapak Koperasi Pegawai Negeri -- yang kepahlawanannya diresmikan bersamaan dengan Bung Karno dan Bung Hatta Sabtu pekan lalu itu. Jumlah kelompok Pahlawan Nasional sekarang ini 35 orang. Dalam gugusan Tokoh Nasional/Pahlawan Kemerdekaan Nasional masuk empat nama, yang tak bertambah sejak 1963. Mereka: Gatot Subroto, Dr. Sahardjo, Ir. H. Djuanda, dan Sukardjo Wirjopranoto. Di kelompok Pahlawan Kemerdekaan Nasional (tanpa garis miring Tokoh Nasional), jumlah anggotanya besar, 34 pahlawan. Di sini ada nama-nama Agus Salim, K.H. Ahmad Dahlan, Ki Hadjar Dewantara, Jenderal Soedirman, R.A. Kartini. Tak jelas bagaimana mengelompokkannya, tanda jasa mereka berbeda, bidang perjuangan mereka beda, bahkan tak semuanya dimakamkan di taman makam pahlawan. Pada kelompok Pahlawan Kemerdekaan (tanpa Nasional) ada empat pahlawan yakni dr. Tjipto Mangunkusumo, Pangeran Antasari, Prof. Dr. Soepomo, dan Prof. Dr. Johannes. Seandainya Antasari, pahlawan Banjar yang gugur di abad ke-19 itu (tepatnya 11 Oktober 1862), tidak masuk dalam kelompok ini, bisa jadi masyarakat menduga kelompok ini pahlawan dari tingkat keluaran perguruan tinggi. Pahlawan Revolusi termasuk yang jelas asal-usulnya. Yakni pahlawan yang menjadi korban keganasan G 30-S/PKI. Ada sepuluh orang, delapan yang gugur di Jakarta (A. Yani dan kawan-kawan) dan dua di Yogyakarta (Katamso dan Sugiono). Juga kelompok Pahlawan (tanpa embel-embel lain) jelas jenisnya, karena hanya dua orang. Yakni dua prajurit KKO (kini tentu Marinir) yang dihukum gantung di Singapura pada 17 Oktober 1968. Mereka adalah Sersan Dua KKO (Anumerta) Usman bin Mohammad Ali dan Kopral KKO Harun bin Said. Lantas siapa itu pahlawan bergelar Tokoh Nasional? Ia satu-satunya, Mgr. Albert Soegijopranoto yang dimakamkan di TMP Semarang dan namanya diabadikan sebagai universitas swasta di kota itu. Ia meninggal di Nederland 10 Juli 1963. Jika masyarakat bingung dengan pengelompokan ini, wajar saja. "Saya sendiri juga bingung," kata Soekandarno, terus terang. Dan sejak pekan lalu, jumlah kelompok pahlawan itu menjadi delapan. Sekarang semua pahlawan, termasuk Pahlawan Proklamator, berjumlah 92 orang. Almarhum Adam Malik, Wapres RI ketiga, dan Bung Tomo, salah seorang peluang pertempuran di Surabaya, tidak termasuk pahlawan. Kabarnya, sedang dalam pertimbangan. Bagaimana proses pertimbangan itu, sehingga gelar pahlawan bisa turun? Mulamula ada usul dari daerah, bisa lewat Gubernur, DPRD, Kanwil Depsos, atau organisasi masyarakat. Usul itu ditampung Badan Pembina Pahlawan Pusat. Badan ini bersifat antardpartemen, tetapi berkantor di Departemen Sosial. Badan inilah yang menguji pcruangan calon pahlawan itu, lewat Arsip Nasional atau jika perlu dicari data dari luar negeri, misalnya Negeri Belanda," kata Soekandarno. Setelah lolos uji, badan mengusulkan ke Dewan Tanda Kehormatan, yang sekarang diketuai Maraden Panggabean, Ketua DPA. Dewan ini kemudian memproses gelar itu sehingga menjadi keputusan presiden. Dari dewan ini pulalah pahlawan tadi dimasukkan ke kelompok tertentu. Pengelompokan itu tak mempengaruhi besar kecilnya penerimaan dana pemerintah yang diterima para ahli waris pahlawan, masing-masing Rp 100 ribu sebulan. Dana ini disebut "bantuan" karena sewaktu-waktu bisa dicabut, kalau keuangan negara, misalnya, dalam keadaan rawan. "Berbeda dengan perintis kemerdekaan, yaitu kakek dan nenek kita yang berjuang sebelum tahun 1945, mereka mendapat tunjangan, yang tak akan bisa dicabut," ujar Soekandarno. "Besarnya Rp 150 ribu, biasanya 'kan mereka itu miskin." Itulah pahlawan-pahlawan yang resmi. Namun, di masyarakat berkembang "gelar" pahlawan-pahlawan jenis lain, yang riwayat lahirnya adalah bunga-bunga pidato untuk mengobarkan semangat juang. Ada Pahlawan tak Dikenal, sebutan ini semakin populer karena dijadikan judul puisi oleh Penyair Toto Sudarto Bachtiar dan sering dijadikan puisi wajib dalam perlombaan di sekolah-sekolah. Walau tak dikenal, masyarakat umumnya memberi batasan, pahlawan ini gugur dalam perang kemerdekaan. Lalu ada Pahlawan tanpa Tanda Jasa, ini malah menjadi lagu wajib para guru, untuk membangkitkan semangat pengabdiannya. "Gelar" ini diciptakan Sartono, guru seni suara dari Madiun, merupakan judul lagu pemenang himne guru nasional yang diselenggarakan 1480. Dan, memang, pahlawan itu maksudnya para guru. Putu Setia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus