BEL elektronik mengalunkan Romance-nya Beethoven. Bu Guru Sundari memasuki ruangan kelas III SMPN I Yogyakarta. Ia menggambar Pulau Bali, Lombok, dan Sumbawa di papan tulis dengan kapur. Ia mulai berceloteh, "Anak-anak, di Pulau Bali terdapat sebuah gunung yang berdanau. Apa namanya." Serentak siswa-siswa itu menjawab, "Gunung Batur." Betul. Seorang murid lantas dimintanya maju ke depan untuk memberi tanda di mana Gunung Batur itu. Setelah itu, bu guru bercerita dengan lancar bagaimana keadaan Pulau.,Bali. Ia juga menyinggung potensi alam dan sedikit adat-istiadat. Lalu masuk ke persoalan. "Kalau kalian mau ke Bali. tentunya melewati laut di antaraPulau Jawa dan Pulau Bali. Selat apa namanya?" Sebagian murid menyebut Selat Jawa, sebagian lagi Selat Bali. Malah ada yang menyebutkan Selat Lombok. Agaknya, banyak siswa kelas III SMP yang tak menguasai peta buta Indonesia, pelajaran yang semestinya sudah didapatnya d sekolah dasar. Dan ketika Bu Sundari mengajak murid-muridnya bertamasya lebih jauh ke timur menuju Lombok dan Sumbawa, Romance-nya Beethoven terdengar kembali. Inilah tanda pergantian jam pelajaran. Alumnus IKIP Yogya Jurusan Geografi ini meninggalkan ruangan kelas. Geografi di SMP hanya diberikan satu jam pelajaran dalam seminggu. Mata pelajaran ini berada dalam satu paket bidang studi IPS yang isinya sejarah, ekonomi, dan geografi. Akhirnya tidak semua guru IPS itu punya latar belakang pendidikan geografi. Dalam seminar Peningkatan Kualitas Pengajaran Geografi yang diselenggarakan IKIP Semarang dan Ikatan Geografi Indonesia di Semarang, dua pekan lalu, terungkap bahwa pelajaran geografi di sekolah lanjutan sangat menyedihkan. Dalam seminar ini, Lilie Nindyawati, lulusan Jurusan Geografi Eakultas Pendidikan IKIP Semarang, menyampaikan hasil penelitiannya tentang pelajaran geografi di beberapa SMP di Semarang. Ditemukan bahwa 97% siswa sekolah menengah itu tak dapat menggambar peta lingkungannya. Sedikit saja yang bisa menuangkan dalam peta arah timur laut tenggara, barat laut, dan barat daya. Penelitian Lilie ini diperkuat dari laporan di beberapa daerah. Misalnya, tidak terlalu aneh jika murid SMP di Surabaya tidak tahu letak Gunung Argopuro di peta buta Jawa Timur. Banyak sebab yang melatarbelakangi lemahnya penguasaan geografi. Selain jam pelajarannya yang sempit dan guru yang tak berbekal ilmu geografi, mata pelajaran ini dari SD sampai SMTA tidak berkesinambungan. Karena itulah, menurut Dr. Nursid Sumaatmadja, untuk memperbaiki mutu tak ada jalan lain kecuali mata pelajaran geografi itu harus berdiri sendiri. Diakuinya, berdasarkan Kurikulum 1984, memang pelajaran geografi sudah mandiri di SMTA. Tapi tidak di SMTP. Kalau geografi tetap dijadikan bagian dari IPS, kata dosen IKIP Bandung ini, nasib geografi akan tetap merana. Sebab, katanya, kalau pengajar geografi itu berlatar belakang ekonomi, pasti pelajaran itu lebih berat ke ekonomi. Kalau pengajarnya berpendidikan sejarah, yang diajarkan berat ke sejarah. Dan guru semacam inilah yang oleh pakar geografi Prof. Dr. I Made Sandy disebut, "guru-guru geografi karbitan" Bukannya lulusan geografi yang kurang, tapi minat mereka menjadi guru yang jarang. Ketua Jurusan Geografi MIPA-UI ini mengimbau agar sarjana-sarjana geografi terjun ke dunia pendidikan. Ada yang mempermasalahkan cara mengajar. Cara bercerita yang memikat sebagaimana dilakukan Dra. Sundari di SMPN I Yogya dinilai baik oleh Prof. Bintarto, Dekan Fakultas Geografi UGM. Tapi ia tetap berpendapat bahwa cara mengajar ilmu geografi seharusnya lebih banyak outdoor study, bukan indoor study. Maksudnya, para siswa diajak ke suatu lokasi tertentu. Pulangnya diminta menuliskan laporan perjalanannya, lengkap dengan peta rute perjalanan itu. Ini membutuhkan banyak waktu. Persoalannya, sejauh mana guru itu bersedia menyediakan waktunya di luar sekolah. "Itulah kuncinya," kata Bintarto. "Sayangnya, study tour sekarang ini lebih berkesan plesir dan hura-hura." Bukannya tak ada kelemahan yang lain lagi. Buku pegangan pelajaran geografi dinilai runyam oleh Ketua Jurusan Geografi IKIP Surabaya, Dr. Soeparmo. "Banyak buku geografi yang ditulis oleh orang yang bukan ahlinya," kata Soeparmo. Lepas dari segala kekurangan itu, pelajaran geografi ternyata dianggap kurang penting. "Soalnya, ya, hanya menjadi subbagian dari IPS," kata Sigit, guru SMPN 2 Surabaya. "Oran memandang geografi dengan sebelah mata," ini kata Drs. Maringan Sirait, dosen IKIP Medan. Mengapa? Pelajaran geografi tidak menjanjikan masa depan seperti halnya pelajaran kimia, fisika, atau biologi. Akibatnya murid sering menjadi tah peduli jika geografinya mendapat nilai rendah. Seminar geografi di Semarang itu - sebenarnya ke lanjutan dari seminar yang diselenggarakan UI tahun lalu -- selain mencatat kasus-kasus tadi juga menyimpulkan perlunya perbaikan kurikulum, sehingga pelajaran Geografi berkesinambungan dari sekolah dasar hingga sekolah menengah. Yang penting juga tersedianya peta sebagai alat peraga. Tidak hanya peta topografi, tapi juga peta situasi. Yang mencolok tentu saja kelangkaan guru geografi. Untuk itu, IKIP sudah menjajaki program D3 yang mendidik guru geografi untuk sekolah menengah. Kekurangan guru ini diakui oleh Direktur Pendidikan Menengah Umum Departemen P dan K Winarno Hami Seno. Begitu pula soal buku "Memang banyak buku geografi yang sudal tidak faktual lagi." Tapi, dalam hal kurikulum, menurut Winarno, tak ada yang salah Metodologi pengajaran sesuai dengan Kurikulum 1984 bersifat spiral, artinya pada setiap jenjang diberi semua materi yang ada hanya pendalaman yang berbeda. Tapi, sejauh mana ilmu ini penting Menurut Nursid Sumaatmadja, pakar geografi di Bandung itu, tanpa menguasai ilmu geografi, orang tak berminat mendengarkan berita radio atau televisi, karena tak bisa membayangkan tempat yang jadi berita itu ini contoh paling mudah. Agus Basri dan biro-biro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini