Lebih dari setengah abad lalu, sastrawan Abdul Muis telah menulis karya besarnya, Salah Asuhan sebuah roman yang isinya menegaskan betapa besar bahaya atau bencana yang ditimbulkan akibat asuhan ala Barat bagi orang-orang di negeri ini. Hal itu digambarkannya lewat tokoh Hanafi, yang karena salah asuhan dan pendidikan Barat telah kehilangan segala-galanya: kepribadian, harga diri, nilai-nilai leluhur, dan keimanannya. Ketika buku itu diterbitkan, keadaan dunia Barat masih belum separah seperti sekarang ini: berada di ambang kehancuran lahir-batin. Pada umumnya dunia Barat dewasa ini menjadi pusat malapetaka dunia. Ia sumber segala bentuk dan jenis kerusakan yang terungkap lewat angka kriminalitas paling tinggi dibanding dengan bagian-bagian dunia lain. Di situ merajalela banditisme, perkosaan, berbagai skandal, pecandu-pecandu narkotik dan heroin berkeliaran secara bebas, koboi-koboi perang, para pembunuh bayaran, kaum homo, lesbian, rasialisme, bikini, kaum nudis, New Nazi, penyebar wabah AIDS, dan lain sebagainya. Agama dan susila di sana praktis telah lumpuh. Menilik film-film Barat yang sering ditayangkan di negeri kita ini, selalu menonjolkan kebebasan bergaul pria-wanita, kebebasan seks dan emansipasi terselubung, semua itu menunjukkan bahwa seks menurut Barat jauh berbeda dengan pengertian orang Timur. Menurut kita, seks adalah luapan gairah berahi yang kodrati yang mengandung nilai-nilai kelembutan dan manusiawi. Namun, di Barat seperti yang dikesankan dalam film-film mereka adalah nafsu hewani. Begitu banyak moncong bertaring berlumuran darah yang menganga di Barat yang siap memangsa kita. Tetapi masih ada saja orang-orang kita yang beranggapan dan bahkan percaya bahwa dunia Barat merupakan satu-satunya tempat untuk menimba ilmu pengetahuan guna mencapai kemajuan dan sukses dalam kehidupan. Seolah-olah intelektualisme identik dengan pendidikan Barat, dan seakan-akan baru diakui sebagai cendekiawan kalau sudah menerima pendidikan Barat. Masih ada yang berkhayal bahwa dunia Barat merupakan pusat budaya. Boleh jadi itu benar, tapi dulu berapa abad yang lalu. Dewasa ini telah terbukti bahwa orang-orang Prancis tidak lagi penggemar seni dan budaya. Penggemar seni dan budaya hanya tinggal 15% saja. Seni budaya di Barat sudah terkungkung dalam museum-museum. Jadi, untuk menjadi orang berwibawa, punya harga diri, dan mengarahkan wajah ke masa depan yang cerah, kita tak perlu menoleh ke dunia Barat. Dari situ kita cuma akan memperoleh kebekuan hati. Satu-satunya yang dapat kita berikan kepada dunia Barat hanya sedikit rasa hormat. Karena di sana pernah dilahirkan seniman-seniman yang layak dihormati, sastrawan-sastrawan, penyair-penyair, pemahat dan pelukis, dramawan, dan filsuf-filsuf meskipun jumlahnya tak seberapa jika dibandingkan dengan seniman-seniman di dunia Timur yang lazim menjadi anutan mereka. Perlu diingat pula, jangan coba-coba membandingkan turis-turis Barat yang seolah-olah mendambakan kemurnian dan kepolosan alami itu dengan suku Asmat di pedalaman Irian Jaya. Suku Asmat adalah suku primitif yang jernih. Mereka punya tradisi dan adat-istiadat, dan tetap mengagungkan nilai-nilai luhur secara turun-temurun. Dan semua itu tidak dimiliki oleh orang-orang Barat. Kita harus benar-benar jeli dan selektif memilih kiblat ilmu, ke negara mana kita akan berorientasi. Masih banyak tempat terbuka yang baik dan aman selain dunia Barat. Bahkan di tanah air kita ini tersedia cukup banyak sarana yang akan menjadikan orang pintar, alim, bijak, dan berwatak. Misalnya pondok-pondok pesantren yang bertebaran di seluruh pelosok negeri ini. MUHAMMAD ALI Menukan Rejo V/11 Perumnas Tandes Surabaya 60185
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini