ANAK-ANAK jengkel. Terutama murid-murid kelas IV Tweede Openbare
HIS Banjarsari, Bandung. Seorang anak jagoan bertubuh tinggi
besar hari-hari itu mengutip 'upeti' satu sen dari
teman-temannya. Bahkan Suharjono Samhani dipaksa menyerahkan
separuh rotinya: Melihat gelagat itu, sahabat Suharjono) yang
tubuhnya lebih kecil, menantang si jagoan berkelahi. "Aneh",
tutur Suharjono. "Orang lain yang disakiti, kok dia yang marah.
Belakangan saya sadar, solidaritasnya memang tinggi. Dia tak
suka perlakuan yang tak adil".
Dan sahabat yang menurut Suharjono dulu bertubuh kecil, lugu,
dan tidak menonjol itu, hampir 40 tahun kemudian dikenal sebagai
Letnan Jenderal Marinir Haji Ali Sadikin. Suharjono Samhani
sendiri yang tinggal di kawasan Tebet kini 50 tahun dan pegawai
tinggi Departemen Perdagangan.
Sebelum diangkat jadi Gubernur, sejak 1959 sampai 1966
berturut-turut Ali Sadikin menjabat Deputy II Men Pangal,
Menteri Perhubungan Laut merangkap Koordinator Kompartemen
Maritim, kemudian Deputy Menteri diperbantukan pada Menteri
Ekubang, lalu Menteri Perhubungan Laut.
Ketika mendengar suaminya mau diangkat sebagai Gubernur (April
196O), Nani Arnasih, isterinya, agak heran juga. "Saya tertawa.
Kalau masih ada hubungannya dengan laut, masih masuk akal. Tapi
Gubernur kan bidang baru, harus menguasai banyak hal", kata
Nani. "Untunglah bapak selalu bersedia belajar apa saja yang ia
belum tahu".
Ali Sadikin juga suka bertanya. Begitu kesan Hasyim Ning,
komisaris PT Pembangunan Jaya. Kalau perlu bertanya kepada
bawahan, seperti diceritakan Mayor Marinir drs Chris Hutapea,
sekretarisnya.
"Empat tahun yang lalu ia sering mendengar Pak Tjipto bicara
tentang ekologi", tutur Chris. Soetjipto Wirosardjono MA adalah
Kepala Pusat Masalah Perkotaan dan Lingkungan DKI Jakarta. Lalu
Ali Sadikin bertanya: "Chris, Tjipto selalu ngomong soal
ekologi. Istilah apa itu?" Chris menerangkan: justru penghijauan
yang dilakukan Gubernur sekarang itulah ada hubungannya dengan
penyelamatan ekologi.
Lalu dibukanya Encyclopaedia Britannica. "Lho, jadi menurut
teori benar, ya? Kalau begitu saya bisa jadi profesor dong",
ujar Ali Sadikin. Masih cerita Chris. Sekitar 5 tahun lalu apa
yang disebut komputer baru dikenal namanya saja. Ir Wardiman,
Kepala Biro II yang suka elektronik, "memompa" Gubernurnya,
meyakinkan pentingnya komputer. Berhasil.
"Malah dia sekarang yang keranjingan komputer", kata Wardiman".
Sementara stafnya belum begitu faham cara kerja komputer,
Gubernur sudah bisa menjelaskannya.
Setiap Senin dan Jum'at, Ali Sadikin tak lupa berlatih kesegaran
jasmani di tingkat 24 Balai Kota. Malah stafnya yang lalai
berlatih boleh dipastikan akan ditegurnya. Bersama Wagub Prayogo
dan Sapiie, Ali Sadikin berlatih selama 1 jam di bawah
pengawasan seorang pelatih.
Ketika masih menjadi instruktur Akademi Angkatan Laut
Morokrembangan Surabaya, konon para siswa sering diperintahkan
latihan menembakkan senapan yang berat sambil maju berlari.
Seperti dalam film. Siswa atau teman-temannya menyebut latihan
itu "Hollywood style"
Dan Ali Sadikin sendiri memang mempraktekkannya ketika menumpas
Permesta di Sulawesi Utara, di daerah Langoan - Amurang. Berada
di garis paling depan, ia maju, berlari sambil memberondongkan
senapan mesin.
Tahun 1945, berusia 18 tahun, ia masuk Sekolah Pelayaran Tinggi
di Semarang. Waktu Proklamasi ia bergabung dalam BKR Laut di
Jakarta. Lalu ke Tegal sebagai anggota Badan Persiapan ALRI
Pangkalan IV. Di sanalah karir pemuda Ali Sadikin di AL bermula.
Ia berkumpul dengan bekas siswa-siswa SPT Jakarta dan Semarang,
bekas Kaigun di zaman Jepang, bekas anggota Koninklijke Marine
zaman Belanda, bekas Peta. Ada nama-nama Martadinata, Hartono,
R. Soehadi, Moekijat, Soewadji, Agoes Soebekti, Jatidjan,
Harjono Nimpuno, BS Widjanarko. Mereka mendirikan ALRI.
ALRI Pangkalan IV kemudian dibagi dua: Corps Armada dan Corps
Mariniers. Yang terakhir kemudian menjadi KKo, berdiri 15
Nopember 1950. Sampai usia masih sangat belia, 22 tahun Ali
Sadikin tercatat sebagai Kepala Bagian Organisasi Corps
Mariniers dan Kepala Bagian Perencanaan Corps Armada IV.
1950 sampai 1954 ia menjadi Komandan Kesatriaan Wonokitri
merangkap Kastaf KKo. Lalu selain sebaai Perwira Hakim di
Pengadilan Tinggi Militer Daerah Surabaya/Malang, juga mengajar
di Akademi Angkatan Laut. Sebagai guru teori dan praktek, ia
juga menulis buku-buku pelajaran: Indoktrinasi Perang Amphibie,
Lintas Udara dalam Perang Amphibie, Tambahan Bantuan Kapal dalam
Perang Amphibie dan Perang di Darat sesudah Perang Amphibie.
Kembali dari belajar di Sekolah KKo AS, 1954-l9S9 ia Komandan
Pusat Pendidikan KKo merangkap Komandan Pasukan Induk KKo. 1958,
berusia 31 tahun dan berpangkat mayor, Ali Sadikin memimpin
operasi Mega dan Nuri menumpas Permesta di Sulawesi Utara.
Sebagai pendidik di Morokrembangan, ada kata-kata yang sampai
kini sangat diingat oleh bekas siswa-siswanya: "Jangan
sekali-kali kamu merugikan bawahan sepeser pun".
Kesan bekas siswa lainnya: "Kalau berhadapan dengan Pak Ali
bekalnya cuma satu. Kalau tahu katakan tahu, kalau tidak katakan
tidak. Jangan setengah-setengah. Dalam hal tugas dinas jangan
sekali-kali bilang tidak tahu sampai 2 kali".
Meski tidak segalak di kantor, Ali Sadikin yang menurut
isterinya di AL dulu mendapat julukan 'Si Macan' itu, juga suka
kebersihan di rumah. "Sebab rumah kan kerajaan kita, meskipun ia
tak banyak waktu buat rumah". Kebersihan itu termasuk pula kamar
pembantu. Kulkas kuno juga terawat baik, panci-panci tersusun
rapi, bumbu dapur terletak teratur. "Tabung gas pun harus
diumpetin di lemari. Karena kalau kelihatan akan tampak jorok",
ujar Mia, 23 tahun, kepala rumahtangga.
Menurut Mia, yang paling sering mereka masak ikan peda dan
lalap. "Pak Ali paling suka itu", katanya. "Tapi mereka makannya
nggak banyak. Satu hari masak 2 liter sering masih sisa".
Menurut Dasuki, 35 tahun, pembantu rumah tangga, sarapan pagi
Gubernur selalu telur mata sapi dan teh pahit. "Sedang Ibu telur
rebus setengah matang, juga dengan teh pahit. Anak-anak selalu
minta disediakan nasi", katanya. Anak mereka empat lelaki: Boy
Bernadi (22) dan Eddy Trisnadi (21), keduanya kini sekolah di
Australia. Iwan Hernadi (18) dan Benyamin Irwansyah (16),
masing-masing di SMA dan SMP Kanisius, Jakarta.
Barangkal ingin punya anak perempuan kemenakan Ali Sadikin yang
masih gadis kecil diminta menginap di Jalan Borobudur. Hanya
malam Minggu anak-anak boleh keluar rumah. Itu pun jam setengah
dua belas harus sudah pulang. "Mereka boleh pergi 2 minggu
sekali dengan teman-temannya. Malam Minggu ini dengan teman,
malam Minggu depan dengan orangtua. Selalu begitu dan biasanya
nonton", kata Mia.
Karena sangat sedikit memberi waktu untuk keluarga, menurut Nani
Sadikin, "kalau orang lain masih bisa main golf, mancing, pergi
ke laut, kami tidur saja di rumah". (Dan Ali Sadikin sendiri
kalau marah-maarah di kantor, sampai di rumah langsung tidur).
Sore-sore, Ali Sadikin biasa mengenakan sarung dan kaus oblong.
Baru malamnya pakai batik, yang harganya tak kelewat mahal.
Malam jarang nonton teve (kecuali warta-berita). Waktu diisi
dengan acara-acara undangan.
Kadang-kadang keluarga Ali Sadikin berkunjung ke rumah kenalan
lama, misalnya ke rumah Nyonya Nani Yamin di Kebayoran Baru. Ia
pekerja sosia yang aktif di Bank Mata itu. "Kalau nonton film
di Kebayoran, Bang Ali nyetir sendiri menjemput kami", kata Nani
Yamin. Dua pasang suami-isteri itu biasanya saling jamu-menjamu.
Nani Arnasih berkenalan dengan Ali Sadikin di Surabaya. Ketika
itu ia kuliah di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Airlangga,
mondok di rumah salah seorang famili Ali Sadikin. Nani sering
jalan-jalan dengan mereka. "Maklum, orang indekosan, ada yang
ngajak makan-makan ya mau saja", katanya. Lagi pula kan
sama-sama asal Bandung.
Ia tertarik Ali Sadikin yang baru kapten itu karena "sejak dulu
saya senang sama orang pintar. Lagi pula dia kan rupawan".
(Bahkan menurut koran Jepang Mainichi Shimbu) 13 Juni 1977, Ali
Sadikin disebut "Gubernur yang berwajah bintang film"). Menurut
Nani Arnasih, approach Ali Sadikin yang pendiam itu halus
sekali. "Tapi jangan disangka kami pacaran seperti anak muda
sekarang. Sungguh, pegangan tangan saja kami tidak pernah",
katanya.
Baru setelah Arnasih tamat kuliah dan Ali kembali dari belajar
di AS (1954), mereka menikah. Sekarang di rumah mereka selalu
panggil nama saja. "Dia panggil saya Nan dan saya panggil dia
Al. Apa Saudara sangka panggil mas-masan atau Kang Ali? Nggak
ah", ujarnya tersenyum.
Dalam musim haji 1975/1976, Bang Ali mengajak isterinya naik
haji. Setahun sebelumnya keduanya banyak mempelajari agama.
Bahkan awal 1974, Nani Sadikin merasa perlu memesan kaset
pelajaran sembahyang dari Abdul Chaer Saleh, 30 tahun. Guru
ngaji asal Sumbawa yang tinggal di Bogor sejak 1965 itu memang
sering berkunjung ke Jakarta mengadakan 'diskusi agama' dengan
keluarga Jenderal T. Hamzah, bekas Pangdam I Iskandar Mudah
Aceh.
Juga dengan bekas KSAL Laksamana Subono. Perkenalan Nyonya
Sadikin dengan Abdul Chaer lewat Nyonya Muchtar Zakaria
(suaminya anggota DP RD DKI). Belakangan Nyonya Sadikin pesan 2
kaset pelajaran sembahyang lagi: satu buat suaminya, yang lain
buat kedua anaknya yang sekolah di Australia.
Meski begitu toh ada saja orang yang menduga Bang Ali percaya
dukun. Misalnya dikabarkan ia sering berkunjung ke seorang dukun
di Ciawi, Bogor. Menurut Soebipto, Ali Sadikin yang rasionil itu
tak mungkin percaya dukun. "Cuma memang banyak sekali
orang-orang yang mengaku sebagai dukunnya Ali Sadikin. Ada yang
dari Banten, Cilacap, Badui. Dulu memang pernah, ketika ia sakit
paru-paru, datang kepada seorang dukun. Bukan dukun klenik.
Dukun berobat biasa", sambung Chris.
Masih dalam soal dukun, suatu hari Chris han1pir saja terlibat
urusan polisi. Ada dukun asal Surabaya yang membawa karis yang
"bagus, agak panjang, katanya dari Madura". Sang dukun minta
agar keris itu dibeli, katanya untuk dana pembangunan mesjid.
"Tahu-tahu itu keris curian", kata Chris tertawa.
Lain lagi yang dialami Nani Sadikin. Ia menerima surat-surat
permintaan bantuan, yang kemudian ia salurkan ke Dinas Sosial.
Tempat prakteknya sebagai dokter gigi di sudut belakang rumahnya
juga tak jarang 'diganggu'. Ada yang ingin mengurus izin klab
malam, mengadu rumahnya digusur, dan sebagainya. "Saya ini kan
tak tahu apa-apa", kata Nani. Akhirnya terpaksa dipasang papan
kecil berisi larangan mengurus soal kantor di tempat praktek.
Dan Nani yang dulu ingin jadi dokter gigi -- lantaran tertarik
pekerjaan dokter yang merawatnya -- itu, kini tidak lagi buka
praktek. Tempatnya diantikan oleh drg Yetti Purwanto, rekannya.
Toh masih saja ada 'pasien' yang mengira Yetti sebagai Nani.
Itulah sebabnya di ruang praktek yang bersebelahan dengan bekas
ruang praktek drg Nani, dipasang potret besar Nani dan
suarninya. "Biar mereka tahu bahwa saya bukan Nani Sadikin",
ucap Yetti.
Ali Sadikin enam bel saudara, semuanya lelaki (dan anak-anak
mereka kebanyakan juga lelaki). Paling tua dr Hasan Sadikin,
meninggal tahun 1967 dalam usia 50 tahun: Namanya kini
diabadikan sebagai nama rumah sakit umum di Bandung. Yang kedua,
Hoesen Sadikin, 57, pengusaha swasta di Jakarta. Ketiga, Usman
Sadikin, 55, salah seorang staf Garuda, kemudian Brigjen drs Abu
Sadikin, Presdir PT Dharma Niaga lalu Ali Sadikin dan terakhir
Said Sadikin, Dirut PT Nirmana Karya.
Said Sadikin berkisah: ketika ayahnya meninggal 1 Agustus 1938,
ibunya, hanya dengan pensiun suaminya 81 gulden, menyekolahkan
anak-anaknya. "Tapi ibu juga jualan. Bukan jualan eceran, tapi
kalau ada pesanan saja. Ibu tukang masak, sih". Sekarang,
mcskipun kakaknya jadi gubcrnur, Said selalu mengikuti peraturan
lelang untuk perusahaannya. "Kalau kalah tender ya tidak dapat
pekerjaan. Saya tidak mau minta dispensasi".
Ali Sadikin sendiri lahir di kampung Cangkudu Sumedang, 7 Juli
1927. Ayahnya, R. Sadikin, adalah pendiri dan guru kepala
sekolah pertanian di Tanjungsari, antara Bandung dan Sumedang,
1914 - 1918. Sekarang berkembang menjadi SPMA dan Akademi
Pertanian (di sana masih terparnpang potret R. Sadikin). Dan di
Sumedang juga terdapal Jalan Raden Sadikin. Ayah Ali ini tarnat
dari MOSVIA melanjutkan ke Sekolah Pertanian Bogor, kemudian
menjadi Adjunct Landbouwconsulent di Sumedang. Juga pernah
anggota DPRD Bandung di masa Bupati Wiranatakusumah.
Hoesen Sadikin juga punya kenangan yang tak terlupakam Dulu,
almarhumah ibunya sering berdoa dan bersedekah agar anak-anaknya
menjadi 'orang'. Dan itu katanya tergantung dari sifat-sifat
hari kelahiran anak-anaknya, sementara perayaan agak besar
diadakan sebulan sekali.
Misalnya Hasan yang lahir hari Minggu disedekahi dengan rokok
satu-dua batang plus penganan jajan lain. Hoesen (Jum'at)
disedekahi air segelas. Abubakar (Kamis) disedekahi kipas. Ali
(Rabu) disedekahi daun pisang. Said (Sabtu) disedekahi ubi-ubian
yang ditanam. Semuanya plus jajanan kanak-kanak. Ada cerita lain
dari Raden Achmad Bulkini, 73 tahun, yang kini bekerja di Museum
Sumedang. Bulkini ketika berusia 14 pernah mcnjadi pengasuh si
Ali yang baru berusia 3 tahun. Katanya, ibu Ali Sadikin pernah
minta 'dijiyad' oleh Bupati Sumedang Kanjeng Pangeran Soeria
Atmadja, yang mashut weruh sadurung winarah (tahu sebelum
sesuatu bakal terjadi).
Maksud si ibu, agar anak-anahlya kelak menjadi orang besar. Lalu
sang Bupati memberi semangkuk air yang sudah dimanterai untuk
diminum. Bulkini juga bercerita tentang Dalem Tumenggung Angga
Di Kusumah, Bupati Batulayang, yang pernah menolak untuk
menjemput pembesar Kompeni Belanda. Menurut Bulkini, yang kini
suka meneliti silsilah itu, sang Bupati adalah salah seorang
kakek Ali Sadikin.
Sang kakek ahhirnya diasingkan ke Mangga Dua, Batavia, dan
meninggal tahun 1802. Peristiwa itu ditafsirkan oleh Bulkini:
"ada keturunannya nanti yang akan menjadi penguasa di Batavia",
katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini