Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Kelompok masyarakat Yogyakarta yang menamakan diri Dewe Yoben menggelar aksi di Bundaran Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Jumat, 1 Maret 2024. Mereka mencari enam rektor dan enam ketua BEM di Yogyakarta yang berani untuk menegakkan demokrasi di tengah kondisi proses Pilpres yang diwarnai dengan pelanggaran konstitusi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Aksi yang diikuti sejumlah seniman tersebut diawali dengan aksi teatrikal bertajuk "Surat Cinta buat Penguasa (dari si Bisu buat si Dungu)". Selain itu, mereka juga membentangkan spanduk bertuliskan "Kampus Jangan Diam, Rektor UGM Mana?" dan "6 Jam di Jogja Mencari Rektor Pemberani".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
"Aksi ini dilakukan bertepatan dengan Serangan Umum 1 Maret dan aksi ini dilakukan sebagai bentuk keprihatinan. Banyak kampus yang masih diam. Di sini kami mencari enam rektor yang berani sesuai dengan enam jam di Yogyakarta," kata koordinator aksi Henri Gundul kepada Tempo saat ditemui di sela-sela aksi.
Menurut dia, kampus merupakan mercusuar kaum intelektual yang memiliki tradisi untuk menyuarakan kebenaran, tetapi hal tersebut belum terasa sampai sekarang di tengah demokrasi yang carut-marut. "Jogja ini terdiri dari kampung, keraton, dan kampus. Kampung sudah bergerak, keraton sudah memberikan sinyal, tetapi kampus masih diam. Karenanya, kami mengajak seluruh sivitas akademik untuk memulai gerakan ini," ujar Henri.
Disinggung mengenai pemilihan lokasi aksi, dia menjelaskan Bundaran UGM dahulu menjadi titik awal pergerakan reformasi di Yogyakarta yang bermula dari kampus UGM. "Sayangnya hari ini pula negara ini rusak yang kita tahu orang-orang tersebut asalnya dari mana dan di sini, kampus ini sekarang bisu. Tidak bersuara sama sekali. Mulai dari porses di MK dan proses yang lain mereka bisu," katanya.
Isi Surat Cinta buat Penguasa (dari si Bisu buat si Dungu)
Dibacakan oleh seniman Yuliono Singsot yang memainkan gitar tanpa syair dan nada yang jelas, kemudian mulai berdiri dan membacakan surat tersebut tanpa suara, surat tersebut diterjemahkan dalam suara oleh Agus Becak. Berikut isi surat tersebut:
Kutulis surat ini, ketika kata-kata sudah kehilangan makna, kepada kalian para penguasa yang berdasi tapi tak bernurani, yang perlente tapi berburu rente.
Dengarlah suara kami, kalian yang menyebut diri sebagai pemimpin rakyat, nyatanya kau diam saat kami desah, kalian yang menyebut diri sebagai pejuang demokeasi, nyatanya kau sedang sibuk mencari keuntungan diri.
Masihkah kalian tertawa di tengah nyanyian sumbang kami? Masihkah kalian berdansa di atas panggung penderitaan kami?
Wahai RAKYAT YANG TERTINDAS, BURUH DAN TUKANG BECAK, SENIMAN DAN KAUM CERDIK PANDAI, JIKA KALIAN DIAM PADA SIAPA KAMI MENGADU.
JANGAN BIARKAN KAMI MENJADI SUARA SI BISU YANG MEMBEKU KETIKA DEMOKRASI DIHANCURKAN, MAKA DIAM BUKANLAH PILIHAN.