Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

"saya tak sebodoh yang dikira orang ..."

Wawancara tempo dengan bacharuddin jusuf habibie dari masalah jabatan yang dipercayakan, hambatan-hambatan yang dihadapi, tentang pembangunan politik di masa datang, sampai pencalonan wakil presiden.

10 Oktober 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA yang khas di ruang kerja itu. Sebuah meja panjang yang di kantor-kantor lain biasa dipakai untuk rapat staf, di situ dipenuhi oleh berbagai miniatur pesawat terbang dan helikopter. "Itu hadiah dari pabrik pesawat terbang, nggak dibeli. Tak ada orang jual barang beginian," kata Bacharuddin Jusuf Habibie, 56 tahun. Maka suasana di situ terasa ruwet -- menurut Habibie, baginya semua itu bisa mendatangkan ilham -- serta jauh dari kesan rapi. Seperti diceritakan Habibie, Nyonya Tien Soeharto pernah mengkritik kantor itu. "Habibie ini tak benar, masak kamarnya kayak gudang. Mbok diatur dengan baik," ujar Ibu Tien. Lalu Pak Harto menyela. "Ah, nggak usah, yang penting Habibie kerasan duduk di situ, dan terus mendapat ilham. Jadi jangan diganggu," kata Pak Harto, seperti diungkapkan Habibie kepada TEMPO. Di kantor itu, Jumat sore pekan lalu, Habibie menghabiskan waktunya selama tiga setengah jam, meladeni TEMPO. Berikut petikan wawancara khusus itu: Anda memegang puluhan jabatan, bagaimana bisa menangani semuanya? Terus terang saja, saya ini selalu berkonsentrasi pada pemecahan masalah. Kalau itunya sudah benar, ya sudah. Saya tak mau banyak dengar tentang hasil-hasilnya. Selain itu, di sini saya beruntung mendapat teman yang bisa membantu saya, seirama dan sepaham. Kalau saya ke luar negeri, saya tak berpikir bahwa Pak Parlin ini (maksudnya Dr. Parlin Napitupulu, Wakil Ketua BPPT) akan menganukan saya. Saya terbuka pada mereka, saya memperlakukan mereka sebagai kolega. Jadi di sekitar saya tak ada rasa takut. Ada yang mengatakan semua tergantung Anda. Ketika Anda sakit di Eropa dulu, harus ada staf yang mondar-mandir untuk menandatangankan surat? Kalau saya di luar negeri, ada staf yang mondar-mandir, itu normal. Tapi coba perhatikan, kalau saya ke luar negeri, ada beberapa orang di sini yang tak boleh keluar. Pak Parlin jelas tak boleh. Juga Pak Rahadi Ramelan (salah satu deputinya). Sebelum berangkat, saya tanda tangani semua, haknya begini-begini. Mereka lapor terus. Ada tuduhan Anda ini one man show? Semua memang harus bermuara pada saya, tapi bukan berarti one man show, ha-ha ... (ia tertawa). Semua terkontrol dan terkoordinasi dengan baik, itulah manajemen. Saya sering menyampaikan pada kawan-kawan, saya berpegangan, orang yang bekerja keras dan cepat, nomor satu. Selalu jujur dan rasional, selalu bersikap fair terhadap yang lain. Satu lagi, jangan sok pahlawan. Apa saja hambatan yang Anda hadapi? Kurangnya pengertian lingkungan, khususnya pada waktu saya mulai, 19 tahun lalu. Tapi sekarang hampir semua orang sudah mengerti. Karena generasinya sudah lain. Saya kira ini masalah generasi. Sebab yang keberatan dengan saya kebanyakan dari generasi yang senior, yang sebenarnya jasanya banyak sekali untuk negeri ini. Sedangkan yang lebih muda, lebih bisa menerima saya. Jadi saya kira ini bukan soal ahli teknologi dengan ekonom. Dari kalangan insinyur juga banyak yang menentang. Sementara itu, Pak Parlin ini, atau Billy Judono itu kan ekonom, tapi mereka bisa menerima, karena seumur dengan saya. Apa sebenarnya motif dari orang-orang yang tak setuju itu? Mereka kurang yakin apa yang saya lakukan -- seperti membuat pesawat terbang -- selama ini benar. Mereka tak yakin karena melihat contoh insinyur-insinyur lain yang ternyata gagal. Jadi saya juga tak marah, ini kan soal pendapat. Saya pernah mengatakan, pembangunan itu kan seperti mobil. Sopirnya mandataris MPR, mobilnya Repub lik Indonesia. Gasnya itu para insinyur, remnya ekonom. Kalau you hanya pakai rem, mobil tak akan keluar garasi. Tapi kalau hanya pakai gas, baru 10 meter sudah nabrak pohon. Bagaimana Anda bisa dipercya Presiden untuk memegang begitu banyak jabatan? Mungkin itu ada hubungannya dengan yang selalu Pak Harto katakan tentang para menteri dan pembantu pembantunya. Semuanya diberi kesempatan yang sama untuk berprestasi, tapi ya dilaksanakan. Yang jelas, kalau Saudara memberikan suatu pekerjaan pada seseorang dan orang itu melaksanakannya dengan baik, kasih lagi dong sama dia pekerjaan lain. Yang pertama dulu kan saya cuma membuat kapal terbang, lalu teknologi, lalu in dustri strategis. Lalu mungkin tiba-tiba terlihat: itu yang ruwet dalam Islam kok bisa juga diselesaikan oleh Habibie. Terus saya dipanggil, ditunjuk menjadi Wakil Ketua Dewan Pembina Golkar. Bahkan Pak Harto mengatakan, tahun depan saya menjadi Koordinator Harian Dewan Pembina Golkar. Jadi, beliau kan melihat. Apa pendapat Anda tentang Pak Harto? Beliau pemimpin yang arif bijaksana. Low profile, sangat rendah hati. IQ-nya jelas tinggi, dan memorinya kuat. Tentu saya tidak mendapat kuliah dari Pak Harto mengenai teknologi, itu bidang saya. Selama berhubungan dengan dia, saya memperkaya diri dengan mendapatkan ajaran mengenai falsafah dan kebudayaan bangsa, Jawa, sikap kepemimpinan, nasionalisme, integralisme, dan sebagainya. Saya juga selalu diajari Pak Harto mengenai Islam. Banyak orang yang salah, menyangka Pak Harto tak mengerti Islam. Tak banyak yang tahu bahwa Pak Harto bisa membaca dan menulis Arab. Nah, dalam tempo 19 tahun lebih saya mendapatkan pelajaran intensif dari "Profesor" Soeharto. Kalau itu saya gunakan untuk kuliah di universitas, itu berarti saya sudah tiga kali mendapat titel doktor. Anda dipercaya menjadi Wakil Ketua Dewan Pembina Golkar, kapan belajar politik? Tadi kan sudah saya katakan, saya 19 tahun punya guru yang unggul dalam strategi politik dan filsafah, dan sebagainya. Namanya Profesor Soeharto. Dia tak pernah mengatakan harus begitu, harus begini, tapi lakukan semampumu. Dalam pertemuan saya yang pertama dengan Pak Harto setelah saya pulang dari Jerman, di Jalan Cendana, Jakarta (kediaman presiden), akhir Januari 1974, misalnya, Pak Harto hanya memberikan tiga petunjuk. Satu, saya diperkenankan membuat industri pesawat terbang. Kedua, supaya saya mempersiapkan Badan Peng kajian dan Penerapan Teknologi. Ketiga mendirikan Puspitek. Bagaimana saya melakukannya, terserah saya. Cuma satu yang tak boleh saya lakukan: mengobarkan revolusi. Pak Harto bilang, kasihan karena rakyatmu tak bisa mengatasi suatu revolusi. Rakyatmu itu tak rewel, rakyatmu itu sangat sederhana. Yang mereka ingini hanya cukup pangan, dan sebagainya. Saya catat itu semua. Selain itu? Pak Harto juga mengatakan agar saya mempersiapkan kerangka tinggal landas 1994. Lalu satu hal lagi Pak Harto mengatakan: Sudah saya tentukan bahwa Anda akan mempersiapkan dan membantu untuk tinggal landas menuju abad yang akan datang. Bagaimana Anda menafsirkannya? Di dalam buku Pak Harto (berjudul Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya), visi Pak Harto sudah kelihatan: Bahwa masa depan Indonesia itu ditentukan oleh teknologi. Beliau menggambarkan tahapan-tahapan pembangunan untuk memasuki tinggal landas. Dan Pak Harto mengatakan: ini satu-satunya yang mengerti dan bisa menerjemahkan pemikiran saya dan filsafat saya adalah si Habibie itu. Kenapa banyak orang ICMI yang jadi anggota MPR? Saya kan sering bilang, cendekiawan itu bukan tergantung titel kesarjanaan. Mereka adalah manusia yang bisa membaca benar-benar kehendak rakyat, dan ia ikut memberikan resonansi terhadap getaran rakyatnya itu sendiri. Kalau jiwanya begitu dan ia terampil, Insya Allah, apa kehendak rakyatnya akan diperjuangkan. Akibatnya apa? Yang jadi anggota MPR adalah para cendekiawan muslim dengan definisi saya tadi yang berlaku di ICMI. Jadi, dalam kacamata saya, bila saudara membaca banyak cendekiawan muslim di situ, memang seharusnya begitu. Realistis. Tapi kenapa mesti dari ICMI? Mereka di situ tak mewakili ICMI, karena ICMI bukan partai politik. Kalau secara implisit saya mengakui mereka dari ICMI berarti ICMI itu partai politik. Tidak bisa. Ini kritik. Masa, dalam utusan Golongan di MPR, staf BPPT dimasukkan mewakili golongan Kristen. Soalnya begini, kami dari BPPT itu harus bisa mem berikan pengalaman kami dalam hal mengkaji dan menerapkan teknologi kepada generasi penerus di Sidang Umum MPR, khususnya dalam penyusunan GBHN. Ini sangat pent ing untuk menentukan strategi 25 tahun mendatang. Kalau salah GBHN-nya, ya kasihan mandatarisnya, rakyat, dan generasi penerus. Untuk itu kami ambil, katakanlah, 10 dari 1.000 anggota MPR itu dari BPPT. Itu kan tak ada artinya. Pak Katili, yang sebelumnya tak dikenal di pentas politik, kok menjadi Wakil Ketua DPR? Ya, karena GBHN itu tadi. Selain itu, Pak John Katili itu pakar, akarnya di ITB. Dedikasinya kepada rakyat tak disangsikan. Dan John itu adalah anggota DPR ter pilih. Apa yang salah? Mekanisme di Golkar selama ini, seorang kader itu naik secara berjenjang. Nah, dalam kasus Pak Katili, jadi pengurus DPD Golkar pun ia tak pernah. Apakah kita ini harus bertindak birokratis karena sistem harus begitu. Saya kira, kalau seperti itu, kita tak akan maju. Bagaimana Anda melihat pembangunan politik di masa datang? Indonesia masa kini berbeda dengan 25 tahun yang lalu. Begitu pula yang terjadi secara regional maupun inter nasional. Di mana-mana terjadi demiliterisasi. Kini, perang dingin sudah selesai, superpower militer tinggal satu, Amerika. Kemudian ada tiga superpower ekonomi: Jepang, Amerika, dan Jerman. Ancaman yang kita hadapi hanya di bidang ekonomi. Pada 25 tahun yang akan datang pasti akan ada kompetisi di bidang ilmu dan teknologi. Yang menentukan bukan lagi natural resources, tapi human resources yang sangat terampil. Nah, kita mesti ke sana, makanya John Katili diperlukan. Tapi ingat, bukan saya yang mengangkat Katili itu ke DPR. Ada yang bilang, sistem kepartaian yang ada sekarang tak menampung aspirasi semua orang. Komentar Anda? Menurut saya, tidak demikian. Politik kita maju. Lihat saja pemilihan umum dan sebagainya. Kekuatan ekonomi dan intelektual 25 tahun lalu tak sekuat sekarang. Kalau kita renggangkan itu, apa kita mau buat revolusi, yang hanya akan mengacau dan mengganggu Trilogi Pembangunan? Bagaimana kans Anda untuk menjadi wakil presiden? Kita harus menentukan mandatarisnya dulu. ABRI, PPP, Golkar, dan Utusan Daerah telah memilih Pak Harto. Kita tunggu dulu PDI. Kita tidak mau voting. Kalau main voting, Golkar sudah menang. Yang kuat tak boleh dominan menentukan. Tapi yang kecil pun tak boleh merongrong dan meneror. Tapi saya yakin, kalau jujur, PDI pun akan bersuara sama. Jadi, Anda bersedia menjadi wakil presiden? Saya kembali bertanya, apa ada manusia Indonesia yang berdedikasi dan berpendidikan, yang mampu mengatakan "tidak" kepada rakyat, jika rakyatnya meminta dengan hormat dan mandatarisnya juga meminta dengan hormat. Kalau ada, dia itu tak akan diusulkan oleh rakyat, karena mentalnya brengsek. Saya tak mengatakan seolah olah saya mengejar itu, tidak benar. Saya tak pernah mimpi, merekayasa, atau mengincar ke arah itu. Jadi menteri pun tidak. Cita-cita saya menjadi insinyur sejati. Insya Allah, nanti saya akan menjadi guru besar di ITB. Tentang wakil presiden harus dari kalangan ABRI? Menurut saya, yang menentukan kriteria itu rakyat sendiri. Dan nanti masih ada saringannya dari mandataris MPR. Itu hak prerogratif presiden. Apakah masih perlu dipersoalkan wakil presiden itu dari ABRI atau non-ABRI? Saya tak mempersoalkan itu. Tapi kalau agama, ya kita harus realistis. Kalau misalnya wakil presiden berasal dari penganut agama yang 3% di sini, terus nanti terjadi sesuatu pada presiden, ia akan menjadi presiden. Itu nanti bisa menjadi susah. Dan itu yang tak bisa kita atasi. Kita harus realistis. Apa mungkin kalau di Roma itu presidennya seorang haji? Tak mungkin di Jerman itu yang menjadi kepala negara Haji Muhammad Smith. Tak mungkin. Tetapi tak berarti di Jerman ada diskriminasi. Saya rasa yang minoritas itu juga tak mau. Tahu diri dong. Sebab mereka juga menginginkan bangsanya ini stabil. Apakah diperlukan perubahan kebijaksanaan pembangunan ekonomi di tahun-tahun mendatang? Minyak kita itu akan habis, karena kita butuhkan sendiri untuk industrialisasi yang juga untuk lapangan pekerjaan. Untuk itu ada dua golongan industri: yang menghasilkan nilai tambah rendah dan yang bisa tinggi sekali. Yang menghasilkan nilai tambah yang rendah, menggunakan teknologi (iptek) rendah, akan menimbulkan banyak saingan sehingga muncul kuota. Sedangkan yang menghasilkan nilai tambah tinggi seperti industri pesawat terbang, satelit, dan pembangkit listrik itu memerlukan teknologi yang tinggi, tak banyak yang bisa membuatnya, sehingga tak ada kuota. Bila yang dipakai terus adalah teknologi rendah, yang terjadi adalah defisit dalam neraca perdagangan dan neraca pembayaran. Dan itu selalu menjadi masalah di negara berkembang. Tapi bagaimana mungkin, dengan kondisi sekarang, kita meloncat ke teknologi tinggi? Saya katakan bahwa 1% saja dari bangsa Indonesia - Jepang 4,4% dan Jerman 4,2% -- menguasai teknologi canggih, itu berarti 1,8 juta orang. Itu sudah cukup. Kalau itu terjadi, berarti kita akan bisa menghemat impor, dan ekspor kita akan tetap unggul. Itu akan menjadi kekuatan besar. Artinya kita harus mengeluarkan ongkos yang sangat mahal, seperti membangun industri pesawat terbang di Bandung itu? Investasi dalam bentuk penyertaan modal pemerintah untuk Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) itu secara akumulasi dari hari pertama sampai sekarang total US$ 835 juta. Dalam persiapan jumlah itu mungkin meningkat sampai US$ 1,2 milyar. Kalau dihitung, berarti setiap tahun penyertaan modal Pemerintah cuma US$ 75 juta. Bayangkan dengan jumlah itu telah berdiri sebuah perusahaan yang memiliki 16.000 pekerja, 1.640 di antaranya insinyur, dan sampai saat ini bisa menghasilkan 300 pesawat terbang dan holikopter dan telah terjual ke Iran, Muangthai, Arab Saudi. Kini kami tengah negosiasi dengan Brunei. Kenapa tak bikin industri mobil? Baru saja saya pegang industri strategis sedikit, dibilang pegang semua. Bagaimana jika saya tarik industri mobil? Bisa marah orang-orang itu, ha-ha-ha .... Ekonomi Indonesia tumbuh di atas 6%. Tapi bagaimana soal pemerataan? Misalnya, ada yang bilang Jalan Sudirman, Jakarta, itu seperti Manhattan, tapi orang miskin juga tambah banyak. Begini. Lihat saja dari konglomerat. Sebagian besar konglomerat di sini bergerak pada jalur jasa dan konsumsi. Hampir tak ada dari mereka yang bergerak dalam konsumsi yang dwifungsi. Contohnya kapal terbang. Kalau dipakai sebagai private plane, ya itu konsumsi. Kalau dipakai komersial, ya produktif. Jadi, semua konglomerat di sini menurut saya tidak bergerak dalam bidang yang bersifat total produktif atau produktif dan konsumsi seimbang. Ini yang menyebabkan mayoritas konglomerat kita berasal dari keturunan Cina. Karena sejak berdirinya kolonialisme, mereka sengaja dipakai Belanda untuk memisahkan massa yang besar dengan intelektual, supaya ada kelas menengah yang jadi pedagang kelontong dan konsumtif. Pola ekonomi kita pada awal kemerdekaan, bahkan di awal Orba, adalah kelanjutan cara berpikir ekonomi zaman Belanda. Termasuk strukturnya tak berubah. Cara ini memang mengatur perdagangan yang tidak menitikberatkan ke value added (nilai tambah), tapi ke cost added (ongkos tambah). Cost added adalah perdagangan yang berakar sendiri, sedangkan value added datang dari in dustrialisasi atau pertanian. Hubungannya dengan pemerataan? Pada value added inilah bisa diberikan lapangan pekerjaan yang lebih besar. Dengan demikian bisa diharapkan ada pemerataan secara wajar tanpa pemberian sedekah. Saya lihat begitu. Saya sejak umur 18 tahun dibesarkan di lingkungan industri di Jerman, lalu masuk ke Indonesia ini dan membuat pesawat terbang. Jadi saya hanya mengenal nilai tambah, dan yang namanya ongkos tambah kalau bisa saya minimalkan. Di situlah konflik pertama saya dengan kawan-kawan yang lebih tua. Hal ini buat saya sangat prinsipil. Tapi saya tak mau berdialog karena saya akan menjadi korban dari meningkatnya oplah media Anda, dan itu tak menyelesaikan sesuatu. Jadi, Saudara, saya tak sebodoh yang diperkirakan orang. Maka, yang perlu kita buat adalah industri yang berat ke nilai tambah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus