Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Masih soal kesenjangan

Pidato-Pidato Presiden Soeharto selama pelita V, selalu bertemakan soal pemerataan. Kesenjangan sosial semakin memprihatinkan. Perusahaan sehat di imbau membantu koperasi.

24 Maret 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SOAL pemerataan, tampaknya, sedang membebani pikiran Pak Harto. Paling tidak, pidato-pidatonya selama Pelita V ini selalu bertemakan soal pemerataan. Dan Jumat pekan lalu, dalam sambutannya di Desa Canan, Klaten, Jawa Tengah, kembali soal ini disinggung. "Dewasa ini kesenjangan sosial antara satu golongan dan golongan lainnya dalam masyarakat kita masih memprihatinkan," kata Presiden Soeharto ketika meresmikan 146 Koperasi Industri Kecil dan Kerajinan (Kopinkra) di 16 provinsi seluruh Indonesia itu. "Karena itu pula koperasi perlu terus kita dorong pertumbuhannya dan kita tingkatkan kegiatannya agar makin berperan dalam kehidupan nasional," kata Pak Harto. Kemudian Presiden pun bicara tentang pidato kenegaraannya di sidang DPR, 4 Januari silam, yang mengajak perusahaan-perusahaan sehat untuk memberi kesempatan kepada koperasi untuk memiliki saham perusahaan-perusahaan. "Dua minggu yang lalu, ajakan saya tadi saya ulangi lagi di hadapan para pengusaha besar yang sengaja saya undang ke Tapos," kata Presiden lebih lanjut. Dan, "Saya merasa gembira ajakan saya mendapat tanggapan yang positif dari para pengusaha dan kalangan masyarakat luas." Gencarnya kampanye pemerataan oleh Kepala Negara ini sebenarnya bisa dimaklumi. Masalahnya, seperti dikatakan Menteri Negara/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Dr. Saleh Afiff, "Dalam Repelita V, pelaksana utama adalah swasta. Pemerintah hanya menjadi pendukung." Padahal, dalam Repelita-Repelita sebelumnya, investasi pembangunan pemerintah lebih besar dari swasta. "Sekarang ini dibalik, 55% swasta, 45% pemerintah," kata Afiff. Dengan investasi 45% itu, Pemerintah akan mengadakan prasarana dan pengembangan sumber daya manusia. Dan kecenderungan di masa depan, menurut guru besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Dr. Mohammad Sadli, "Peran swasta akan meningkat sedang peran pemerintah dalam pengelolaan ekonomi akan mundur." Ini boleh saja disambut dengan napas lega oleh para pengusaha piawai. Tapi, "Bila di masa depan peran pemerintah semakin berkurang, siapa yang akan mengambil alih peran pemerataan yang selama ini melalui Inpres," tanya Dr. Iwan Jaya Aziz, pakar ekonomi dari universitas yang sama. Kekhawatiran pakar yang banyak meneliti perekonomian daerah ini, agaknya, cukup beralasan. Pasalnya, peran program bantuan Inpres dalam merangsang pertumbuhan ekonomi yang lebih merata boleh dikata diakui hampir semua pakar ekonomi nasional. Jika tak ada yang mengambil alih peran ini, akibatnya bisa gawat. "Soalnya, selama ada kemelaratan, pasti stabilitas selalu terancam," kata Kepala Eksekutif Lembaga Pengkajian Strategis Indonesia, Soebijakto. Dan, kendati -- menurut laporan Bank Dunia -- pemerintah Orde Baru berhasil mengurangi jumlah penduduk miskin absolut dari 60% pada tahun 1970 menjadi hanya 22% pada tahun 1987, jumlah absolutnya masih cukup banyak, sekitar 37 juta jiwa. Selain itu, masih ada kerawanan lain karena kemajuan kesejahteraan ternyata berbeda-beda kecepatannya untuk setiap golongan. Dr. Anne Booth, pakar Australian National University yang meneliti distribusi pendapatan di masa Orde Baru, melihat terjadinya gejala membesarnya kesenjangan antara kaya dan miskin. Dalam telaahnya yang dibuat berdasarkan data survei BPS 1976, 1978, dan 1982, ia melihat, di Jawa kesenjangan ini bukan terjadi karena semakin fatalnya si miskin, melainkan karena si kaya berlari lebih cepat. Sebab, dengan ukuran apa pun, nasib keluarga si miskin dalam era Orde Baru memang membaik. Pemerintah Indonesia menyadari benar bahaya dari membesarnya kesenjangan ini. Berbicara tentang ancaman masa depan dalam acara dengar pendapat dengan komisi I DPR, akhir Januari lalu, Menhankam L.B. Moerdani mengatakan, "Dari aspek Hankam, yang perlu adalah memperkecil kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin sehingga kebijaksanaan fiskal pun diupayakan untuk sejauh mungkin menutup kesenjangan itu." Pidato Presiden Soeharto 4 Januari lalu juga bernada sama, "Harus diakui bahwa dinamika gerak ekonomi dan pembangunan telah mendorong kegiatan usaha ekonomi dari yang kecil menjadi menengah, yang menengah menjadi besar.... Perkembangan ini telah menjadi perbincangan di antara kita akhir-akhir ini." Harus diakui pula perbincangan itu memang jauh lebih bergema di perkotaan, terutama Jakarta, yang menurut Dr. Mubyarto, "ketimpangan ekonomi dan sosialnya sangat mencolok." Sedangkan keadaan sosial ekonomi penduduk Jawa di luar Jakarta, menurut pakar ekonomi Universitas Gadjah Mada ini, "sudah cukup mantap dari segi hankam." Hal senada juga dikatakan Mensesneg Moerdiono kepada TEMPO, Januari lalu. "Kemampuan masyarakat mengangkat dirinya dari kemiskinan, di desa itu lebih cepat dari di kota. Hal ini boleh dicek pada perwakilan Bank Dunia di Jakarta," katanya. Padahal, kebanyakan pengusaha besar berada di perkotaan. Walhasil, perbedaan kesenjangan sosial semakin tajam terlihat. Terutama, seperti dikatakan Profesor Sadli, "Dengan gencarnya iklan perusahaan go public yang ternyata pemiliknya itu-itu juga," dan kemudian diduga memicu munculnya isu konglomerat. Kuat dugaan, peran konglomerat dalam pengelolaan ekonomi sosial akan menaik sejalan dengan surutnya peran pemerintah di masa mendatang. Oleh karena itu, Presiden Soeharto agaknya ingin pula mewariskan peran pemerataan yang selama ini dipikul pemerintah. Dan dalam pikiran Pak Harto, salah satu caranya adalah mengimbau perusahaan sehat itu untuk menjual 25% sahamnya kepada koperasi. Koperasi tentu tidak membeli dengan harga pasar, melainkan dengan harga nominal. Itu pun dengan mendapat pinjaman modal dari perusahaan pemilik saham yang, kemudian, akan dibayar dari sebagian dividen. Bambang Harymurti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus