Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyebut ada sisi plus dan minus dari Rancangan Undang-Undang atau RUU Cipta Kerja. RUU itu hingga kini masih dibahas Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
"Berdasarkan arah pembentukan RUU Cipta Kerja sebagaimana diuraikan di atas, maka ditarik beberapa kemaslahatan yang dimaksudkan dalam pembentukan RUU," demikian pernyataan yang Tempo kutip dari siaran pers resmi MUI pada Sabtu, 4 Juli 2020.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Menurut MUI, dampak positif dari aturan omnibus law ini adalah fleksibilitas dan efesiensi birokrasi pemerintah pusat dalam menyelesaikan permasalahan. Selain itu, mereka melihat ada potensi penyerapan tenaga kerja dan penciptaan lapangan kerja baru.
Kemudian ada penyederhanaan kewenangan menteri sehingga ada penurunan jumlah peraturan menteri yang saat ini dipersoalkan. Sisi positif lain adalah pemangkasan izin yang masif dalam RUU Cipta Kerja membawa perubahan semakin mudah dan murahnya dalam berinvestasi.
Lalu memberikan kepastian hukum khususnya dalam proses pengurusan perizinan berusaha, dibandingkan aturan lain. Kemudian, kepastian hukum perlindungan hak masyarakat adat atas tanah ulayat. Terakhir peningkatan partisipasi masyarakat dalam sektor-sektor usaha yang ditentukan.
MUI juga menyebut ada dampak negatif dari RUU ini...
Sementara itu untuk dampak negatifnya, MUI melihat daerah akan resisten karena kewenangan mengatur menjadi harus berdasarkan delegasi Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Presiden (Perpres). MUI melihat hal ini akan menghambat fleksibilitas daerah.
Selain itu, akan ada potensi penurunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dikarenakan pemangkasan kewenangan Pemerintah Daerah. MUI juga melihat beban yang berlebihan pada Peraturan Pemerintah (PP) dalam mengatur teknis operasional RUU Cipta Kerja.
Kemudian, terdapat beberapa norma yang berpotensi diuji di Mahkamah Konstitusi (MK) karena perubahan paradigma yang bertentangan dengan konstitusi. Selain itu, tidak semua tindakan pemerintahan yang tidak berkaitan dengan perizinan harus menjadi kewenangan Pemerintah Pusat, melainkan tetap saja menjadi kewenangan Menteri, mengingat jabatan Menteri adalah Pejabat Eksekutif tertinggi dibidangnya.
Untuk itu, Dewan Pengurus MUI Pusat berpandangan bahwa RUU Cipta Kerja harus benar-benar diarahkan untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur lahir dan batin.