RUDY Habibie kerap terdaftar sebagai tamu terakhir Pak Harto. Para petugas, baik di rumah kediaman Presiden di Jalan Cendana maupun di kantor beliau di Bina Graha, agaknya sengaja mengatur begitu karena pembicaraan antara kedua tokoh itu bisa makan waktu berjam-jam. Maka, setiap kali Habibie mau menghadap Pak Harto, beberapa petugas di Bina Graha berkata secara setengah berseloroh, "Wah, alamat kita makan siang terlambat lagi, nih." Di saat tiba makan siang, Habibie dan Pak Harto konon suka makan mi. "Buat saya, Pak Harto memang sudah seperti bapak saya sendiri. Beliau guru saya," kata Habibie ketika menerima tim wartawan TEMPO Jumat sore pekan lalu. "Saya banyak belajar filsafat Jawa dari Profesor Soeharto." Pertemuan antara Rudy Habibie dan Soeharto bermula sekitar 42 tahun silam di Makassar. Di kota yang kini bernama Ujungpandang, Overste Soeharto tampil sebagai Komandan Brigade Garuda Mataram yang menumpas peristiwa pemberontakan Kapten Andi Aziz. Rumah keluarga Habibie berhadapan dengan markas Brigade Garuda Mataram. Seperti disebut dalam otobiografi berjudul "Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya", di rumah keluarga Habibie terdapat suasana yang membuat anggota staf Brigade III dari Jawa Tengah merasa kerasan. Ibunda Rudy (almarhumah), R.A. Tuti Marini Puspowardojo, berasal dari Yogya. Dan obrolannya dalam bahasa Jawa merupakan hiburan tersendiri bagi anggota- anggota pasukan yang jauh dari keluarga. "Hal ini patut saya kenang," kata Pak Harto. Menurut Habibie, Pak Harto sering berkunjung ke rumah mereka, dan sering pula Ny. Tuti Marini Habibie, yang aktif di kepanduan, memasakkan ransum buat anak buah Pak Harto. Sampailah di suatu malam, selepas isa, dua anak dari keluarga besar Habibie datang ke asrama sambil menangis. Mereka memberi tahu bahwa ayahnya sakit keras. Mendengar itu Pak Harto bersama seorang dokter tentara segera bergegas memberikan pertolongan. Tapi Tuhan menentukan lain. Alwi Abdul Jalil Habibie, ayah Rudy Habibie, meninggal. Diduga terkena serangan jantung ketika menjalankan salat isa. "Beliau mengembuskan napas terakhir di depan saya...," tutur Soeharto dalam biografinya. "Saya berkesempatan menutupkan matanya sambil memohonkan ampun pada Tuhan Yang Maha Esa." Overste Soeharto pula yang mengurus penguburan Alwi Habibie, ketika itu Kepala Inspektorat Pertanian di sana. Waktu itu Tuti Marini tengah mengandung anaknya yang kedelapan. "Ya, waktu itu saya yang baru 13 tahun cuma bisa menangis," kenang B.J. Habibie. "Pak Harto memeluk saya, sembari berkata: sabar Bib. Bapakmu orang baik, meninggal sewaktu sholat." Habibie juga masih ingat, ketika ibunya berdoa dan bersumpah di depan jenazah ayahanda untuk meneruskan cita-cita almarhum: Menyekolahkan delapan anaknya dengan keringatnya sendiri. Hubungan antara keluarga Soeharto dan keluarga Habibie kian dekat saat Kapten Subono Mantofani, seorang staf Brigade Mataram, menikah dengan Titi Sri Sulaksmi, kakak tertua Habibie. "Saya, sebagai komandan brigade, besanan dengan Ibu Habibie," kenang Pak Harto dalam otobiografinya. Kata Rudy, "Sejak itu hubungan saya dengan Pak Harto jadi hubungan abadi." Alkisah, tak lama setelah Alwi Habibie meninggal, Rudy dikirim ke Bandung untuk melanjutkan SMP. Lalu seluruh keluarga Habibie pun menyusul pindah ke kota kembang itu. Rudy, yang saat itu mengaku sudah pandai mengaji, lalu melanjutkan sekolah di SMA Kristen di Jalan Dago, Bandung. "Jadi, di sekolah saya ikut ujian Injil Markus dan Matius, di rumah menjalankan sholat dan mengkhatamkan Quran," katanya. Dia sempat kuliah sebentar di ITB, mengambil jurusan elektro, "Karena jurusan fisika ketika itu belum ada," katanya. Cita-cita Rudy muda pun agak terkabul ketika di tahun 1955 terbuka kesempatan bagi sejumlah mahasiswa Indonesia untuk tugas belajar di Jerman Barat. Habibie, yang sejak di Bandung suka mendesain model-model pesawat, berhasil mendapat beasiswa itu. Dan memilih jurusan penerbangan, sementara sebagian mahasiswa yang lain masuk ke jurusan perkapalan. Dia tak lupa menyitir ucapan Bung Karno: "... bangsa yang besar ini dapat dipersatukan dan dikuasai secara militer, dan dapat pula terintegrasi bila bangsa ini menguasai dua hal, yakni penerbangan dan perkapalan." Tapi dengan cepat Habibie mengingatkan, "Anda jangan lupa, Bung Karno adalah seorang insinyur." Sang ibu pun mendorong-dorong penuh semangat. Nyonya Tuti Marini mengingatkan kembali tentang sumpahnya untuk membiayai sekolah anak-anaknya dari keringatnya sendiri. Sisi lain Pemerintah memberikan beasiswa. Akhirnya ditempuh jalan tengah dengan memberikan beasiswa dengan cara membeli devisa. Toh Rudy Habibie merasa berat meninggalkan Tanah Air. Bukan apa-apa. "Soalnya, saya ketika itu punya pacar, anak Manado keturunan Jerman, " kata Rudy yang suka bubur Manado. Tak disebutkan namanya. Tapi si wanita blasteran -- yang mestinya cantik -- juga kuliah di ITB di jurusan analis sembari bekerja di Lembaga Eykman. Ada lagi cerita dari Henk Uno, teman dekat Rudy, yang mengatakan dia pernah naksir berat dengan Nani Ruhimat, gadis SMA di Bandung, yang saat itu amat populer. "Tapi Rudy cuma berani mondar-mandir dengan motornya di depan rumah Nani yang berparas cantik seperti bintang film Susan Hayward," kata Henk Uno kepada Sri Pudyastuti dari TEMPO. Namun Tuti Marini, yang tampil sebagai "godmother" keluarga besar Habibie, tetap berkeras untuk mengirim anaknya studi di luar negeri. Di Universitas Aachen yang terkenal itulah Rudy kemudian mendalami konstruksi pesawat terbang. Alasannya, "karena pesawat yang terbang di udara pasti lebih berat daripada kapal yang di laut. Untuk membiayai keperluan kuliah, "Saya ambil semua simpanan, saya jual seluruh perhiasan," kata Nyonya Tuti Marini seperti ditulis oleh A. Makmur Makka dalam biografi Habibie. "Sebagai janda yang tak punya koneksi, saya berjuang sendirian untuk anak." Beberapa saat sebelum berangkat, Habibie dan rombongan mahasiswa yang akan ke Jerman Barat mendapat petuah dari Presiden Soekarno. "Beliau memencet-mencet kepala saya, lalu berkata: Kalianlah yang akan menentukan masa depan bangsa." Habibie ketika itu duduk paling depan sembari bersila di lantai, menengadah sembari memelototkan matanya yang bundar ke arah Bung Karno. "Mungkin karena mata saya yang melotot itu beliau memencet-mencet kepala saya," kenangnya. Di Technische Hochschule Aachen itulah Habibie menghabiskan masa kuliahnya selama sepuluh tahun dan berhasil meraih gelar doktor di bidang konstruksi pesawat terbang dengan predikat summa cumlaude. "Saya orang Indonesia pertama yang meraih doktor bidang mesin dan kedirgantaraan," katanya, "dan orang Indonesia yang pertama pula yang meraih gelar itu di Jerman setelah Perang Dunia II." Bagi lelaki yang ketika itu tidak terdaftar sebagai mahasiswa ikatan dinas, hidupnya di Jerman terasa pas-pasan. Dia mengaku tak jarang cuma makan beberapa potong roti sehari, karena uang kiriman ibunya suka datang terlambat. Toh semasa kuliahnya dia pernah terpilih sebagai Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) di Bonn, ibu kota Jerman Barat. Dia juga bergabung dengan sebuah band PPI dan sering tampil sebagai penyanyi. Lagu kesayangannya, Sepasang Mata Bola. Kelebihan Rudy Habibie yang lain adalah ini: dia berhasil mempersunting Dokter Hasri Ainun Besari di tahun 1962. Ainun yang hitam manis, yang mulai kuliah di Fakultas Kedokteran UI tahun 1955, pernah terpilih sebagai Miss UI. Mereka mengawali hidupnya di Jerman secara tak berlebihan. "Hidup di paviliun kecil dengan uang sewa yang besar," kata Ainun. Wanita asal Solo itu juga mengaku bahwa dia sendiri yang menjahit baju kantor suaminya dan baju sehari-hari di rumah. Lama bermukim di Jerman, Rudy Habibie mengawali kariernya sebagai Asisten dan Research Scientist di Institut Konstruksi Ringan di Technische Hochschule Aachen. Lalu masuk di industri penerbangan di Hamburg, cikal-bakal dari perusahaan masyhur Messerschmitt Bolkow Blohm (MBB). Di sanalah kariernya terus men julang hingga menjabat sebagai salah seorang Vice President Direktur Teknologi MBB. Hatta anak keempat dari delapan bersaudara Habibie terkenal sebagai pakar pesawat kelas dunia. Hingga tersebutlah istilah "Teori Habibie, Faktor Habibie, dan Metode Habibie". Buah karyanya dalam desain konstruksi pesawat konon menjadi buku standar Organisasi Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Menurut yang empunya cerita, pemuda kelahiran Pare-Pare ini dikenal pula dengan panggilan "Mr. Crack". Karena keunggulannya menghitung urutan keretakan pesawat, crag propagation on random, hingga ke atom-atomnya. Dia juga berjasa dalam memperkenalkan finite element method untuk menghitung struktur pesawat Airbus dan Boeing-747. Kapan Rudy bertemu kembali dengan Pak Harto? Itu terjadi di tahun 1970 ketika Presiden RI dan rombongan berkunjung ke Jerman Barat. Tapi pertemuan beriwayat itu agaknya belum membuat Habibie kembali ke Indonesia. Adalah Direktur Utama Pertamina ketika itu, Ibnu Sutowo, yang atas permintaan Presiden Soeharto meminta Rudy kembali ke tanah air. Itu terjadi di tahun 1973. "Saudara Rudy, Saudara harus malu pada diri sendiri," kata Ibnu Soetowo suatu ketika. "Di Indonesia orang sedang membangun, kamu kok malah di sini." Laki-laki bertubuh kecil yang juga dijuluki "Napoleon" itu akhirnya memutuskan untuk kembali ke tanah air. Dia mendarat di Jakarta awal tahun 1974, sepekan setelah "Peristiwa 15 Januari". Kini kabar burung yang beredar menyebut-nyebut B.J. Habibie sebagai salah seorang calon Wapres. Jawabnya tentu terpulang pada tokoh yang mengenalnya sejak di Ujung pandang dulu. Agus Basri, Sri Pudyastuti, dan Linda Djalil
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini