Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Partai Buruh Nilai Tidak Perlu Revisi UU Pemilu soal Syarat Pencalonan Presiden

Partai Buruh menilai ruang mengubah aturan pencalonan presiden dibuka MK dalam konteks mengantisipasi jumlah capres yang terlalu banyak.

8 Januari 2025 | 14.08 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad usai beraudiensi dengan Menteri Hukum Supratman Andi Agtas dan Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia Said Iqbal di kompleks Parlemen Senayan, Jakarta pada Rabu, 6 November 2024. Pertemuan itu membahas soal aturan pengupahan pasca putusan MK. Tempo/Novali Panji

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Tim Khusus Pemenangan Partai Buruh Said Salahudin mengatakan ide mengubah aturan pencalonan presiden dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemlihan Umum (UU Pemilu) tidak tepat. Sebab, tidak ada perintah MK untuk merevisi aturan pencalonan presiden oleh partai politik. Tidak ada pula terjadinya kekosongan hukum akibat putusan tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Tidak ada urgensi mengubah aturan pencalonan presiden dalam UU Pemilu pasca-putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 62/PUU-XXII/2024. Tetapi UU Pemilu memang harus diubah untuk merevisi aturan lain yang tidak demokratis,” kata Said dalam keterangan resmi, Rabu, 8 Januari 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Said, ketika MK mengatakan Pasal 222 UU Pemilu yang mengatur presidential threshold inkonstitusional, maka tidak ada tafsir lain. Tafsir MK yang seharusnya yakni semua partai politik yang nantinya ditetapkan sebagai peserta Pemilu 2029 boleh mengusulkan capres-cawapres dengan cara berkoalisi atau tanpa koalisi.

“Ini sudah sangat clear. Tentang keberadaan Pasal 222, sudah mati dia. Tidak berlaku lagi. Ketidakberlakuan norma tersebut juga sama sekali tidak berdampak pada pengaturan lain dalam UU Pemilu. Jadi apa yang perlu direvisi?” kata Said.

Menurut Said, gagasan mengubah aturan pencalonan presiden didasari pada pertimbangan MK soal rekayasa konstitusional (constitutional engineering), itu juga keliru. Perubahan aturan pencalonan presiden yang dibuka ruangnya oleh MK dan rekayasan konstitusional yang disebutkan MK, itu seharusnya didudukkan dalam dua konteks yang berbeda 

Menurut Said, ruang mengubah aturan pencalonan presiden dibuka MK dalam konteks mengantisipasi jumlah capres yang terlalu banyak. Dalam putusannya MK mengatakan bila mau merevisi aturan pencalonan, pembentuk undang-undang dapat mengatur agar tidak muncul pasangan calon presiden dan wakil presiden dengan jumlah yang terlalu banyak. 

Dari rumusan itu, Said mengatakan, MK hanya memberikan opsi mengenai revisi aturan pencalonan yang ditunjukan dengan kata "dapat" atau bersifat fakultatif. “Jadi itu bukan perintah yang bersifat imperatif,” kata Said.

Menurut Said pula, rekayasa konstitusional yang disebutkan MK dalam konteks memagari pembentuk undang-undang agar apabila merevisi UU Pemilu, harus mematuhi rambu-rambu yang telah ditetapkan MK.

Pembatasan yang dibuat MK meliputi larangan membuat aturan yang membatasi hak parpol peserta pemilu untuk mengusulkan capres-cawapres, larangan membuat syarat threshold dan larangan membuat aturan yang membuka ruang dominasi parpol sehingga menyebabkan terbatasnya jumlah paslon. 

Lalu ada juga pedoman bahwa apabila hendak melakukan revisi, maka perubahan dimaksud wajib melibatkan semua parpol dan masyarakat dalam bentuk partisipasi yang bermakna (meaningful participaton).

Karena itu, Said menilai tidak ada urgensi untuk mengubah syarat pencalonan presiden dalam UU Pemilu pasca-putusan MK. Said khawatir, apabila isu mengenai syarat pencalonan presiden dibahas di DPR, maka akan muncul ide-ide liar dari parpol di Senayan untuk tetap membatasi hak parpol dalam memunculkan capres alternatif.

Seperti diketahui, MK mengabulkan perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024 yang menguji Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang berkaitan dengan syarat persentase presidential threshold pada Kamis, 2 Januari 2025.

Dalam pertimbangannya, Wakil Ketua Mahkamah Saldi Isra mengatakan syarat presidential threshold berapa pun besaran persentasenya adalah bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

Menurut Mahkamah, mempertahankan ketentuan ambang batas tersebut hanya akan memberikan dampak terbatasnya calon presiden dan wakil presiden yang bisa diusulkan. Apabila dibiarkan, kemungkinan potensi pemilu diikuti calon tunggal juga amat besar.

Adil Al Hasan berkontribusi dalam tulisan ini.

Hendrik Yaputra

Hendrik Yaputra

Bergabung dengan Tempo pada 2023. Lulusan Universitas Negeri Jakarta ini banyak meliput isu pendidikan dan konflik agraria.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus