ADA 13 nama wartawan asing yang tanggal dari daftar hitam imigrasi pekan lalu. Mereka kini diizinkan kembali memasuki wilayah Indonesia untuk melakukan tugas jurnalistik. "Permintaan ini datang dari Bakin dan Mabes ABRI," kata Dirjen Imigrasi Rony Sikap Sinuraya tanpa bersedia menjelaskan latar belakangnya. Rony menolak pula menyebut nama ke-13 wartawan itu. Sebelumnya ada 27 nama wartawan asing yang dimasukkan daftar cekal. Mereka berasal dari Amerika, Australia, Inggris, Hong Kong, dan Jepang. Menurut kabar, "rehabilitasi" 13 dari 27 nama itu berhubungan dengan niat Indonesia untuk menggemakan KTT Nonblok September mendatang di Jakarta. KTT Nonblok itu sendiri kabarnya akan diliput sekitar dua ribu wartawan dari pelbagai penjuru dunia. Kriteria pencekalan atau rehabilitasi itu selama ini memang jarang dibuka untuk umum. Yang jelas, wartawan-wartawan yang dianggap sangat anti pemerintah Indonesia masih dalam daftar hitam. Di antara mereka terdapat nama Lindsay Edmund Murdoch, wartawan surat kabar The Age, Australia. Pena Murdoch ini memang dikenal tajam dan subyektif dalam mengulas Indonesia, terutama kalau menyangkut urusan Timor Timur. Kasus pencekalan wartawan asing itu paling sering menimpa pers Australia. Yang paling baru menimpa Lindsay E. Murdoch itu. Dia baru tahu kena cekal setelah gagal mengurus visa masuk Indonesia Desember lalu. Padahal dia mempunyai rencana meliput kunjungan PM Australia Gareth Evans ke Jakarta. Permohonan visanya, lewat KBRI di Australia dan Singapura, ditolak. Peristiwa serupa menimpa Jill Jollifee, wartawan lepas asal Australia yang mangkal di Lisabon. Dia ditampik masuk ke Indonesia untuk menyertai kunjungan Parlemen Portugal ke Timor Timur. Peristiwa ini kemudian dijadikan dalih oleh Parlemen Portugal itu membatalkan kunjungannya ke Dili tahun lalu. Nasib sial itu dialami pula oleh wartawan Radio ABC, Warwick Beutler, Juli 1980. Dia diusir dari Jakarta, dan dicekal. Gara-garanya dia dianggap memojokkan Indonesia dalam soal Tim Tim. Lalu, David Jennkins masuk ke daftar hitam imigrasi April 1986. Tulisannya di koran The Sydney Morning Herald dinilai menyinggung pribadi Presiden Soeharto. PTH
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini