Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Jejak-langkah dari malang sampai senayan

Gerak langkah bacharuddin yusuf habibie selama 19 tahun di kabinet mendampingi presiden suharto. tak hanya di sekitar teknologi, tapi juga politik. ia memiliki 26 jabatan. ia akan menjadi kandidat wapres.

10 Oktober 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BARANGKALI, Bacharuddin Jusuf Habibie adalah manusia Indonesia dengan jabatan terbanyak. Selain Menteri Negara Riset dan Teknologi, ada 25 jabatan lain yang disandangnya. Mencari tahu satu per satu jabatan itu saja sudah sulit. "Saya cuma bisa menemukan 22 jabatan beliau," kata Makmur Makka, Kepala Humas Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), yang sudah 14 tahun mendampingi Habibie dan menulis dua buku tentang orang pintar ini. Maklum, tak semua jabatan yang disandang Habibie berkaitan dengan BPPT atau teknologi. Misalnya, sebagai Ketua Badan Pengelola Harian RS Bersalin Harapan Kita. Pelan tapi pasti, anak kelahiran Pare-Pare, Sulawesi Selatan, pada 25 Juni 1936 ini, akhirnya tampil pula di pentas politik. Dalam daftar anggota DPR dan MPR yang baru disahkan Kamis pekan lalu, sebagai contoh, muncul sejumlah nama yang selama ini dikenal sangat dekat dengan Habibie. Dari BPPT, umpamanya, muncul Sahala Parlin Napitupulu (Wakil Ketua), Wardiman Djojonegoro (salah satu deputi), Marwah Daud Ibrahim (deputi), atau Rahardi Ramelan (deputi). Sejumlah pengurus teras Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang diketuainya juga melangkah masuk Senayan. Di antaranya, Watik Pratiknya, Ismail Suny, atau Soetjipto Wirosardjono. Masih ada sederet nama lagi di MPR dan DPR yang selama ini berada di sekeliling Habibie. Bahkan, yang membuat banyak orang kaget, John Ario Katili tiba-tiba diorbitkan menjadi Wakil Ketua DPR/MPR, kendati selama ini belum pernah menduduki jabatan politik seperti pengurus Golkar sekalipun. Ahli gempa ini adalah wakil Habibie di Dewan Riset Nasional. Peran Habibie diperkuat dengan hadirnya sejumlah staf BPPT di daftar utusan Golongan, mewakili unsur pemuda. Untuk ini Habibie punya jawaban. Hadirnya orang-orang BPPT itu, ujarnya, penting untuk membagi pengalaman mengkaji dan menerapkan teknologi dalam penyusunan GBHN nanti. "Jadi, kalau ada sepuluh dari seribu anggota MPR dari BPPT, apa salahnya?" kata Habibie kepada tim TEMPO pekan lalu (lihat "Saya Tak Sebodoh yang Dikira Orang ..."). Dan Habibie tampaknya akan terus sibuk berpolitik. Menjelang Sidang Umum pada Maret tahun depan, dia akan menduduki jabatan yang sangat strategis: Ketua Harian Dewan Pembina Golkar. Dialah yang akan sangat berperan dalam pemilihan presiden untuk masa jabatan 1993-1998. Golkar (dan tiga fraksi MPR lainnya) sudah mengumumkan akan mencalonkan kembali Jenderal (Purn.) Soeharto untuk jabatan presiden itu. Adalah Pak Harto juga yang menugasi Habibie untuk semua jabatannya tadi. "Beliau bilang, kamu jadi wakil ketua harian Dewan Pembina Golkar. Dibilang lagi, tahun depan kamu jadi ketua hariannya. Saya kira Pak Harto tak mau bikin eksperimen," kata Habibie. Kalau kepercayaan Pak Harto begitu besar, itu mungkin karena doktor pertama Indonesia di bidang aeronautika ini memang telah lama menjadi pembantunya. Dia membantu Pak Harto di kabinet sepanjang 19 tahun 4 bulan -- sampai Kabinet Pembangunan V berakhir tahun depan. Dari sini mencuat spekulasi bahwa Habibie akan menjadi kandidat wakil presiden mendatang, bersama sejumlah nama yang lain. Apalagi, seperti diungkapkan Habibie, Pak Harto sejak jauh-jauh hari memintanya untuk memper siapkan bangsa ini tinggal landas pada 1994 nanti, awal dimulainya Pembangunan Jangka Panjang tahap kedua. Suatu isyarat bahwa Habibie kelak akan menduduki sebuah pos penting. Ayunan langkah politik Habibie barangkali bisa ditandai dari Malang, ketika ICMI dilahirkan dua tahun lalu. Organisasi cendekiawan muslim itu pada mulanya mendapat sorotan tajam. Bahkan, ada yang mencurigai bahwa ICMI merupakan hasil rekayasa politik untuk memberi "akar" pada Habibie yang dianggap bukan tokoh Islam yang punya basis kuat di sini. "Sebetulnya untuk apa ICMI itu dibentuk. Islam di sini adalah mayoritas, jadi untuk apa panik. Ini sama seperti ada perkumpulan pemuda Surabaya di Kota Surabaya," kritik seorang pejabat tinggi ketika itu. Ketua Umum PDI Haji Soerjadi saat itu juga berujar, "Saya tak setuju. Organisasi itu bukan saja tak perlu, tapi mestinya tak boleh. Bukankah ini primordial." Ketua Umum PB NU Abdurrahman Wahid juga memilih berdiri di luar ICMI dan mengurusi "Islam yang di kaki lima". Toh Habibie pantang mundur. "Itu tak mudah. Kalau salah gerak, bukan hanya ICMI yang bubar, bisa-bisa bubar juga Republik Indonesia," kata ayah dua anak yang menunaikan ibadah haji pada 1984 ini. Diakuinya, dukungan Pak Harto sangat membantunya menjalankan kepemimpinan di ICMI. Sampai sekarang, tugas dari Pak Harto itu masih diembannya. Mengapa Habibie begitu dipercaya Pak Harto? Ini memang sejarah panjang di masa lalu. Pada tahun 1950, ketika Pak Harto menjabat Komandan Brigade Mataram untuk menumpas pemberontakan Andi Azis, markas Brigade Mataram persis berada di depan rumah keluarga Habibie di Jalan Klaperlaan, Makassar. Suatu malam, seperti ditulis dalam otobiografi Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, dua dari delapan anak keluarga Habibie datang ke markas sambil menangis. Ternyata, Alwi Habibie, kepala keluarga itu, mendapat serangan jantung dan akhirnya tak tertolong. "Beliau mengembuskan napas terakhir di depan saya. Saya berkesempatan menutupkan matanya sambil memohonkan ampun pada Tuhan Yang Maha Esa," tulis Pak Harto. Rudy -- begitu B.J. Habibie dipanggil oleh keluarganya -- di masa itu masih berusia 13 tahun. Setelah sang ayah wafat, Rudy meneruskan dan menamatkan SMA di Bandung, lantas dikirim sang ibu ke Jerman Barat (lihat Mister Crack dari Pare-Pare). Alkisah, pada tahun 1973, Ahmad Tirtosudiro, duta besar Indonesia untuk Jerman Barat, bertemu dengan Rudy di Bonn. Rudy saat itu sudah menyelesaikan gelar doktornya dari Rheinisch-Westfaliche Technische Hochshule di Aachen. "Saya melihat sorot matanya yang luar biasa dan saya kagum akan kepandaiannya," cerita Tirtosudiro pada TEMPO pekan lalu di Bandung. Dia kini adalah rektor Universitas Islam Bandung. Tirtosudiro juga mengenal Rudy sebagai aktivis Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) yang sangat pro-Orde Baru. Sekali waktu, Tirto ingin menjelaskan soal ak tivitas pembangunan di Indonesia. Rupanya, ada saja mahasiswa yang masih pro-Orde Lama. Sebagian dari mereka menolak menonton film pembangunan yang akan diputar. Acara nyaris kacau. Untung ada Rudy, yang dianggap senior di kalangan PPI, dan acara Tirto pun berlangsung aman. Rudy waktu itu telah menjabat wakil presiden Messer chmidt Bulkow Blohm (MBB), perusahaan pesawat terbesar Jerman. Gajinya sekitar Rp 10 juta. Namun, seperti ditulis Pak Harto dalam buku Setengah Abad Prof. Dr. Ing. B.J. Habibie, setelah Pak Harto menjabat presiden, Rudy rupanya telah mengirim surat untuk pulang ke Tanah Air. Bahkan, ketika Pak Harto berkunjung ke Bonn, Jerman Barat, pada 1970, Habibie konon mengulangi lagi permintaannya. Tapi Pak Harto minta Habibie menekuni dulu keahliannya. Pada tahun 1974, Ibnu Sutowo, yang masih berjaya sebagai orang pertama Pertamina, datang ke Jerman Barat. Inilah kesempatan Tirtosudiro untuk mempertemukan Rudy Habibie. Suatu pagi, perjumpaan itu berlangsung di kamar Ibnu di Hotel Hilton, Dusseldorf. Ibnu, yang masih berpiyama, rupanya segera jatuh hati pada Rudy dan menawarkan pada doktor berusia 38 tahun ini, apakah mau pulang ke Indonesia. Rupanya Ibnu memang sudah dipesan oleh Pak Harto untuk "menengok" Rudy. Menurut Tirtosudiro, kala itu Rudy minta Ibnu menyediakan US$ 2,5 juta untuk membangun sebuah in dustri pesawat terbang. "Hanya dalam waktu sepuluh menit Pak Ibnu setuju untuk memenuhi permintaan itu," ujar Tirtosudiro. Maka, mudiklah Rudy ke Jakarta pada 1974. Udara Jakarta tak begitu cerah. Maklum, Peristiwa Lima Belas Januari (Malari) baru saja membakar sebagian Jakarta. Dan pada 28 Januari itu Rudy diminta Pak Harto berkunjung ke rumah kediaman Presiden di Jalan Cendana. "Saya ingat betul, beliau bilang: Saudara Habibie boleh buat apa saja untuk pembangunan di sini. Cuma satu yang tidak boleh, membuat revolusi," kata Habibie pekan lalu. Malam itu juga Habibie mendapat tiga tugas penting: membangun industri pesawat terbang, memper siapkan BPPT, dan mendirikan Puspitek. Selanjutnya, Rudy diberi dua jabatan: penasihat teknologi Presiden RI dan Ketua Divisi Advanced Teknologi di Pertamina sebagai cikal bakal BPPT. Dan pada 1976, PT Nurtanio, industri pesawat terbang pertama di Indonesia, sudah beroperasi. Tantangan untuk Rudy pun datang bertubi-tubi. Dan bukan rahasia lagi, kalangan ekonom memang kurang sepaham dengan ide Rudy yang dianggap tak realistis dan mem buang duit. Bahkan, kemudian ada guyonan: Kalau ekonom itu rem, Habibie adalah gas -- dalam soal pemakaian dana negara. Toh sang "gas" ini tancap terus. Dan menurut dia, Industri Pesawat Terbang Nusantara (dulu PT Nurtanio) selama ini sudah berhasil menjual sekitar 300 pesawat terbang dan helikopter dengan investasi yang ditanam hanya sekitar US$ 1,2 milyar dalam 16 tahun. Adapun harga sebuah pesawat mencapai US$ 60 juta, yang sebagian besar dibeli oleh sejumlah BUMN. Maka, suatu hari tahun 1978, seusai melapor perkembangan industrinya, Habibie pamit akan ke luar negeri pada Pak Harto. Di luar dugaan, Pak Harto malah berkata keras, "Tidak bisa." Habibie kaget. Rupanya, itu cara Pak Harto menyampaikan kabar gembira: dia diangkat men jadi Menteri Negara Riset dan Teknologi. Sebelumnya, jabatan ini hanya bernama Menteri Negara Riset dan dijabat sebelumnya oleh Prof. Sumitro Djojohadikusumo dan Prof. Sudjono Djuned Pusponegoro. Sebuah jabatan yang hanya memberinya gaji Rp 250 ribu sebulan. Namun, dengan seizin Pak Harto, Rudy tetap menerima gaji dari MBB Jerman. Saat menjabat menteri riset dan teknologi ini pula Habibie langsung merangkap Ketua BPPT dan Puspitek, Ketua Otorita Pengembangan Pulau Batam, Dirut PT PAL, Dirut PT Pindad, Wakil Ketua Dewan Pembina Industri Strategis (DPIS) dan Industri Hankam, dan Ketua Dewan Riset Nasional. Sebuah kepercayaan yang tinggi dari Presiden. Toh jabatan dan pekerjaan untuk Habibie terus datang mengalir. Pada 1989, berdasarkan sebuah keputusan Presiden, Habibie diangkat sebagai Ketua Badan Pengelola Industri Strategis (BPIS). Dan ketika itu, tak kurang dari sepuluh BUMN langsung hinggap di pundak Habibie. Di antaranya, ada empat BUMN besar, yaitu PT Krakatau Steel, PT Boma Bisma Indra, PT Barata Indonesia, dan PT Industri Pesawat Terbang Nusantara. Selanjutnya, tahun lalu, Habibie termasuk satu di antara 27 pakar yang dilantik Presiden Soeharto dalam Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia. Ini adalah lembaga penting yang tugasnya mengembangkan ilmu dan teknologi. Dan memang, dengan sekian banyak beban di pundak ini, Habibie seperti tak ada tandingan di sini. Segudang penghargaan sudah pernah diterimanya. Yang terakhir, akhir September lalu di Beijing, Habibie menerima Theodore van Karman Award, sebuah penghargaan akan dedikasinya di bidang aeronautika yang hanya pernah diterima lima orang di dunia ini. Penghargaan itu diberikan dalam Kongres International Council of the Aeronautical Sciences. Tapi itu di bidang ilmu dan teknologi. Bagaimana di bidang politik? Habibie tertawa ketika pertanyaan ini dilontarkan. Dia jelaskan bahwa gelar sarjana sampai doktornya diselesaikan dalam waktu sepuluh tahun. Dengan pengalaman mendampingi Pak Harto -- yang disebutnya sebagai Profesor Soeharto karena merupakan guru terbaiknya -- 19 tahun lebih, Habibie yakin bahwa dia akan menyelesaikan "studi" politiknya itu tiga kali dan bukan tak mungkin dengan predikat summa cum laude. Gerak langkah Habibie pun bukan cuma di sekitar teknologi dan mesin pesawat. Ia menemui berbagai tokoh politik dan pemuka masyarakat. Habibie juga mengundang setiap tamunya mengunjungi IPTN, pabrik pesawat terbang kebanggaannya. Bahkan lima tahun lalu Habibie mengundang para perintis kemerdekaan untuk melihat pabrik pesawat terbangnya di Bandung. Seperti kepada setiap tamunya, terutama para kepala negara atau menteri negara lain yang berkunjung ke sini, Habibie sendiri yang mengantar rombongan dan memberikan pen jelasan seluk-beluk IPTN. Para perintis kemerdekaan yang sudah sepuh itu pun manggut-manggut dan berdecak mendengarkannya. Kans Habibie ke kursi wakil presiden jelas bukan tak ada. Toh angin bisa cepat berubah. Fraksi ABRI, sebagai contoh, kabarnya sedang menggodok tiga nama calon wakil presiden yang berusia antara 50-60 tahun. Entah nama Habibie masuk atau tidak. Sementara Ketua Golkar Wahono memberi aba-aba bahwa wakil presiden periode ini sebaiknya dari ABRI (lihat Nasional: Tinggal Menimang Wakil Presiden). Dan itu pun tak terlalu dipusingkan Rudy Habibie. Dia merasa tak pernah merekayasa, mengincar, atau mengejar kursi wakil presiden tadi. "Kalau saya berhenti, Insya Allah saya akan menjadi guru besar di ITB Bandung dan tak akan berhenti berpikir mencetak kader. Jadi, everything is clear?" Toriq Hadad, Indrawan, Iwan Q. Himawan, dan Ahmad Taufik

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus