REKTOR Universitas Indonesia (UI) dan Dekan Fakultas MIPA (Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam) UI digugat. Agusnadi Ahmad memasukkan surat gugatan itu di Pengadilan Negeri Bogor, Senin pekan lalu. Agus menuntut ganti rugi Rp 22,5 juta dan meminta agar gdun Fakultas MIPA UI di Depok, Jawa Barat, diletakkan sebagai sita jaminan. Agusnadi Ahmad, 24 tahun, adalah mahasiswa Jurusan Kimia Fakultas MIPA UI angkatan 1985. Akhir Februari lalu, Dekan Fakultas MIPA UI menyatakan Agus telah DO (drop out). Alasannya, ia dianggap tidak dapat memenuhi target Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) yang telah ditentukan, kendati telah diberi dispensasi. Lalu diberi kelonggaran lagi, tapi tak mau mendaftarkan ulang. Lulusan SMA Sisingamangaraja, Tanjungbalai, Sumatera Utara, itu mengawali kuliahnya pada semester ganjil periode 1985/1986 dengan mengambil mata kuliah sebanyak 19 SKS. Menjelang ujian semester, Agus menderita sakit bronkhitis berat, hingga dirawat di ruang Unit Gawat Darurat RSCM, dan baru meninggalkan rumah sakit dua hari menjelang ujian. Itu pun masih diharuskan istirahat dua hari lagi. Sebab itu, sembari membawa surat sakit, Agus, melalui saudara kandungnya, menghubungi Ketua Jurusan Kimia untuk mengaJukan permohonan agar diperbolehkan mengikuti ujian susulan. Tapi, sebagaimana tertulis dalam gugatan, permohonan itu tak dikabulkan. Dalam kondisi sakit, Agus berhasil menyelesaikan 10 SKS. Semester genap berikutnya, Agus mengambil 5 mata kuliah dengan 13 SKS. Ia hanya bisa lulus 3 mata kuliah dengan 8 SKS. Dua mata kuliah sisanya mendapatkan nilai tidak tetap. Dengan begitu, Agus tidak berhasil memenuhi standar minimal perolehan 20 SKS dalam dua semester tahun pertama. Nilai IPK hanya 1,5 padahal standar minimum adalah 2,0. Melihat hasil itu, Agus mengajukan dispensasi agar semester genap itu ia dianggap cuti sakit. Usaha Agus berhasil, bahkan ia masih mendapatkan hak cuti hingga semester ganjil 1986/1987. Ketika mulai kuliah lagi pada semester genap 1986/1987, Agus mengambil 6 mata kuliah dengan 15 SKS. Dan lulus semuanya. Dengan demikian, gabungan perolehan 10 SKS pada semester ganjil 1985/1986 dan 15 SKS pada semester genap 1986/1987, berhasil mengumpulkan 25 SKS. Dengan memasukkan nilai kuliah Pancasila dan Bahasa Indonesia, Agus mendapatkan jumlah IPK 2,16. Tapi, ketika ia menghadap penasihat akademik untuk mendaftar ulang, dia dinyatakan sudah DO secara lisan. Sebab, sesuai dengan ketentuan yang baru, 1986, mata kuliah Pancasila dan Bahasa Indonesia tidak termasuk yang dihitung. Dengan menghilangkan dua mata kuliah itu, IPK Agus di bawah 2,0. Agus tak menerima, karena ia termasuk angkatan 1985. Tak tercapai kesepakatan. "Saya merasa dipermainkan oleh kesewenang-wenangan," katanya. Akhirnya, Agus meminta bantuan hukum ke LBH Jakarta. Pembela dari LBH, Pipien Uniekowati, S.H., dan Arsul Sani, S.H., dua kali menyurati Rektor UI, November dan Desember tahun lalu. LBH minta agar masalah ini diselesaikan secara musyawarah kekeluargaan dan kliennya diperbolehkan mengikuti kuliah lagi. Menurut kedua pengacara muda itu, dua buah surat yang dilayangkan itu tak mendapatkan jawaban dari kampus UI Depok. Tetapi niat Agus untuk meneruskan kuliah ditanggapi dengan positif. Januari lalu, Agus menerima Surat Keputusan yang ditandatangani Dekan MIPA UI Dra. Nyonya Sahati Suharto yang diketahui Rektor UI Prof. Dr. Sujudi. Isinya, memberi kesempatan kepada Agus untuk meneruskan kuliahnya selama 3 semester lagi. Namun, ada syarat, yakni selama tiga semester itU ia diwajibkan mengambil mata kuliah yang ditentukan pihak fakultas dengan nilai akhir minimurn mendapat IPK 2,0 untuk 4 SKS. Apabila Agus tak memenuhi syarat seperti itu, ia dinyatakan DO. Agus diberi batas waktu mendaftar ulang sampai 27 Februari 1988. Agus tak mau mendaftar ulang. Karena syarat itu dinilainya berat "Adanya keharusan mengambil mata kuliah yang ditentukan pihak fakultas seperti itu akan menjerat diri saya ke arah DO," katanya. Ia justru memperkarakan masala ini melalui pengadilan. Sebab, "Ini menyangkut masa depan saya," katanya. Gugatan Rp 22,5 juta itu ia hitung dari uang kuliah dan biaya hidup 3 semester Rp 2,5 juta, pencemaran nama baik Rp 10 juta, dan kerugian moril Rp 10 juta. Pembantu Dekan I Fakultas MIPA UI, Dr. Bernardus F. da Silva, menyesalkan sikap Agus. Anak ini, kata Bernardus, sudah diberi dispensasi khusus untuk dapat cuti selama dua semester. "Ini pertimbangan kemanusiaan," katanya. Padahal, semestinya, kuliah tahun pertama tak boleh cuti, "apa pun alasannya." Selesai cuti, Agus ternyata tak mampu mengejar nilai SKS, menurut perhitungan pihak fakultas. Sistem penilaian itu memang sudah berbeda. Untuk periode 1986/1987, menurut Bernardus, mata kulia umum seperti Pancasila dan Bahasa Indonesia tidak dihitung. Kalau dua mata kulia umum itu diperhitungkan, "Ya, itu tidah menggambarkan sebagai orang kimia dong," katanya. Kesimpulan Bernardus "Agus itu mau minta segala-galanya. Sudah diberi kesempatan masih nuntut lagi. Mestinya ia membuktikan kemampuannya, nanti saya bantu." Namun, sekarang sudah lewat batas waktu bagi Agus untuk mendaftar ulang. Ia malah bertekad beperkara. Walau surat gugatan sudah masuk pengadilan, Sholeh, S.H., pengacara LBH pos Bogor, yang kini membantu Agus, berharap Rektor UI masih turun tangan sebagai orangtua. "Sebagai orangtua, tentu akan berbuat yang baik bagi UI dan yang baik pula bagi mahasiswanya," kata Sholeh. Apa perlu lagi dispensasi untuk Agus? Persidangan di pengadilan - belum ditentukan harinya - mungkin akan menarik perhatian, karena ini kasus yang tergolong langka. Agus Basri dan Sri Indrayati (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini