BERIKUT ini adalah wawancara khusus tim wartawan TEMPO dengan
Pj. Gubernur Ali Sadikin, berlangsung di ruang tamu gubernur di
Balaikota, 31 Mei lalu:
Tanya: Apa rencana Bang Ali setelah tidak lagi jadi Gubernur?
Jawab: Rencana saya antara lain terserah pada Pemerintah. Umur
saya 50 tahun. Saya perwira tinggi. Jadi, menurut peraturan,
saya masih bisa duduk dalam kedinasan ABRI, meskipun menurut
peraturan, saya juga bisa minta di-MPPkan. Di Angkatan Laut ada
peraturan, kalau satu tahun tidak mendapatkan tugas, tunggu MPP
saja. Tapi bagaimana nanti saya, saya anggap masih terlalu
prematur untuk memastikannya sekarang. Kadang-kadan dalam hati
saya masih kepingin juga jadi pejabat, kadang-kadang tidak,
ingin mencoba menjadi orang swasta. Saya sudah lama berada dalam
pemerintahan, mungkin dengan menjadi orang swasta saya dapat
mengetahui apa betul keluhan masyarakat selama ini tentang
ruwetnya birokrasi dan lain-lainnya.
T: Apakah ada tawaran, atau keinginan, untuk jabatan lain, yang
lebih tinggi?
J: Saya tidak punya ambisi. Saya tak ada ilusi. Saya serahkan
pada kemauan takdir dan nasib saya di tangan Tuhan. Menjadi
Gubernur saja sudah semacarn tekanan bagi keluarga dan anak-anak
saya. Anak saya, Benny, malah pernah bertanya, sampai saya
kaget: "Kapan bapak berhenti jadi Gubernur?". Mereka tidak
bangga bapaknya jadi Gubernur, tidak mau membanggakan diri.
Mereka malah tidak betul-betul bebas: tidak boleh ngebut dan
lain-lain seperti anak-anak lain ....
T: Selama jadi Gubernur, kritik macam manakah yang bapak terima
dan mana yang tidak?
J: Saya menganggap tidak fair kritik yang membabi-buta, yang
dilontarkan oleh orang yang tidk mengetahui persoalannya. Saya
menghargai kritik yang dikemukakan oleh mereka yang tahu
persoalan - dan saya sering memperbaiki pelaksanaan policy saya
karena kritik yang seperti itu.
T: Hubungan antara pemerintah DKI selama bapak pegang dengan
pemerintahan pusat suka dinilai kurang mesra Mungkin orang
bawahan perlu juga sesekali-sekali sowan, misalnya ....
J: Saya beranggapan selama saya dapat mengerjakannya sendiri,
selama saya bisa menguasai keadaan, saya selesaikan sendiri
tugas saya. Saya tidak mau mengadukan soal-soal saya kepada
atasan saya, untuk minta petunjuk, minta restu .... Itu 'kan
cuma mengganggu atasan. Itu juga feodal. Soal kecil saja minta
doa restu. Tetek bengek minta restu. Itu feodalisme. Mungkin
juga ini pengaruh pendidikan orang tua saya. Bapak saya anak
wedana. Tapi dia tidak mau jadi pamongpraja. Waktu di Mosvia
(pendidikan pamongpraja untuk pribumi red.) dulu bapak saya suka
berkelahi dengan anak aom-aom (bangsawan Sunda Red.). Bapak saya
kemudian jadi adjunct landbourconsulen. Beliau juga tidak senang
orang nyembah-nyembah tidak senang disowan-sowani. Itu saya
lihat kalau ikut beliau turne. Beliau juga juga keras. Pernah
suatu ketika seorang anggota perwakilan rakyat diuber-uber oleh
dia mau dipukul. Sampai dia dipanggil bupati. Mungkin sifat ini
menurun pada saya.
T: Namun ada kritik, bahwa perbedaan dengan Pusat sebaiknya
dibicarakan tidak secara terbuka . . .
J. Biasanya sudah ada usaha untuk membicarakan sebelumnya. Saya
tidak berkonfrontasi. Kalau saya berkonfrontasi, itu seperti
anak kecil katanya. Kita 'kan sama-sama pejoang. Saya tidak ada
perasaan apa-apa kalau sedang bicara terbuka kepada mereka. Dan
buktinya saya tidak disalahkan, tidak pernah diganggu oleh
Menteri atau oleh Presiden. Saya hanya hendak menunjukkan bahwa
apa yang dikatakan oleh atasan, tidak selamanya mutlak benar.
Dengan cetusan-cetusan saya ini saya mau mendidik masyarakat.
Barankali berhasil mendidik, pendidikan demokrasi, pendidikan
politik. Apa sih wujudnya pendidikan politik kalau segalanya
tidak boleh, Apa segalanya harus ditutup. Salah satu cara
pendidikan politik sudah pemilu, tapi memangnya hanya itu saja?
T: Bagaimana pendapat bapak tentang soal korupsi?
J: Saya menilai ada dua cara korupsi. Ada korupsi yang
betul-betul korupsi, artinya menggoerogoti uang negara. Dan yang
lain dengan cara minta komisi, dengan akibat kwalitas (proyek
pembangunan - Red.) menurun, ini komersialisasi jabatan. Dalam
hal yang pertama, pemerintah dirugikan. Yang kedua, tidak
merugikan pemerintah, tapi masyarakat dirugikan, Moril
dirugikan. Martabat pemerintahan hancur. Maka saya berusaha
kedua-duanya tidak terjadi. Yang pasti, korupsi yang menggergoti
uang negara di pemerintah itu minim. Mudah-mudahan saya betul,
sebab ada sistem pengawasan. Tentang komersialiasi jabatan, saya
sulit menindak, kalu dari masyrakat sendiri tidak (ada yang)
melaporkan. Dan saya tidak ragu-ragu memecat, kalau ada laporan
yang benar, laporan apa saja saya terima. Surat kalengpun tidak
saya buang begitu saja. Ada kalanya benar itu surat kaleng....
T: Apa harapan bapak terhadap orang yang mengantikan bapak
nanti?
J: Terutama saya minta supaya hati-hati, dalam mengatur rumah
tangga pemerintahan DKI. Untuk pengganti saya sudah suya siapkan
segala seuatunya yang mungkin dalam waktu dulu mungkin sudah
dapat dia pelajari. Saya dulu membutuhkan delapan bulan. Saya
masuk dengan tidak membawa orang baru banyak-banyak. 90% persen
pegawal DKI berasal dari pemerintahan Pak Marno (Gubernur dr.
Sumarnoù Red.) dulu, masanya kalau ada pejabat baru datang dia
bawa orang-orangnya sendiri. Saya tidak berbuat demikian. Saya
tidak menimbulkan aparat pemerintah DKI. Kalau itu terjadi bisa
hancur. Pegawai sipil ini 'kan juga punya karir, juga punya hak.
Saya anggap banyak pegawai DKI itu first class. Dan juga toh
saya sudah diusahakan adanya satu sistem. Ada rank list, ada
urutan kepangkatan. Jika ada pejabat yang mati otomatis yang
menggantinya salah satu dari orang yang di urutan berikutnya.
Saya tidak akan mengambil orang luar. Saya tidak mau memperkosa
sistem yang suduh ada. Pemerintah daerah adalah pemerintahan
sipil.
T: Sekiranya bapak nanti jadi orang swasta, apakah bapak masih
akan tetap memberikan sumbangan pikiran, misalnya dalam seminar,
diskusi dan lain-lain?
J: Saya tidak akan melepaskan diri sebagai pejuang. Orang jangan
lupa, sebelum jadi ABRI 'kan (status) ABRI-nya, jadi kalau saya
nanti jadi pengusaha, saya masih tetap tidak akan pasif terhadap
keadaan lingkungan. Sebagai pejuang kita tidak ada pensiun.
Seperti kata pak Djatikusumo. Pensiunnya nanti, kalau sudah
masuk kubur.
T: Pertanyaan terakhir, pak. Kenapa PPP sampai bisa menang di
Jakarta?
J: Wah itu belum boleh saya katakan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini