Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Jalan Panjang Dari Sanur

Susunan DPP PDI menunjukkan unsur baru, meskipun kesetiaan lama tetap dominan. Ada harapan akan ada pemimpin pasca Habibie yang didukun dari bawah.

12 Oktober 1998 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"KONGRES Perjuangan" itu pun berakhir sudah. Sabtu menjelang tengah malam, di Grand Bali Beach Hotel, hotel mewah di kawasan Pantai Sanur, Bali, Kongres V Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang berlangsung sejak Kamis--dan hampir batal karena urusan perizinan itu--ditutup berbarengan dengan pengumuman susunan Pengurus PDI periode 1998-2003.

Seperti pelaksanaannya yang meriah bak pesta rakyat Bali, susunan kepengurusan sekarang tampak berwarna-warni, dari beragam aliran latar belakang. Di tengah elu-elu peserta Kongres, Megawati Soekarnoputri, yang sebelumnya telah terpilih dengan suara bulat sebagai ketua umum sekaligus formatur tunggal, mengumumkan "kabinet"-nya yang terdiri dari 17 orang. Wajah-wajah lama masih mendominasi, di samping munculnya tiga wajah baru dari latar belakang berbeda, yaitu mantan Komandan Sekolah Staf dan Komando ABRI Mayjen (Purn.) Theo Syafei, K.H. Wahid Hasyim adik kandung ketua PB NU KH Abdurrahman Wahid (masing-masing sebagai ketua), dan Meilono Suwondo (wakil bendahara), adik Siswono Yudohusodo.

Menarik mencermati komposisi pengurus baru itu, karena inilah tim kerja Mega yang harus membanting tulang untuk mewujudkan amanat Kongres dan harapan--yang bisa jadi berlebihan--dari sebagian masyarakat. PDI Perjuangan, yang sedang di atas angin, pasang target tidak main-main. PDI, menurut Sukowaluyo, salah seorang tokohnya, akan memenangkan pemilu cukup dengan mematok 55 persen suara.

Target kedua adalah mencalonkan Mega sebagai calon presiden, yang harus digolkan di Sidang Umum MPR. Taktik yang dipakai, memperjuangkan agar presiden dipilih langsung oleh anggota MPR, tidak melalui fraksi. Sesuai dengan UUD 45, yang menyatakan bahwa presiden ditetapkan melalui suara terbanyak. Keyakinan tak cuma datang dari peserta kongres. Undangan semacam Arifin Panigoro dan Sjahrir pun mengakurinya. "Saya kira Megawati adalah salah satu calon presiden potensial dan siap," begitu penilaian Arifin.

Sayang, pencanangan dua target besar itu tak diikuti oleh sikap politik PDI yang tegas. PDI hanya menegaskan penolakannya terhadap pendirian negara federal, tapi tak menunjukkan warnanya dalam masalah ekonomi atau dwifungsi ABRI. Dalam soal ekonomi, misalnya, PDI hanya mengatakan agar dilakukan penguatan perekonomian rakyat. ??Sengaja saya tidak membicarakan masalah dwifungsi ABRI karena telah sangat jelas bidang mana yang seharusnya dilakukan masyarakat sipil dan militer,?? ujar Mega dalam pidato pembukaannya. Tidak jelasnya sikap politik ini, bagaimanapun, akan menjadi hambatan bagi Mega bila nantinya ia naik menjadi pimpinan nasional. (lihat Opini).

Hambatan ini diharapkan bisa diatasi oleh Mega dengan bantuan para pengurus harian baru. Melihat begitu beratnya tugas tersebut, banyak yang mengharapkan kursi Sekjen diduduki oleh orang yang dinilai pantas menjadi "orang kedua" di sebelah Mega. Nama-nama sempat berhamburan, mulai dari Kwik Kian Gie, Laksamana Sukardi, Theo Syafei, sampai Aberson Sihaloho. Tapi, secara mengejutkan, Mega mengangkat kembali Alex Litaay, yang dinilai banyak pihak tidak cukup cemerlang. Kabarnya, Kwik dan Laksamana memang menyatakan tidak bersedia duduk di pos yang amat vital bagi jalan-macetnya roda organisasi itu.

Mega mempunyai pertimbangan lain. Dalam pidatonya, sembari menahan tangis ia menyatakannya, "Sebagai rasa cinta dan hormat saya kepada saudara-saudara saya di Indonesia Timur." Pengamat politik dari UI Arbi Sanit, yang menjagokan Kwik di kursi Sekjen, mengkritik pengangkatan Alex yang lebih mengutamakan kepentingan integrasi daripada fungsionalisasi. Ia juga menyoroti bahwa masih dominannya figur-figur lama menunjukkan Mega terlalu mempertimbangkan faktor jasa ketimbang kebutuhan organisasi dalam menghadapi tantangan ke depan. Hal itu, tambahnya, malah akan menimbulkan kesan Mega menjulang sendirian di puncak organisasi. Perlu dicatat, diakomodasikannya sembilan orang DPP lama merupakan desakan peserta Kongres, yang menilai mereka telah menunjukkan kesetiaannya terhadap Mega.

Desakan itu tampaknya juga timbul karena sebagian peserta mencurigai beberapa "orang baru" yang masuk secara mencolok menjelang pelaksanaan Kongres, khususnya barisan purnawirawan ABRI seperti Theo Syafei dan Mayjen (Purn.) Sembiring Meliala. Soal peserta baru ini sempat menjadi perdebatan tajam di arena persidangan. Soalnya, ada peraturan di AD/ART lama bahwa yang dapat diangkat sebagai pengurus adalah yang telah menjadi anggota minimal empat tahun dan pernah menjadi pengurus di tingkat daerah. Tapi, jelas untuk mengantisipasi "orang-orang baru" itu, Kongres memutuskan memberi kewenangan penuh kepada ketua umum terpilih untuk menerapkan Pasal 9 ayat 3 AD/ART baru yang memungkinkan anggota baru bisa langsung duduk di kepengurusan.

Aberson, yang hampir masuk bui gara-gara mempersoalkan dwifungsi ABRI, termasuk yang bersikap kritis atas boyongan para purnawirawan ABRI ke kandang Banteng itu. "Apa mereka bisa menambah pemilih?" tanyanya sinis sambil mengkhawatirkan bahwa masa lalu para purnawirawan tersebut justru berpotensi menurunkan massa pemilih. Tambahan lagi, ia mempertanyakan kesamaan tujuan perjuangan. "Mereka mau atau tidak memperjuangkan Mbak Mega jadi presiden? Atau mau memperjuangkan orang lain?" Ia khawatir para jenderal ini cuma mau mendompleng popularitas Mega untuk mengegolkan agenda politik mereka sendiri. Arbi mengamini pendapat itu. Ia tidak begitu percaya bahwa militer bisa membawa massa. Tapi para purnawirawan ini dapat menyumbangkan hal lain, misalnya kemampuan pengelolaan organisasi. Yang dituduh, Mayjen Sembiring, mengaku merasa terpanggil untuk membantu membesarkan partai Banteng setelah mendengar kesulitan kader PDI di berbagai daerah yang selalu terjepit.

K.H. Wahid Hasyim adalah figur wajah berikutnya yang menarik diseksamai. Kyai NU adik kandung Gus Dur ini tidak pernah terdengar namanya di dunia persilatan politik nasional. Dan tiba-tiba saja langsung naik ke pucuk pimpinan. Sebelumnya, di arena Kongres memang sudah ramai bisik-bisik bahwa Gus Dur, yang manuvernya memang selalu sulit diduga itu, akan menempatkan orang NU untuk mendukung kepemimpinan Mega. Fachry Ali, pengamat politik yang juga spesialis kajian tentang NU, menengarai bahwa inilah bukti Gus Dur menepati janjinya untuk mendukung Mega beberapa waktu lalu. Bahkan Arbi melihat skenario bahwa Hasyim akan menjadi semacam jembatan penghubung antara PDI, NU, dan PKB (Partai Kebangkitan Bangsa). Ketika ditanya kesediaannya bergabung dengan Mega, Gus Dur menyangkal, "Tidak mungkin saya bergabung dengan Mega". Tapi aneh, dalam sambutannya atas pengangkatan Hasyim, Mega secara tersirat membenarkannya, "Ini untuk menghormati Gus Dur." Adalah hal yang teramat logis jika Mega berusaha meluaskan basis massanya, yang semula adalah kaum urban sekuler lapisan bawah--yang jumlahnya relatif lebih sedikit--merambah sampai kaum Nahdliyin.

Dalam soal pendekatan kepada kaum "sarungan" ini, keberadaan Theo yang militer dan non-Islam, menurut Fachry, salah-salah bisa jadi kartu mati dan bumerang bagi Mega. Soalnya, ini membuka peluang bagi sebagian tokoh NU garis keras dan selalu berseberangan dengan garis kebijakan Gus Dur untuk mengembus-embuskan masalah sensitif itu. Sebab, bagaimanapun, dalil Fachry adalah: yang bisa sepenuhnya masuk adalah pemilik hubungan kultural dengan kalangan NU. Soal ini, Kwik menyatakan agar kelompok Islam tidak perlu mencurigai masuknya para purnawirawan ABRI tersebut. Lebih jauh, Fachry, malah menyoroti bahwa komposisi pengurus PDI itu justru memperlihatkan wajah partai yang sangat sekuler dan cenderung akan menarik perhatian kalangan abangan ketimbang santri.

Sedangkan kehadiran Meilono Suwondo tak pelak lagi membuka poros kandang Banteng dengan Gerakan Keadilan dan Persatuan Bangsa (GKPB), yang antara lain dikoordinasikan oleh duet Siswono Yudohusodo dan Sarwono Kusumaatmadja. Masuknya Meilono ditambah figur-figur intelektual seperti Kwik Kian Gie, Laksamana Sukardi, Dimyati Hartono, Mochtar Buchori, juga memperlihatkan upaya PDI menggaet animo kalangan pemilih dari kelas menengah ke atas di samping basis tradisionalnya dari kalangan "sandal jepit". Kwik menjelaskan bahwa dari hasil uji coba melalui Sarasehan tentang Konsep dan Program PDI Perjuangan di Hotel Grand Melia, Jakarta, beberapa waktu lalu, ternyata program mereka laku dijual di kalangan kerah putih itu. "Bukan main responsnya," kata Kwik menjelaskan.

Dalam upaya itu, figur Mega memang menjadi kendala. Fachry menilai, jika harus mengutarakan pendapat secara lisan, Mega masih terlihat gagap dan tidak terlalu memuaskan kalangan itu. Tetapi, sebaliknya, kesederhanaan buah pikiran dan pidato-pidatonya yang mudah dicerna oleh rakyat jelata itu justru sekaligus menjadi kekuatannya di kalangan pemilih lapisan bawah, yang jumlahnya jauh berlipat-lipat dibandingkan dengan pemilih dari kalangan orang kantoran itu. Sebab, dalam politik, yang penting adalah masyarakat banyak, bukan segelintir intelektual.

Arbi maupun Fachry sepakat, jika mencermati wajah-wajah baru tersebut dengan kaca pembesar, terlihatlah suatu representasi dari tiga kekuatan politik Indonesia kontemporer: Barisan Nasional dan ABRI "merah putih", sebagian Nahdlatul Ulama, dan Gerakan Keadilan dan Persatuan Bangsa. Hal itu sebenarnya sudah kentara sejak pembukaan kongres Kamis lalu. Yang tidak seperti biasanya, dihadiri tokoh dari berbagai kekuatan politik nasional. Dari Barisan Nasional hadir purnawirawan jenderal semacam Kemal Idris, Ali Sadikin, dan Edi Sudradjat. Juga, Sarwono Kusumaatmadja, mantan Sekjen Golkar dan pendiri GKPB, Frans Seda, Roeslan Abdul Gani, sampai pengusaha Arifin Panigoro. Sehingga, Arbi dan Fachry melihat sangat mungkin terjadi koalisi yang jauh lebih besar dari yang pernah dibayangkan pada Sidang Umum MPR mendatang, yaitu koalisi PDI Mega-NU/PKB-Barisan Nasional/GKPB. Artinya, kalau itu benar, tengah berbiak suatu embrio koalisi kekuatan yang cukup dahsyat untuk ditandingi kekuatan mana pun yang sekarang ini ada dalam arena pemilu dan sidang umum mendatang. Rupanya, dari pantai Sanur sang Banteng mulai mendengus-dengus untuk menyeruduk Senayan.

Karaniya Dharmasaputra (Jakarta), Jalil Hakim (Surabaya), I Nyoman Sugiarta (Bali)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus