Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Pembunuhan Berantai di Bumi Osing

Banyuwangi geger. Lebih dari 100 orang tewas gara-gara isu santet. Kecurigaan merembes ke mana-mana.

12 Oktober 1998 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tragis. Ketika harga sembilan bahan pokok melambung, harga nyawa manusia justru terjun bebas. Setidaknya kondisi ini terjadi di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Sampai Oktober ini, sudah lebih dari 100 orang tewas terbunuh. Para korban itu dihabisi dengan tuduhan berprofesi sebagai dukun santet.

Masyarakat pun terguncang. Padahal, ketika kasus ini mulai terangkat ke pentas nasional di awal tahun, sambutan publik dingin-dingin saja. Maklum, ini bukan yang pertama. Apalagi dunia klenik seolah lekat dengan kehidupan Osing, sebutan khas untuk masyarakat Banyuwangi. Namun, reaksi berubah ketika angka korban membengkak dahsyat. Pada September, tercatat 71 nyawa melayang. Selain itu, ternyata tidak semua korban adalah dukun, apalagi dukun santet. Bahkan, beberapa korban justru guru mengaji.

Lagi pula pembunuhan berantai ini berlainan polanya dengan pembunuhan terhadap orang yang diduga sebagai dukun santet pada waktu-waktu sebelumnya. Pada pola lama, yang menjadi algojo kebanyakan tetangga korban sendiri. Kali ini, para pelaku tidak dikenal karena terdiri atas gerombolan bertopeng yang bergerak ala ninja. Mereka biasanya datang dengan tiga buah truk.

Akibatnya, saat ini, suasana di bekas Kerajaan Blambangan itu menjadi sangat mencekam. Di sepanjang mulut jalan, pada malam hari, penduduk berjaga-jaga dengan senjata tajam terhunus. Malangnya, kewaspadaan ini justru menjatuhkan korban baru. Sebuah mobil berpelat nomor B hancur dihantam massa karena diduga mengangkut ninja. Paimin, seorang penderes air nira, nyaris celaka sebelum diselamatkan polisi hanya karena berpakaian compang-camping. Wiroso, pemain biola penduduk Genteng Wetan, tidak seberuntung itu. Wiroso babak belur dihajar massa dan sudah hampir mati ketika dilarikan ke rumah sakit. Tuduhan yang disampirkan ke Wiroso adalah penyebar pamflet Gantung (Gerakan Antitenung).

Mulyanto, tokoh pemuda Genteng Wetan yang menggerakkan massa, mempunyai alasan atas tindakannya terhadap Wiroso. Menurut Mulyanto, Wiroso sering mengadakan rapat gelap. "Latihan musik kok tidak ada suaranya. Itu kan mencurigakan," ujar Mulyanto. Selain itu, lagi-lagi menurut Mulyanto, di rumah Wiroso ditemukan denah yang berisi nomor-nomor rumah penduduk yang akan dijadikan korban. Namun, ketika ditanyakan seperti apa denah tersebut, Mulyanto dengan enteng mengelak, "Denah itu dibawa teman saya."

Sikap seperti ini bukan monopoli Mulyanto. Kelambanan aparat dituding sebagai salah satu penyebabnya. Namun, anggapan ini ditepis oleh Bupati Banyuwangi Turyono Purnomo Sidik. Turyono yang telah dituntut mundur ini menyatakan bahwa kondisi di Banyuwangi tidaklah sederhana. Menurut Turyono, aparat dalam bertugas tidak mendapat dukungan karena memang ada anggota masyarakat yang ingin agar dukun santet dibasmi.

Turyono tidak mengada-ada. Pada 1995, sebagaimana ditulis Forum Keadilan, gerakan yang sama telah menewaskan sedikitnya 30 orang. Saat itu, bendera yang dikibarkan adalah Gerakan Penyapu Dukun Santet. Tentu saja keberadaan organisasi ini dibantah aparat. Korban juga bisa jatuh hanya gara-gara hal sepele. Seseorang yang pernah dipergoki sedang mbangkang alias bertelanjang bulat di alam terbuka, tak peduli kapan dan untuk sebab apa, bisa menemui ajal atas tuduhan tetangga yang tidak senang. Sepintas kejadian ini spontan. Namun, dua anggota Fraksi Persatuan Pembangunan DPRD Banyuwangi saat itu, Abu Mansyur dan Abdul Aziz, menduga yang terjadi justru "premanisme politik". Alasannya, sebagian besar korban adalah kader yang potensial dari partai berlambang bintang tersebut.

Berulangnya tragedi ini tak pelak mengundang spekulasi gencar tentang apa yang sebenarnya terjadi di belakang peristiwa menyedihkan ini. Aparat keamanan berkesan sangat hati-hati dalam memberikan keterangan. Panglima ABRI Jenderal Wiranto pernah menyatakan tidak tertutup kemungkinan adanya motif politis. Kepala Kepolisian RI Letjen Roesmanhadi pun seperti menyetujui dengan menyebutkan indikasi keterlibatan orang komunis karena salah seorang yang tertangkap sebagai tersangka pembunuhan adalah bekas tahanan politik eks anggota PKI. Asumsi ini berdasarkan pada sejarah Banyuwangi yang pernah menjadi basis PKI pada 1960-an. Namun, Kepala Dinas Penerangan Polri Brigjen Polisi Togar Sianipar, pada keterangan persnya yang terakhir, tegas berujar bahwa yang terjadi adalah kriminal murni.

Di masyarakat sendiri, banyak yang meragukan peristiwa ini tergolong tindak kriminal murni biasa. "Pembunuhan dukun santet hanyalah starting point," ujar Ketua Gerakan Pemuda Anshor Andi Jamaro Dulung. Menurut Andi, dari temuan tim yang dibentuk Anshor di lapangan, yang diincar sebetulnya adalah para tokoh agama Islam. Bahkan, Andi menyatakan, bila aparat sudah tidak mampu, pihaknya tidak akan segan-segan lagi menerapkan hukum qisas. "Pembunuh harus dibunuh," kata Andi.

Sementara Andi bersemangat, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Abdurrahman Wahid justru kalem. Tokoh yang akrab dipanggil Gus Dur ini masih percaya kepada aparat sehingga tidak akan menggerakkan massa. "Kita punya hukum. Ini kan bukan hutan," kata Gus Dur. Lebih lanjut, ia juga menolak bila kejadian ini dikaitkan dengan kabar pertentangan NU dengan organisasi massa Islam lainnya. "Tidak ada bukti-bukti ke arah sana," ujarnya.

Ketua Partai Amanat Nasional Amien Rais menduga ada skenario yang sangat jauh. "Peristiwa ini adalah kenekatan yang luar bisa, jadi bila dianggap biasa-biasa saja, boleh jadi kita akan panen kejadian yang lebih dahsyat di berbagai tempat," kata Amien. Ia mengaku masih gelap tentang skenario ini, tapi ia merasa ada rangkaian teror yang secara sistematis dijalankan oleh jaringan mafia kejahatan yang harus ditemukan.

Amien tidak menunjuk langsung bahwa teror ini datang dari aparat kekuasaan. Namun, ia melihat peristiwa di Banyuwangi ini ada kemiripannya dengan kerusuhan pertengahan Mei lalu di Jakarta. "Ada sebuah kejahatan massal yang terlambat ditanggulangi," kata Amien. Uniknya, Amien sendiri justru diterpa kabar berada di belakang atau setidaknya tahu banyak tentang peristiwa Banyuwangi. "Saya sudah mendengar. Namun, siapa saja yang mengaitkan nama saya harus segera dipegang tengkuknya dan dibawa ke psikiater karena kelainan jiwanya sangat jauh," kata Amien.

Terlepas dari berbagai teori yang bergulir, para tokoh masyarakat di Banyuwangi berpendapat bahwa pelaku pembantaian adalah orang yang terlatih dan terorganisasi. Kepala Kepolisian Daerah Jawa Timur Mayjen Polisi Moch. Dayat juga sepakat, tapi ia meminta masyarakat tidak menghakimi bahwa kelompok itu adalah aparat.

Gofar, seorang kiai di Kecamatan Rogojampi, menyesalkan bahwa pembunuhan ini justru marak sesudah aparat Kepolisian Sektor Rogojampi mendata dan mengambil foto orang yang digolongkan sebagai dukun santet pada Januari-Februari lalu. "Sebagian besar yang tewas adalah mereka yang difoto," ujar Gofar. Ketika Gofar menanyakan alasannya, Kepala Polsek Rogojampi Lettu Ari Fadlan mengatakan bahwa pendataan tersebut dimaksudkan agar suatu ketika para dukun santet itu bisa membantu aparat. "Bantuan apa yang dimaksud, saya tidak tahu," kata Gofar.

Komandan Komando Distrik Militer Banyuwangi Letkol Subiraharjo membenarkan terjadinya pendataan ini. "Ini justru untuk mengamankan mereka," ujar Subiraharjo. Ironisnya, "maksud baik" aparat ini di lapangan berbuah petaka. Selain ada korban yang menjadi amukan massa, tiga orang memilih bunuh diri setelah stres berat gara-gara daftar ini. Bahkan, tidak perlu nama sendiri yang tercantum, nama orang tua yang masuk sudah cukup membuat Suparlan dan Senali menjerat leher sendiri.

Tidak mudah memang mengurai lakon ini. Pasalnya, selain yang bernuansa politis, sebagian pembunuhan ini terbukti ada yang bermotif balas dendam biasa. Belum jelas siapa memanfaatkan siapa, atau pihak mana yang mengambil keuntungan. Keterlibatan oknum ABRI pun masih menjadi perdebatan. Semula disebut ada empat orang oknum, tapi Kepala Staf Umum ABRI Letjen Fachrul Razi telah membantahnya. Yang pasti, kaum Osing yang terkenal ramah dan ekspresif itu sekarang jadi tertutup. Waswas sekaligus cemas.

Yusi A. Pareanom, Ardi Bramantyo, Andari Karina (Jakarta), Zed Abidien (Banyuwangi)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus