Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Mosi dari vila cipayung

PPP guncang lagi. 18 tokoh pembangkang mengeluarkan mosi tidak percaya kepada Naro. Menuntut agar dilaksanakan muktamar luar biasa. Kubu Naro semakin terjegal oleh kubu Sudardji. (nas)

23 Maret 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RENCANA "pemberontakan" itu digodok di Cipayung, Bogor. Pada 10 Maret malam pekan lalu, berangkatlah mereka 18 orang tokoh pembangkang -- ke sebuah vila di Cipayung. Tujuan pertemuan:bagaimana cara terbaik, dan "teraman", menggulingkan kepemimpinan ketua umum DPP PPP J. Naro. Pemrakarsa pertemuan: Syarifwddin Harahap, anggota Majelis Pertimbangan Pwsat (MPP) PPP, yang pertama mengibarkan bendera perlawanan menentang Naro. "Kami berhubungan lewat telepon, lalu sepakat untuk berkumpul di Cipayung, sambil memperingati hari keramat lahirnya Swpersemar," kata Mwzaini Ramly, bekas ketwa DPW PPP Jakarta yang ikut dalam kelompok 18 tersebut pada Musthafa Helmy dari TEMPO. Tampaknya ke-18 orang itu ingin menumpang wibawa Supersemar. "Kalau 11 Maret 1966 melahirkan Orde Baru, pada 11 Maret 1985 kami bertekad untuk melahirkan PPP yang baru," kata Mwzaini, pemimpin sebwah pesantren di kediamannya, di Jalan Anyer, Jakarta Pusat. Sudardji, Achda, dan 16 tokoh yang mewakili - atau pernah mewakili beberapa DPW (dewan pimpinan wilayah) PPP dari beberapa daerah merupakan anggota kelompok 18 tersebut. Syah Manaf, ketua DPW Jakarta, didaulat memimpin pertemuan. Setelah menginap semalam di Cipayung, 11 Maret sore mereka semua kembali ke Jakarta. Esoknya, Sudardji menjemput Syah Manaf di rumahnya di Jalan Pattimura, Kebayoran Baru, untuk diajak ke DPR. Di sana telah menunggu para anggota kelompok 18 yang lain. Karena sedang reses, gedung DPR waktu itu agak sepi. Siang itu belasan wartawan yang biasa bertugas di DPR diajak ke ruang sidang F-PP di lantai IV gedung DPR, dan ditraktir makan siang oleh Sudardji. Agak lain dari biasanya, enam anggota satpam DPR. menjaga pintu ruang nomor 425 itu. Usai makan, konperensi pers dimulailah. Syah Manaf, 55, yang tampaknya dijagokan sebagai pimpinan oleh kelompok 18 orang itu, membuka acara. Pimpinan umum harian Pelita yang rambut dan kumisnya sudahmulai memutih ini dikenal aktif di NU Jakarta sejak 1950-an, dan dalam muktamar NU tahun lalu masuk dalam PB NU sebagai salah seorang ketua. Tiga keputusan pertemuan Cipayung dibacakan Sudardji. Pertama, tidak mempercayai lagi kepemimpinan J. Naro sebagai ketua umum DPP PPP. Kedua, dipandang perlu adanya suatu "pelaksana kepemimpinan" yang menjalankan tugas orgamsasi agar tubuh partai tidak mandek. Ketiga, mendesak diadakannya muktamar luar biasani PPP, "Sebagai sarana untuk melakukan perbaikan menyeluruh dan mendasar terhadap konstitusi, program, dan kepemimpinan partai." Sudardji, ketua fraksi PP yang dikenal suka bolak-balik menyeberang dari kubu Naro ke kubu Syarifuddin, mengakui bahwa tindakan mengeluarkan pernyataan sikap itu tidak ada dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga partai. "Memang ini merupakan ekstrakonstitusi," katanya. "Namun, tubuh PPP sekarang ini 'kan semrawut," tuturnya. Alasan keluarnya mosi tak percaya kepada Naro, antara lain, karena kepemimpinan Naro dianggap "tidak sesuai dengan demokrasi Pancasila". Selain itu, "mengabaikan prinsip musyawarah untuk mufakat", dan mencerminkan kepemimpinan sewenang-wenang serta otoriter. Semua ini tercakup dalam apa yang oleh 18 orang itu disebut sebagai "kesepakatan DPP dan DPW PPP tentang Pembangunan politik". Setumpuk kecaman juga ditudingkan ke muka Naro. Ke-18 penanda tangan pernyataan ItU, misalnya, menuduh muktamar PPP Agustus 1984 telah menghasilkan keputusan yang bertentangan dengan undangundang. Naro dinilai telah memberi tempat pada "oknum-oknum yang berwawasan dan bersikap fundamentalis". Sepuluh menit setelah konperensi pers usai, kubu Naro mengeluarkan tanggapan. Cepatnya reaksi itu, tampaknya, karena bersebelahan dengan kamar nomor 425 adalah ruangan sejumlah pendukung Naro. Beberapa pendukung Naro malahan ikut berdiri di pintu waktu konperensi pers berlangsung. Menurut pernyataan tertulis itu, acara Sudardji dkk. di luar tanggung jawab F-PP. "Pimpinan PPP tidak membenarkan penggunaan fasilitas fraksi untuk keperluan pribadi Sudardji yang tidak jelas itu," kata wakil ketua F-PP Effendi Somad dan wakil sekrctaris F-PP Ramli Nurhapi. Kutukan pun beramai-ramai dilontarkan ke kubu pemberontak. "Mereka itu orangorang frustrasi," kata sekjen DPP PPP Mardinsyah. Syarifuddin Harahap, kata Mardinsyah, kecewa karena dalam muktamar I PPP tidak memperoleh kursi wakil ketua bidang ekuin yang diharapkannya. Sedangkan Achda mendongkol karena cuma memperoleh pos wakil ketua departemen luar negeri, padahal yang diharapkannya kedudukan sekjen. Kepemimpinan Naro, kata Mardinsyah, mantap. Seluruh wilayah dan cabang telah memberikan dukungan kepada kepemimpinan Naro. Hingga pekan lalu telah ada 17 wilayah yang telah melakukan konperwil (konperensi-wilayah). Sikap Ridwan Saidi, ketua Departemen Organisasi, Keanggotaan, dan Pemilu DPP PPP, lebih keras. Menurut dia, ke-18 orang penandatangan kesepakatan itu tak berhak berbicara mengenai muktamar luar biasa karena bukan dari unsur DPC (dewan pimpinan cabang). Menurut anggaran dasar partai, yang berhak meminta musyawarah luar biasa memang DPC. Ridwan menilai Sudardji "orang yang bermuka tebal" karena tidak malu-malu setiap kali minta maaf. "Tapi kali ini dia sudah tak akan dimaafkan lagi. Pasti dia akan out, keluar seperti Syarifuddin dan Achda." Kalaupun diadakan muktamar luar biasa, kata Ridwan, "Naro pasti menang lagi." Ridwan tak lupa menyindir "hubungan erat". Syarifuddin, Achda, dan Sudardji dengan ketua SOKSI Suhardiman. "Silakan Sudardji masuk SOKSI," katanya ketus. Ridwan rupanya sangat gusar terhadap Sudardji. Keduanya, yang berasal dari unsur MI, tak berbicara satu sama lain sejak 11 Maret itu. Kamis pekan lalu Ridwan, bersama beberapa anggota F-PP dan wartawan, masuk ke ruangan Sudardji. Sebelumnya ia telah berpapasan dengan Sudardji yang keluar ruangannya. Dari meja Sudardji diambilnya sekotak kartu nama lalu dijatuhkannya lagi hingga berserakan di meja dan lantai. Sembari memakan kacang yang ada di meja Sudardji, ia membuang lagi sekotak kartu nama Sudardji-sambil mengejek bekas rekannya itu. Jumat pagi barulah Sudardji masuk ke ruang kerjanya. "Ternyata, ruangan saya sudah rapi seperti semula. Tapi saya sudah dilapori," katanya. Petugas sekretariat F-PP rupanya sudah membereskan ruangan itu. Kemudian ia menemui wakil ketua DPR Amir Murtono. Seusai pertemuan, kepada Agus Basri dari TEMPO Sudardji mengatakan, kelakuan Ridwan Saidi mengacak-acak ruangannya sudah keterlaluan. "Itu sudah termasuk tindakan kriminal. Makanya, akan saya laporkan kepada pimpinan dewan dan sekjen DPR," katanya bersemangat. "Insiden" itu bukan cuma satu-satunya buntut pertentangan dalam F-PP. Pekan lalu, tahu-tahu stempel F-PP yang biasanya ada di ruangan Sudardji "hilang", hingga Sudardji tidak bisa memakainya. Namun, dari kubu Naro keluar bantahan. "Siapa bilang stempel itu hilang? Stempel itu ada dan kami simpan untuk mengamankannya, agar tidak dipakai macam-macam," kata sumber tersebut. Kabarnya, stempel itu kini disimpan wakil sekretaris F-PP Ramli Nurhapi. Ketua umum PPP J. Naro, seperti biasa, mengelak bertemu dengan pers yang memburu tanggapannya. Dicegat wartawan setelah bertemu dengan Menteri Tenaga Kerja Sudomo di kantornya Rabu pekan lalu, Naro cuma menjawab singkat, "No Comment," tatkala diminta komentarnya atas mosi tidak percaya nada dirinya. Ketika berpidato selama kurang lebih 20 menit dalam upacara memperingati hari lahir PPP ke-12 yang diselenggarakan di Gelanggang Mahasiswa Kuningan 12 Maret malam lalu, tak sepatah pun ia menyenggol usaha Sudardji dkk. menjegal dirinya. "Setelah PPP menerima Pancasila sebagai asas tunggal, ada yang bertanya: bagaimana PPP sekarang. Saya jawab: PPP yang ada sekarang tidak berbeda dengan PPP yang pernah Anda kenal," kata Naro dalam sambutannya. Hadirin pun bertepuk tangan. Naro memang tampak tenang seperti biasanya. Kabarnya, pada banyak pimpinan PPP yang menanyakan perkembangan keadaan kepadanya, Naro tak mau banyak bicara. Ia cuma memberi petunjuk tentang tugas rutin. Pernah seorang bertanya langkah apa yang akan diambilnya untuk mengatasi keadaan sekarang. Naro, kata sebuah sumber, cuma menjawab "I know what I'll do" (Saya tahu apa yang akan saya lakukan). Banyak anak buahnya yakin, Naro masih punya kartu troef yang mampu mengatasi kesulitannya sekarang ini. Naro, 56, dikenal sebagai politikus yang berpengalaman. Bekas jaksa ini muncul dalam gelanggang politik sebagai wakil Al Washliyah, sebuah organisasi Islam yang bergerak di bidang pendidikan, sosial, dan dakwah, yang berpusat di Sumatera Utara. Lewat jalur itulah Naro masuk sebagai salah satu ketua ketika Parmusi dibentuk. Namanya bertambah tersohor setelah pada Oktober 1970, bersama Imran Kadir yang mewakili Al Ittihadiyah, ia mengambil alih kepemimpinan Parmusi dari tangan Djarnawi Hadikusumo. Djarnawi kemudian memecat Naro dan Imran, tapi keduanya segera membalas dengan memecat DPP yang lama. Pemerintah kemudian menengahi. Sejak terjun ke politik, Naro dikenal sebagai orang yang dekat dengan pemerintah. Banyak yang menganggap hal itulah yang menjadi kartu troef Naro. Benarkah Naro masih memiliki setumpuk kartu troef di kantungnya? Dan apakah kartu itu, seandainya masih ada, masih berharga sebagai troef? Telah enam tahun lebih Naro memimpin PPP, sejak pada akhir 1978 ia menerima jabatan ketua umum PPP dari Mintaredja, yang mewariskan kursi itu tanpa melalui musyawarah PPP. Berbagai gelombang pernah menyerang Naro, tapi kedudukannya tetap kuat. Bagai raja dalam permainan catur, ia selama ini tak tergoyahkan. Berma cam serangan yang mencoba menyerangny dipatahkannya. Menjelang Pemilu 1982, sewaktu penyusunan daftar calon, kelompok NU yang selama ini merupakan bagian mass terbesar PPP, "dilumpuhkannya". Dengan cerdik Naro memanfaatkan perpecahan antara kelompok ulama dan politikus dalam NU. Akibatnya, banyak tokoh NU tergeser dari daftar calon terpilih, sedangkan sebagian politikus NU bergabung dengan Naro Ini membuat pertentangan NU dan makin meruyak. Dalam muktamar I PPP Agustus 1984, NU malah makin terbantai. Dengan dingin Naro menyeleksi pesert muktamar dan cuma meloloskan merek yang jelas-jelas mendukungnya. Lebih dari seratus utusan daerah, yang sebagian besar dari NU, ditolak ikut muktamar. Akibatnya, dalam suatu pemilihan yang mulus dan makan waktu kurang dari lima menit, Naro terpilih sebagai ketua umum. Namun, ironisnya, ternyata, bermula dari muktamar Ancol itu pula kepemimpinan Naro digerogoti. Adalah Syarifuddin Harahap dan Tamam Achda. Syarifuddin berasal dari unsur Syarikat Islam, sedangkan Achda dari NU. Seperti juga Naro, kedudukan Syarifuddin sebagai pimpinan SI diraihnya setelah mengkup kepemimpinan M.A. Gani dan Gobel. Semula hubungannya dengan Naro sangat dekat, hingga pernah suatu saat ia dianggap sebagai juru bicara PPP. Entah kenapa, dalam susunan DPP PPP hasil muktamar I, Syarifuddin cuma mendapat jabatan anggota Majelis Pertimbangan Pusat (MPP). Menurut kubu Naro, ini membuat Syarifuddin kecewa, hingga mulai kasak-kusuk menyerang Naro. Ada yang menyebut alasan lain. Konon, Syarifuddin punya masalah serius dengan perusahaan asuransi PT Periscope. Syarifuddin termasuk salah seorang pendiri dan pemegang sahamnya. Pemegang saham terbesar lainnya adalah keluarga Almarhum Adam Malik. Kabarnya, akibat langkah Syarifuddin, ia diancam akan diadukan ke pengadilan dan dituntut mengembalikan uang sekitar Rp 1 milyar kepada Periscope. "Karena itulah Syarifuddin bermaksud mencari kredit point, mencari muka pada pemerintah, supaya kasusnya dengan Ny. Nelly Adam Malik tidak diajukan ke pengadilan," cerita Darussamin. Achda juga tidak puas dengan susunan DPP pimpinan Naro. Berdua mereka mulai menyerang kepemimpinan Naro. Dan itu dilakukan lewat kedudukan mereka dalam Panitia Khusus (Pansus) DPR yang membicarakan RUU Pemilu. Tatkala Naro menginstruksikan F-PP untuk mempertahankan tanda gambar Ka'bah, meski dengan voting, keduanya membangkang. Bersama Sudardji, ketiganya membuat manuver sehingga F-PP akhirnya menyetujui rancangan UU Pemilu. Kemelut pun terjadi. Ketiganya dituduh indisipliner. Namun, Sudardji akhirnya "diampuni" setelah meminta maaf. Tapi Syarifuddin dan Achda malah memperluas front. Keduanya menyiarkan adanya "pertentangan ideologis" antara mereka dan kelompok Naro. Panah mereka cukup tajam. Sasaran mereka tepat: keputusan muktamar I PPP ternyata banyak yang bertentangan dengan undang-undang yang berlaku. Misalnya pasal-pasal dalam AD/ART yang menyebutkan adanya anak cabang dan ranting PPP di tingkat desa dan kecamatan. Ini jelas bertentangan dengan ketentuan perundangan yang berdasarkan sistem massa mengambang. Mereka juga menuduh AD/ART dan khitah perjuangan PPP masih menyembunyikan asas Islam sekalipun secara resmi PPP telah menerima asas Pancasila. "PPP akan menjurus keluar dari sistem nasional. DPP PPP telah melakukan tindakan indisipliner terhadap keputusan MPR," tuduh mereka berulan kali. Mereka juga menuntut agar DPP PPP segera mengeluarkan pernyataan bahwa PPP partai terbuka, dan bukan lagi partai Islam. Tingkah keduanya membuat gusar Naro dan DPP PPP. Keduanya ditarik dari keanggotaan DPR. Namun, kali ini Naro salah perhitungan. Kedua pembangkang itu ternyata mendapat "pembela" yang kuat. Ketua DPR/MPR Amirmachmud mempersoalkan prosedur dan keabsahan partai merecall anggotanya. Tatkala DPP PPP mau mem-bypass pimpinan DPR dengan langsung menulis surat kepada Presiden, Naro terpukul lagi. Suratnya dikembalikan dengan alasan "salah alamat". Rencana penarikan Syarifuddin dan Achda pun macet. Keduanya makin merasa di atas angin. Mereka pun membentuk sebuah tim yang mereka namakan Tim Perbaikan dan Pengendalian Operasional Posisi Partai Persatuan Pembangunan (Tim P-6). Sebuah "buku putih" berjudul "PPP dalam Tatapan Hari Esok" mereka susun dan sebarluaskan. Sejumlah orang yang tidak puas dengan kepemimpinan Naro ikut bergabung. Naro tampaknya menyadari kesalahannya. Melalui suatu keputusan DPP PPP, ia mengeluarkan keputusan perubahan sementara AD/ART partai. Di situ semua istilah anak cabang dan ranting dicabut. Syarifuddin dan Achda kemudian berganti taktik. Jika semula mereka menggebu-gebu menyerang Naro, sering dengan kata kasar (misalnya Syarifuddin pernah menyebut Naro "gali politik"), kemudian mereka beralih sikap. Mereka tetap menuntut Naro mundur, tapi rencana semula untuk membuat DPP Tandingan, misalnya, mereka tinggalkan. Tampaknya mereka tahu, membentuk DPP tandingan cuma akan membuat pemerintah gusar. Mereka memperluas front sambil mendekati pihak pemerintah, yang memegan posisi menentukan. Akhirnya lahirlah pernyataanmosi tidak percaya 11 Maret itu. Buat pengamat yang jeli, sekalipun secara resmi pemerintah bersikap tidak mau mencampuri pertentangan PPP, dalam prakteknya belakangan ini tampak bahwa pemerintah makin condong ke pihak "pemberontak". Hal ini sebenarnya telah mulai kelihatan tatkala permintaan penarikan mundur keanggotaan DPR Syarifuddin dan Achda "dihalangi". Sebuah sumber menjelaskan, di mata pemerintah kini posisi Naro telah "jatuh". Kesalahan Naro terbesar adalah berusaha mempertahankan Ka'bah sebagai lambang partai meski Presiden Soeharto telah berulang kali - secara tidak langsung mengingatkan agar diganti. Selain itu, muktamar juga menelurkan anggaran dasar dan khitah perjuangan "yang masih berbau asas Islam". Alasan Naro bahwa hal itu "amanat muktamar" ditolak sumber ini. "Naro jelas menguasai muktamar. Mau tidak mau ia yang bertanggung jawab." Syarifuddin Harahap sendiri menyebutkan tiga "dosa" Naro. Pertama, AD/ART dan program partai yang tidak sesuai dengan undang-undang yang berlaku sekalipun sebelumnya ia telah diingatkan Sudardji dan Achda. Kedua, sikapnya yang berusaha mempertahankan tanda gambar Ka'bah selama pembicaraan mengenai RUU Pemilu. "Jelas, Naro ingin agar PPP tetap menjadi partai Islam dengan mempertahankan tanda gambar Ka'bah," ucap Syarifuddin. Ketiga, "Setelah diteliti dengan cermat, nyata bahwa Naro mau kembali ke Piagam Jakarta. Ini yang paling, berat," kata Syarifuddin. Benarkah Presiden pernah mengingatkan agar PPP tidak lagi memakai tanda gambar atau lambang Ka'bah? Senin malam pekan ini Sudardji bercerita panjang lebar kepada Achmad Lookman dari TEMPO. Muktamar I PPP berlangsung pada 19-22 Agustus 1984. Pada 30 Agustus pagi, para anggota DPP PPP lengkap diterima Presiden Soeharto di Bina Graha. Setelah mengucapkan selamat atas terselenggaranya muktamar, Presiden, yang menerima hasil keputusan muktamar, waktu itu mengomentari tanda gambar Ka'bah. Pada 1977, menjelang pemilu, tatkala rais am PPP Kiai Bisri Syansuri menemuinya, Kepala Negara telah memperingatkan agar PPP tidak memakai tanda gambar itu. Jawab Mbah Bisri, "Aduh, Pak Harto. Sudahlah, karena ini baru fusi, mohon Bapak mengizinkan penggunaan gambar Ka'bah ini." Pak Harto setuju. Untuk kedua kalinya Presiden mengingatkan hal yang sama menjelang pemilu 1982. Dalam pertemuan 30 Agustus 1984 itu, kata Sudardji, Presiden juga mengemukakan: lambang lebih ideologis dibanding tanda gambar. "Bapak Presiden kemudian mengatakan: kalau Saudara-Saudara masih menggunakan lambang dan tanda gambar Ka'bah, ojo nggolek molo (jangan mencari penyakit). Dan itu diulang tiga kali," tutur Sudardji. Kata Sudardji lagi, mengutip Presiden, "Lambang Ka'bah itu ternyata menyebabkan kursi yang diperoleh PPP turun. Lalu timbul keberingasan yang mengakibatkan korban pada pemilu 1982. Dan kalau PPP masih menggunakan lambang Ka'bah, kekuatan Orde Baru lain masih mencurigainya, jangan-jangan masih mempunyai keinginan mendirikan negara Islam" Kenali Negara mengatakan pula, agar merenungkan nasihatnya itu untuk masa lima tahun mendatang. Setelah pulang dari Bina Graha, para pengurus PPP berdiskusi. "Ternyata, teman-teman yang berasal dari Jawa menangkap ucapan presiden oo golek molo sebagai 'perintah'. Sedangkan yang tidak berasal dari Jawa menganggapnya tidak. Mereka menilai, lambang Ka'bah bisa dipakai lima tahun lagi," kata Sudardji. Mana yang benar? Sebuah sumber menjelaskan Presiden Soeharto memang sering berbicara secara tidak langsung. "Seharusnya mereka, pengurus PPP, tahu bahwa.Presiden tidak menghendaki lambang atau tanda gambar Ka'bah dipakai lagi. Selama lambang itu dipakai, masih ada kemungkinan dipertentangkannya agama dengan Pancasila," katanya. Naro dinilainya membuat blumder (kesalahan besar) dengan mempertahankan lambang Ka'bah. Ia menduga, Naro mungkin bermaksud merangkul massa PPP atau juga mempertahankan identitas partai. Mungkin sekali Naro memperkirakan cantolannya ke pemerintah cukup kuat untuk menjamin rencananya itu terlaksana. Rupanya, tidak. Beberapa indikasi memperkuat dugaan ini. Di beberapa daerah rencana Naro untuk memaksakan susunan pengurus yang diingininya gagal. Di Sumatera Utara dan Jawa Barat, misalnya, pemda dan penguasa setempat tampaknya memberi angin pada kelompok non-Naro. Sebuah sumber lain mengungkapkan, keinginan Naro selama beberapa bulan terakhir untuk menghadap Presiden Soeharto tidak dikabulkan. "Manuver politik Naro dianggap membahayakan. Ia bisa saja menghalalkan cara untuk mencapai tujuan," kata seorang pejabat. Salah seorang ketua PPP yang berasal dari NU, Zamroni, melihat PPP sekarang terbagi dalam tiga kelompok. Kelompok Naro merupakan kelompok pertama, yang masih mgin menarik perhatian umat Islam yang berorientasi ideologis, "Untuk mendapat dukungan," katanya. Yang kedua adalah kelompok Syarifuddin. Di samping keduanya, ada lagi kelompok yang menahan diri. Kelompok ini kebanyakan dan unsur NU. Menurut Zamroni, para tokoh tua NU telah meminta agar warga NU menahan diri dalam menghadapi kemelut ini. Bila NU benar menahan diri mengapa Syah Manaf malah tampil sebagai pimpinan kelompok Syarifuddin-Sudardji? Sehari setelah mosi tidak percaya kepada Naro ditandatangani, menurut sebuah sumber. Syah Manaf dipanggil ke rumah Kiai Masjkur di Jalan Imam Bonjol, Jakarta Pusat. Selasa malam itu, di sana telah menunggu Rais Am Kiai Achmad Siddiq, ketua PB Tanfidziyah NU Abdurrahman Wahid, dan Said Budairi. Dalam pertemuan selama dua jam itu Syah Manaf diminta memberi penjelasannya atas keikutsertaannya dalam kelompok Syarifuddin. Kabarnya, keikutsertaan Syah Manaf kemudian "direstui", dan malahan kemudian diperkuat dengan keputusan rapat PB NU Sabtu malam pekan lalu. Perkembangan terakhir tampaknya menguntungkan Syah Manaf dkk. "Sampai hari ini sudah 12 wilayah yang mendukung kami," kata Syah Manaf. Menurut dia, lebih dari separuh anggota F-PP di DPR kini ikut mendukungnya. Menurut Syah Manaf, selain dia, Syarifuddin, Sudardji, dan Achda merupakan pelaksana harian kepemimpinan. "Ini bukan DPP tandingan," katanya. Ia siap mengadakan muktamar luar biasa di Jakarta. Apakah muktamar luar biasa akan mungkin diselenggarakan? Tampaknya mungkin sekali. Beberapa orang malah telah menyebut Juli sebagai ancar-ancar waktu. Yang jelas pemerintah rupanya ingin agar semua kemelut kepartaian bisa dituntaskan dalam tahun ini juga sehingga tidak mempengaruhi persiapan Pemilu 1987. Yang mungkin dijadikan dalih penyelenggaraannya: penyesuaian dengan UU Parpol dan Golkar. Sejumlah pasal dalam UU tersebut mengharuskan parpol dan Golkar menyesuaikan AD/ART-nya dengan ketentuan UU tersebut. Karena AD/ART serta khitah perjuangan PPP agaknya masih memerlukan penyesuaian, diperlukanlah suatu muktamar luar biasa agar perubahan AD/ART itu dimungkinkan. Pada saat itulah kepemimpinan Naro bisa ditantang sesuai dengan prosedur yang legal. Senin pekan ini mendadak muncul beberapa daftar susunan DPP PPP yang berbeda, yang tidak jelas sumbernya. Salah satunya, yang dimuat Suara Karya, menyebutkan Syah Manaf sebagai ketua umum dan Syarifuddin Harahap sebagai sekjen. Versi lain menyebut ketua umum Syah Manaf dengan Ridwan Saidi sebagai sekjen. Sekjen PPP Mardinsyah menyebut kepengurusan baru itu "tindakan liar". Kata Mardinsyah dalam konperensi pers, "Sehubungan dengan desas-desus munculnya DPP tandingan itu, dengan ini kami umumkan bahwa 17 orang dari nama-nama 27 orang dalam susunan itu tak tahu menahu dan merasa tak dihubungi. Tujuh belas orang itu menolak." Tapi Syah Manaf sendiri juga heran. "Tidak pernah ada pembicaraan seperti itu, apalagi yang menJurus masalah susunan pengurus," katanya. Syarifuddin Harahap juga membantah. "Saya benar-benar tak tahu. Entah siapa yang membuat itu," katanya. Ia menduga penyebaran susunan DPP gelap itu dilakukan oleh orang yang tidak menginginkan perubahan drastis. Banyak dugaan, bila musyawarah luar biasa benar bisa berlangsung, kepemimpinan Naro akan runtuh. Syah Manaf diperkirakan belum tentu bisa menggantikannya, walau cukup banyak kalangan NU yang menginginkannya. Beberapa nama lain disebut-sebut. Salah satu di antaranya: Sulastomo. Sulastomo, 47, diduga cukup besar kansnya menggantikan Naro. Dokter lulusan FK UI 1964 ini pernah menjabat ketua umum HMI. Tatkala pada 1970 terjadi kup Naro atas kepemimpinan Parmusi yang diketuai Djarnawi Hadikusumo, Presiden kemudian menunjuk Mintaredja sebagai ketua umum dan Sulastomo sebagai sekjen. Kini bekerja di kantor Askes DKI Jakarta, Tom, nama panggilannya, masih sering menulis di beberapa media massa, antara lain Pelita. Ditemui Bambang Harymurti dari TEMPO di rumahnya pekan lalu, ia mengelak berbicara mengenai peluangnya menjabat ketua umum PPP. Tom menolak pendapat bahwa PPP bukan lagi penyalur aspirasi Islam setelah asas Islam dihilangkan. "Merumuskan apa aspirasi Islam itu sulit. Buktinya, sebelum fusi, ada empat partai Islam yang aspirasinya berbeda. Dengan menerima asas Pancasila, PPP bukan lagi agen tunggal aspirasi Islam. Monopoli itu dilepas hingga aspirasi Islam bisa disalurkan lewat Golkar dan PDI juga." Aspirasi Islam yang berbentuk ideologis, menurut pendapatnya, tak usah ditampung lagi. "Secara demokrat, saya beranggapan, semua pendapat harus didengar. Tapi sebagai nasionalis, saya lebih baik tegas: Jangan menolerir lagi alam pikiran yang bertentangan dengan Pancasila." Tanda gambar dan lambang Ka'bah? Jawab Tom, "Saya tak mengerti mengapa melepas asas begitu gampang, tapi melepas tanda gambar begitu sulit. Mestinya 'kan tak usah dipersoalkan. Tanda gambar itu dulunya 'kan mencerminkan asas Islam." Susanto Pudjomartono BOKS I BARISAN NARO JAELANI NARO Biasa dipanggil John Naro, 55, pernah diangkat menjadi anggota F-KP di DPR-GR mewakili KASI (Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia) pada 1968. John yang berasal dari Solok, Sum-Bar, ini dianggap politikus yang lihai, berani, dan sering bertindak otoriter. Namanya mencuat tatkala mengambil alih kepemimpinan Parmusi yang berada di bawah Djarnawi Hadikusumo. Tatkala Mintaredja mundur sebagai ketua PPP pada 1978, tanpa musyawarah ia menunjuk Naro sebagai penggantinya. Dalam muktamar I PPP Agustus 1934 di Ancol, yang dikuasai kelompoknya, secara aklamasi ia terpilih sebagai ketua umum. MARDINSYAH Sarjana biologi UGM tahun 1967, terpilih sebagai anggota DPR dari F-PP sejak 1982. Sebagai anggota parlemen ia tak menonjol. Semua kaget, termasuk Mardinsyah sendiri, tatkala ia ditunjuk Naro sebagai sekjen PPP. Tokoh pendiam yang kini berusia 45 ini cukup terbuka kepada pers walau sikapnya sangat hati-hati. RIDWAN SAIDI Bekas ketua umum HMI, lulusan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI ini warga Jakarta asli. Rajin menulis dan berbicara dalam berbagai diskusi, Ridwan, 43, yang dalam DPP PPP saat ini menjabat ketua Departemen Organisasi, Keanggotaan, dan Pemilu, belakangan ini sering tampak emosional tatkala kepemimpinan Naro diserang. DARUSSAMIN Bekas guru SMA, bekas pegawai Departemen Agama, dan hingga sekarang dikenal sebagai mubalig. Pria pendek gemuk yang berdahi lebar ini juga cukup dikenal banyak wartawan. Darussamin, 55, pernah ikut memimpin harian Pelita. Ada yang menjulukinya "'buldozer" Naro karena sering bertindak sebagai pembuka jalan bagi pelaksana kebijaksanaan Naro. BOKS II BARISAN DARDJI SUDARDJI Ketua F-PP, anak mantri pasar kelahiran Banyuwangi, Ja-Tim. Ada yang menjulukinya "belut putih" karena sikapnya yang "licin". Lulusan Fakultas Ekonomi UGM ini memang dikenal sering berubah sikap. Ia menyerang Naro, lalu minta maaf, kemudian berbalik mengecam Syarifuddin Harahap. Mendadak ia berbalik, masuk kubu Syarifuddin dan menohok Naro. Bertubuh agak pendek, Sudardji, 47, yang lantang dan ngotot berbicara ini, semasa mahasiswa aktif di HMI. SYARIFUDDIN HARAHAP Biasa menyebut dirinya Bang Pudin. Ia muncul dalam kepemimpinan Syarikat Islam setelah mengkup M.A. Gani dan T.H.M. Gobel pada 1982. Anak Medan lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Sriwijaya ini semula dikenal sangat dekat dengan Naro. Banyak yang menyebut alasan perceraiannya dengan Naro karena kecewa: Syarifuddin, 45, ia tak terpilih sebagai salah satu ketua dalam muktamar I PPP tahun lalu. BADRUT TAMAM ACDA Mulai beken namanya sejak ia memberontak melawan kepemimpinan Naro. Aktivis HMI yang kemudian masuk NU ini kelahiran Nganjuk, Ja-Tim. Setelah lulus dari Fakultas Sospol Universitas Nasional pada 1984, kini ia tengah mengikuti program Pasca-Sarjana di universitas yang sama. Lincah, pintar bergaul, Tamam, 34, yang menjabat wakil ketua Departemen Luar Negeri DPP PPP ini dikenal selalu ingin maju dan ambisius. SYAH MANAF Salah satu ketua PB NU, dan orang NU kedua, setelah Tamam, yang secara terbuka menentang kepemimpinan Naro. Pria asli Jakarta yang menjabat ketua DPW PPP Jakarta sejak 1970-an ini dikenal sebagai pengusaha kaya, hingga ada yang menjulukinya "Raja Betawi". Ia mengaku baru bergabung dengan kelompok Syarifuddin sejak 11 Maret dan langsung didukung sebagai pimpinan. Saat ini Manaf, SS, juga menjabat pemimpin umum koran Pelita.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus