Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Ali Sadikin,50,sukses menjadi gubernur karena terbuka, suka bertanya, tegas dan sederhana. Nani Arna Sih bertemu Ali Sadikin di Surabaya. Ia enam bersaudara laki-laki. Semuanya sukses. (nas)

18 Juni 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ANAK-ANAK jengkel. Terutama murid-murid kelas IV Tweede Openbare HIS Banjarsari, Bandung. Seorang anak jagoan bertubuh tinggi besar hari-hari itu mengutip 'upeti' satu sen dari teman-temannya. Bahkan Suharjono Samhani dipaksa menyerahkan separuh rotinya: Melihat gelagat itu, sahabat Suharjono) yang tubuhnya lebih kecil, menantang si jagoan berkelahi. "Aneh", tutur Suharjono. "Orang lain yang disakiti, kok dia yang marah. Belakangan saya sadar, solidaritasnya memang tinggi. Dia tak suka perlakuan yang tak adil". Dan sahabat yang menurut Suharjono dulu bertubuh kecil, lugu, dan tidak menonjol itu, hampir 40 tahun kemudian dikenal sebagai Letnan Jenderal Marinir Haji Ali Sadikin. Suharjono Samhani sendiri yang tinggal di kawasan Tebet kini 50 tahun dan pegawai tinggi Departemen Perdagangan. Sebelum diangkat jadi Gubernur, sejak 1959 sampai 1966 berturut-turut Ali Sadikin menjabat Deputy II Men Pangal, Menteri Perhubungan Laut merangkap Koordinator Kompartemen Maritim, kemudian Deputy Menteri diperbantukan pada Menteri Ekubang, lalu Menteri Perhubungan Laut. Ketika mendengar suaminya mau diangkat sebagai Gubernur (April 196O), Nani Arnasih, isterinya, agak heran juga. "Saya tertawa. Kalau masih ada hubungannya dengan laut, masih masuk akal. Tapi Gubernur kan bidang baru, harus menguasai banyak hal", kata Nani. "Untunglah bapak selalu bersedia belajar apa saja yang ia belum tahu". Ali Sadikin juga suka bertanya. Begitu kesan Hasyim Ning, komisaris PT Pembangunan Jaya. Kalau perlu bertanya kepada bawahan, seperti diceritakan Mayor Marinir drs Chris Hutapea, sekretarisnya. "Empat tahun yang lalu ia sering mendengar Pak Tjipto bicara tentang ekologi", tutur Chris. Soetjipto Wirosardjono MA adalah Kepala Pusat Masalah Perkotaan dan Lingkungan DKI Jakarta. Lalu Ali Sadikin bertanya: "Chris, Tjipto selalu ngomong soal ekologi. Istilah apa itu?" Chris menerangkan: justru penghijauan yang dilakukan Gubernur sekarang itulah ada hubungannya dengan penyelamatan ekologi. Lalu dibukanya Encyclopaedia Britannica. "Lho, jadi menurut teori benar, ya? Kalau begitu saya bisa jadi profesor dong", ujar Ali Sadikin. Masih cerita Chris. Sekitar 5 tahun lalu apa yang disebut komputer baru dikenal namanya saja. Ir Wardiman, Kepala Biro II yang suka elektronik, "memompa" Gubernurnya, meyakinkan pentingnya komputer. Berhasil. "Malah dia sekarang yang keranjingan komputer", kata Wardiman". Sementara stafnya belum begitu faham cara kerja komputer, Gubernur sudah bisa menjelaskannya. Setiap Senin dan Jum'at, Ali Sadikin tak lupa berlatih kesegaran jasmani di tingkat 24 Balai Kota. Malah stafnya yang lalai berlatih boleh dipastikan akan ditegurnya. Bersama Wagub Prayogo dan Sapiie, Ali Sadikin berlatih selama 1 jam di bawah pengawasan seorang pelatih. Ketika masih menjadi instruktur Akademi Angkatan Laut Morokrembangan Surabaya, konon para siswa sering diperintahkan latihan menembakkan senapan yang berat sambil maju berlari. Seperti dalam film. Siswa atau teman-temannya menyebut latihan itu "Hollywood style" Dan Ali Sadikin sendiri memang mempraktekkannya ketika menumpas Permesta di Sulawesi Utara, di daerah Langoan - Amurang. Berada di garis paling depan, ia maju, berlari sambil memberondongkan senapan mesin. Tahun 1945, berusia 18 tahun, ia masuk Sekolah Pelayaran Tinggi di Semarang. Waktu Proklamasi ia bergabung dalam BKR Laut di Jakarta. Lalu ke Tegal sebagai anggota Badan Persiapan ALRI Pangkalan IV. Di sanalah karir pemuda Ali Sadikin di AL bermula. Ia berkumpul dengan bekas siswa-siswa SPT Jakarta dan Semarang, bekas Kaigun di zaman Jepang, bekas anggota Koninklijke Marine zaman Belanda, bekas Peta. Ada nama-nama Martadinata, Hartono, R. Soehadi, Moekijat, Soewadji, Agoes Soebekti, Jatidjan, Harjono Nimpuno, BS Widjanarko. Mereka mendirikan ALRI. ALRI Pangkalan IV kemudian dibagi dua: Corps Armada dan Corps Mariniers. Yang terakhir kemudian menjadi KKo, berdiri 15 Nopember 1950. Sampai usia masih sangat belia, 22 tahun Ali Sadikin tercatat sebagai Kepala Bagian Organisasi Corps Mariniers dan Kepala Bagian Perencanaan Corps Armada IV. 1950 sampai 1954 ia menjadi Komandan Kesatriaan Wonokitri merangkap Kastaf KKo. Lalu selain sebaai Perwira Hakim di Pengadilan Tinggi Militer Daerah Surabaya/Malang, juga mengajar di Akademi Angkatan Laut. Sebagai guru teori dan praktek, ia juga menulis buku-buku pelajaran: Indoktrinasi Perang Amphibie, Lintas Udara dalam Perang Amphibie, Tambahan Bantuan Kapal dalam Perang Amphibie dan Perang di Darat sesudah Perang Amphibie. Kembali dari belajar di Sekolah KKo AS, 1954-l9S9 ia Komandan Pusat Pendidikan KKo merangkap Komandan Pasukan Induk KKo. 1958, berusia 31 tahun dan berpangkat mayor, Ali Sadikin memimpin operasi Mega dan Nuri menumpas Permesta di Sulawesi Utara. Sebagai pendidik di Morokrembangan, ada kata-kata yang sampai kini sangat diingat oleh bekas siswa-siswanya: "Jangan sekali-kali kamu merugikan bawahan sepeser pun". Kesan bekas siswa lainnya: "Kalau berhadapan dengan Pak Ali bekalnya cuma satu. Kalau tahu katakan tahu, kalau tidak katakan tidak. Jangan setengah-setengah. Dalam hal tugas dinas jangan sekali-kali bilang tidak tahu sampai 2 kali". Meski tidak segalak di kantor, Ali Sadikin yang menurut isterinya di AL dulu mendapat julukan 'Si Macan' itu, juga suka kebersihan di rumah. "Sebab rumah kan kerajaan kita, meskipun ia tak banyak waktu buat rumah". Kebersihan itu termasuk pula kamar pembantu. Kulkas kuno juga terawat baik, panci-panci tersusun rapi, bumbu dapur terletak teratur. "Tabung gas pun harus diumpetin di lemari. Karena kalau kelihatan akan tampak jorok", ujar Mia, 23 tahun, kepala rumahtangga. Menurut Mia, yang paling sering mereka masak ikan peda dan lalap. "Pak Ali paling suka itu", katanya. "Tapi mereka makannya nggak banyak. Satu hari masak 2 liter sering masih sisa". Menurut Dasuki, 35 tahun, pembantu rumah tangga, sarapan pagi Gubernur selalu telur mata sapi dan teh pahit. "Sedang Ibu telur rebus setengah matang, juga dengan teh pahit. Anak-anak selalu minta disediakan nasi", katanya. Anak mereka empat lelaki: Boy Bernadi (22) dan Eddy Trisnadi (21), keduanya kini sekolah di Australia. Iwan Hernadi (18) dan Benyamin Irwansyah (16), masing-masing di SMA dan SMP Kanisius, Jakarta. Barangkal ingin punya anak perempuan kemenakan Ali Sadikin yang masih gadis kecil diminta menginap di Jalan Borobudur. Hanya malam Minggu anak-anak boleh keluar rumah. Itu pun jam setengah dua belas harus sudah pulang. "Mereka boleh pergi 2 minggu sekali dengan teman-temannya. Malam Minggu ini dengan teman, malam Minggu depan dengan orangtua. Selalu begitu dan biasanya nonton", kata Mia. Karena sangat sedikit memberi waktu untuk keluarga, menurut Nani Sadikin, "kalau orang lain masih bisa main golf, mancing, pergi ke laut, kami tidur saja di rumah". (Dan Ali Sadikin sendiri kalau marah-maarah di kantor, sampai di rumah langsung tidur). Sore-sore, Ali Sadikin biasa mengenakan sarung dan kaus oblong. Baru malamnya pakai batik, yang harganya tak kelewat mahal. Malam jarang nonton teve (kecuali warta-berita). Waktu diisi dengan acara-acara undangan. Kadang-kadang keluarga Ali Sadikin berkunjung ke rumah kenalan lama, misalnya ke rumah Nyonya Nani Yamin di Kebayoran Baru. Ia pekerja sosia yang aktif di Bank Mata itu. "Kalau nonton film di Kebayoran, Bang Ali nyetir sendiri menjemput kami", kata Nani Yamin. Dua pasang suami-isteri itu biasanya saling jamu-menjamu. Nani Arnasih berkenalan dengan Ali Sadikin di Surabaya. Ketika itu ia kuliah di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Airlangga, mondok di rumah salah seorang famili Ali Sadikin. Nani sering jalan-jalan dengan mereka. "Maklum, orang indekosan, ada yang ngajak makan-makan ya mau saja", katanya. Lagi pula kan sama-sama asal Bandung. Ia tertarik Ali Sadikin yang baru kapten itu karena "sejak dulu saya senang sama orang pintar. Lagi pula dia kan rupawan". (Bahkan menurut koran Jepang Mainichi Shimbu) 13 Juni 1977, Ali Sadikin disebut "Gubernur yang berwajah bintang film"). Menurut Nani Arnasih, approach Ali Sadikin yang pendiam itu halus sekali. "Tapi jangan disangka kami pacaran seperti anak muda sekarang. Sungguh, pegangan tangan saja kami tidak pernah", katanya. Baru setelah Arnasih tamat kuliah dan Ali kembali dari belajar di AS (1954), mereka menikah. Sekarang di rumah mereka selalu panggil nama saja. "Dia panggil saya Nan dan saya panggil dia Al. Apa Saudara sangka panggil mas-masan atau Kang Ali? Nggak ah", ujarnya tersenyum. Dalam musim haji 1975/1976, Bang Ali mengajak isterinya naik haji. Setahun sebelumnya keduanya banyak mempelajari agama. Bahkan awal 1974, Nani Sadikin merasa perlu memesan kaset pelajaran sembahyang dari Abdul Chaer Saleh, 30 tahun. Guru ngaji asal Sumbawa yang tinggal di Bogor sejak 1965 itu memang sering berkunjung ke Jakarta mengadakan 'diskusi agama' dengan keluarga Jenderal T. Hamzah, bekas Pangdam I Iskandar Mudah Aceh. Juga dengan bekas KSAL Laksamana Subono. Perkenalan Nyonya Sadikin dengan Abdul Chaer lewat Nyonya Muchtar Zakaria (suaminya anggota DP RD DKI). Belakangan Nyonya Sadikin pesan 2 kaset pelajaran sembahyang lagi: satu buat suaminya, yang lain buat kedua anaknya yang sekolah di Australia. Meski begitu toh ada saja orang yang menduga Bang Ali percaya dukun. Misalnya dikabarkan ia sering berkunjung ke seorang dukun di Ciawi, Bogor. Menurut Soebipto, Ali Sadikin yang rasionil itu tak mungkin percaya dukun. "Cuma memang banyak sekali orang-orang yang mengaku sebagai dukunnya Ali Sadikin. Ada yang dari Banten, Cilacap, Badui. Dulu memang pernah, ketika ia sakit paru-paru, datang kepada seorang dukun. Bukan dukun klenik. Dukun berobat biasa", sambung Chris. Masih dalam soal dukun, suatu hari Chris han1pir saja terlibat urusan polisi. Ada dukun asal Surabaya yang membawa karis yang "bagus, agak panjang, katanya dari Madura". Sang dukun minta agar keris itu dibeli, katanya untuk dana pembangunan mesjid. "Tahu-tahu itu keris curian", kata Chris tertawa. Lain lagi yang dialami Nani Sadikin. Ia menerima surat-surat permintaan bantuan, yang kemudian ia salurkan ke Dinas Sosial. Tempat prakteknya sebagai dokter gigi di sudut belakang rumahnya juga tak jarang 'diganggu'. Ada yang ingin mengurus izin klab malam, mengadu rumahnya digusur, dan sebagainya. "Saya ini kan tak tahu apa-apa", kata Nani. Akhirnya terpaksa dipasang papan kecil berisi larangan mengurus soal kantor di tempat praktek. Dan Nani yang dulu ingin jadi dokter gigi -- lantaran tertarik pekerjaan dokter yang merawatnya -- itu, kini tidak lagi buka praktek. Tempatnya diantikan oleh drg Yetti Purwanto, rekannya. Toh masih saja ada 'pasien' yang mengira Yetti sebagai Nani. Itulah sebabnya di ruang praktek yang bersebelahan dengan bekas ruang praktek drg Nani, dipasang potret besar Nani dan suarninya. "Biar mereka tahu bahwa saya bukan Nani Sadikin", ucap Yetti. Ali Sadikin enam bel saudara, semuanya lelaki (dan anak-anak mereka kebanyakan juga lelaki). Paling tua dr Hasan Sadikin, meninggal tahun 1967 dalam usia 50 tahun: Namanya kini diabadikan sebagai nama rumah sakit umum di Bandung. Yang kedua, Hoesen Sadikin, 57, pengusaha swasta di Jakarta. Ketiga, Usman Sadikin, 55, salah seorang staf Garuda, kemudian Brigjen drs Abu Sadikin, Presdir PT Dharma Niaga lalu Ali Sadikin dan terakhir Said Sadikin, Dirut PT Nirmana Karya. Said Sadikin berkisah: ketika ayahnya meninggal 1 Agustus 1938, ibunya, hanya dengan pensiun suaminya 81 gulden, menyekolahkan anak-anaknya. "Tapi ibu juga jualan. Bukan jualan eceran, tapi kalau ada pesanan saja. Ibu tukang masak, sih". Sekarang, mcskipun kakaknya jadi gubcrnur, Said selalu mengikuti peraturan lelang untuk perusahaannya. "Kalau kalah tender ya tidak dapat pekerjaan. Saya tidak mau minta dispensasi". Ali Sadikin sendiri lahir di kampung Cangkudu Sumedang, 7 Juli 1927. Ayahnya, R. Sadikin, adalah pendiri dan guru kepala sekolah pertanian di Tanjungsari, antara Bandung dan Sumedang, 1914 - 1918. Sekarang berkembang menjadi SPMA dan Akademi Pertanian (di sana masih terparnpang potret R. Sadikin). Dan di Sumedang juga terdapal Jalan Raden Sadikin. Ayah Ali ini tarnat dari MOSVIA melanjutkan ke Sekolah Pertanian Bogor, kemudian menjadi Adjunct Landbouwconsulent di Sumedang. Juga pernah anggota DPRD Bandung di masa Bupati Wiranatakusumah. Hoesen Sadikin juga punya kenangan yang tak terlupakam Dulu, almarhumah ibunya sering berdoa dan bersedekah agar anak-anaknya menjadi 'orang'. Dan itu katanya tergantung dari sifat-sifat hari kelahiran anak-anaknya, sementara perayaan agak besar diadakan sebulan sekali. Misalnya Hasan yang lahir hari Minggu disedekahi dengan rokok satu-dua batang plus penganan jajan lain. Hoesen (Jum'at) disedekahi air segelas. Abubakar (Kamis) disedekahi kipas. Ali (Rabu) disedekahi daun pisang. Said (Sabtu) disedekahi ubi-ubian yang ditanam. Semuanya plus jajanan kanak-kanak. Ada cerita lain dari Raden Achmad Bulkini, 73 tahun, yang kini bekerja di Museum Sumedang. Bulkini ketika berusia 14 pernah mcnjadi pengasuh si Ali yang baru berusia 3 tahun. Katanya, ibu Ali Sadikin pernah minta 'dijiyad' oleh Bupati Sumedang Kanjeng Pangeran Soeria Atmadja, yang mashut weruh sadurung winarah (tahu sebelum sesuatu bakal terjadi). Maksud si ibu, agar anak-anahlya kelak menjadi orang besar. Lalu sang Bupati memberi semangkuk air yang sudah dimanterai untuk diminum. Bulkini juga bercerita tentang Dalem Tumenggung Angga Di Kusumah, Bupati Batulayang, yang pernah menolak untuk menjemput pembesar Kompeni Belanda. Menurut Bulkini, yang kini suka meneliti silsilah itu, sang Bupati adalah salah seorang kakek Ali Sadikin. Sang kakek ahhirnya diasingkan ke Mangga Dua, Batavia, dan meninggal tahun 1802. Peristiwa itu ditafsirkan oleh Bulkini: "ada keturunannya nanti yang akan menjadi penguasa di Batavia", katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus