SIKAP pro dan kontra pengiriman ratu kecantikan ke kontes dunia kembali marak di Indonesia. Tak kurang Ibu Negara Tien Soeharto, yang sempat santer disebut mendukung pengiriman Ratu Indonesia Indira Sudiro ke kontes Miss Universe, menolak gagasan itu. ''Saya tidak pernah merestui,'' kata Nyonya Tien Soeharto sebagaimana dikutip Menteri Negara Urusan Peranan Wanita Mien Sugandhi seusai menghadap Ibu Negara minggu lalu. Rencananya, Indira akan berangkat ke Amerika Serikat untuk ikut pemilihan Miss Universe Selasa pekan ini. Heboh ratu-ratuan sebetulnya bukan hal baru di Indonesia. Sudah sejak 1970-an masalah ini jadi bahan perdebatan. Mulanya memang tak ada larangan mengadakan kontes ratu-ratuan ini. Tak aneh bila saat itu bisnis ratu-ratuan tumbuh subur dan diminati ribuan gadis dari seantero tanah air. Pelbagai jenis pemilihan ratu mengandalkan kecantikan diadakan: mulai dari pemilihan ratu kaca mata, ratu kebaya, sampai Ratu Indonesia. Bahkan di antara mereka yang menyandang predikat ratu nasional sempat dikirim ke kontes cewek ayu tingkat regional sampai tingkat dunia. Ratu-ratu nasional terpilih itu antara lain Hernie Sunarya untuk Moomba Festival di Melbourne, Linda Emran untuk kontes Miss Asia, dan Lydia Arlini Wahab untuk pemilihan Miss Universe. Waktu itu ratu-ratu tersebut, lebih-lebih setelah Linda Emran memenangkan gelar Miss Asia, dianggap bisa mempromosikan Indonesia. Kegiatan pemilihan ratu-ratu ini mendadak terhenti setelah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daud Jusuf menganggap kegiatan tersebut merendahkan martabat wanita. Alasannya: pemilihan ratu-ratu ini hanya menonjolkan ukuran vital untuk menentukan kemenangan. Waktu itu memang tak ada larangan tertulis dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Maka, sempat beberapa tahun acara pemilihan ratu-ratuan berjalan secara sembunyi-sembunyi, dan di antara pemenangnya sempat pula mengikuti kontes ratu sejagat (Penyanyi Titi Dwi Jayati) dan Miss Universe (Andi Botenri). Melihat kenyataan itu Departemen Pendidikan dan Kebudayaan akhirnya mengeluarkan keputusan tertulis pada 1984, yang isinya membolehkan kontes ratu-ratuan asalkan mempunyai dampak positif. Dampak positif yang dimaksud adalah bila kontes itu dipakai untuk mempromosikan pemakaian produksi dalam negeri dan mempromosikan budaya. ''Dalam keputusan itu juga disebutkan bahwa kegiatan ini ada dampak negatifnya, seperti peserta harus mengenakan pakaian renang yang bukan di tempatnya,'' kata Mien Sugandhi. Tapi Ketua Yayasan Putri Indonesia, Nyonya Mooryati Soedibyo, juga punya alasan kuat untuk tetap berkeinginan Indira dikirim ke Miss Universe. Acara Miss Universe, selain akan mempromosikan nama Indonesia, penilaian peserta juga tak macam- macam. Mereka cuma dinilai kecerdasan, wawasan, pengetahuan umum, dan kepercayaan diri. ''Tidak ada pengukuran fisik,'' kata Nyonya Mooryati. Maka, Mooryati agak heran mendengar kabar yang disampaikan Menteri Mien Sugandhi di saat terakhir menjelang keberangkatan Indira. Soalnya, Mooryati merasa telah mendapat restu ketika sowan ke Ibu Negara akhir Desember lalu. Malah, menurut Indira, Ibu Tien berpesan kepadanya: ''Kalau kamu berangkat, saya restui. Tapi, jaga dirimu baik-baik, jangan terbawa arus.'' Walau sampai kini nasibnya belum jelas, Indira, 21 tahun, tetap mempersiapkan diri. Mahasiswi tingkat akhir Fakultas Ekonomi Universitas Trisakti yang pandai menari, main piano, dan menguasai bahasa Inggris dan Perancis ini sebelumnya pernah menyabet gelar Putri Tradisional ASEAN. Mooryati kini menyerahkan masalah ini kepada Menteri Mien Sugandhi. Sedangkan Mien Sugandhi mengaku hanya ingin menggugah kesadaran peserta ratu-ratuan kita mengenai dampak negatif yang dipikirkannya. Diah Purnomowati, Nunik Iswardhani, dan Wahyu Muryadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini