Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mungkin karena itu, pendapat masyarakat tentang peristiwa tersebut pun masih saling-silang. Ini terlihat dari hasil jajak pendapat yang antara lain menyiratkan bahwa pihak yang percaya dan yang tidak percaya adanya pemerkosaan massal itu sama banyaknya.
Belum lagi kalau bicara tentang yang dimaksud pemerkosaan itu sendiri. Responden punya definisi yang beragam. Sebagian besar melihat pemerkosaan dalam definisi yang sempit. Artinya, pemerkosaan hanya terjadi jika ada penetrasi seksual secara paksa.
Teguh, seorang responden yang bermukim di kawasan Cipinang, Jakarta Timur, salah seorang penganut definisi tersebut. "Karena itu, yang terjadi pada Mei lalu bukan pemerkosaan massal melainkah pelecehan seksual yang menjurus pada kekerasan seksual," ujarnya. ??Belum lagi kalau kita bicara soal massalnya,?? Teguh menambahkan.
Dalam komposisi yang lebih-kurang seimbang, definisi responden tentang massal ini terbagi dua. Sebagian responden berpendapat bahwa pemerkosaan massal berarti pemerkosaan yang dilakukan oleh banyak orang terhadap satu korban. Pendapat lainnya menilai pemerkosaan massal dilakukan oleh banyak orang terhadap banyak korban.
Dengan batasan seperti itu, Yuni, responden asal Pasarminggu, termasuk yang percaya. "Saya yakin ada, hanya jumlahnya tidak sebanyak yang digambarkan orang," ujarnya.
Kepercayaan terhadap ada tidaknya pemerkosaan tampaknya terkait erat dengan definisi pemerkosaan yang dipahami responden. Semakin longgar definisi itu, semakin besar pula tingkat kepercayaan mereka. Ini mudah dipahami, definisi yang longgar--seperti memasukkan pelecehan verbal dan mengucapkan kata-kata kotor dalam kategori pemerkosaan--membuat rentang kemungkinan menjadi lebih luas.
Jadi, sebenarnya, responden secara keseluruhan ingin mengatakan bahwa pemerkosaan, pelecehan, penyerangan seksual, atau apa pun istilah yang dipakai, benar terjadi di seputar Jakarta pertengahan Mei lalu. Hanya jumlahnya yang belum disepakati.
Lalu, apa yang melatarbelakangi pemerkosaan ini sehingga menjadi peristiwa politik? Di dalamnya terkandung isu keretakan hubungan antaretnis--bahkan pembersihan etnis--selain juga isu pendeskriditan penganut agama tertentu.
Hampir separuh responden beranggapan bahwa pemerkosaan itu hanyalah efek kerusuhan semata. Tapi, dalam persentase yang hampir sama, ada pula responden yang meyakini pemerkosaan itu merupakan teror terhadap etnis tertentu, yakni etnis Tionghoa.
Sebaliknya, ada yang percaya bahwa kasus itu muncul karena ada pihak-pihak yang ingin menjatuhkan kelompok tertentu yang disinyalir sebagai pelaku pemerkosaan.
Mana yang benar? Tak bisa dibuktikan dalam jajak pendapat ini. Tapi, melihat komposisi jawaban responden yang relatif seimbang, bisa disimpulkan bahwa responden telah melihat persoalan ini tidak lagi sebagai sesuatu yang berdimensi tunggal. Artinya, setiap isu yang menempel pada kasus pemerkosaan dibaca dalam sebuah spektrum sosial dan politik yang luas.
Teguh, misalnya, percaya ada kelompok terorganisir di belakang pemerkosaan massal itu. "Sebagai sebuah teror kita bisa menduga pelakunya adalah oknum militer. Tapi saya juga percaya bahwa kasus ini kemudian digunakan untuk mendeskriditkan Islam," ujarnya bersemangat.
Dari tabulasi silang antara variabel latar belakang pemerkosaan dan variabel tingkat kepercayaan terjadinya pemerkosaan, terlihat korelasi positif--meski tidak terlalu kuat. Mereka yang percaya pemerkosaan sebagai teror terhadap etnis Cina, lebih percaya pemerkosaan terjadi dibandingkan dengan mereka yang menganggap kasus tersebut upaya merusak citra kelompok tertentu. Perbedaan itu besarnya 12-15 persen.
Dengan demikian, sebuah peristiwa tidak pernah muncul sebagai sesuatu yang netral. Selalu ada tafsir--juga analisis--yang melekat pada peristiwa sesungguhnya. Agar tafsir itu tidak berubah menjadi anarki, kata putus dari Tim Gabungan Pencari Fakta dibutuhkan untuk memastikan apakah pemerkosaan itu ada atau tidak.
Arif Zulkifli
Penelitian ini dilakukan TEMPO bekerja sama dengan Insight. Pengumpulan data dilakukan terhadap 459 responden di 25 kelurahan di lima wilayah DKI dari 28 September hingga 4 Oktober 1998. Tingkat kesalahan penarikan sampel (sampling error) diperkirakan 5 persen.
Penarikan sampel dilakukan dengan metode random bertingkat (multistages sampling) dengan unit analisis kelurahan, RT, dan kepala keluarga. Pengumpulan data dilakukan dengan kombinasi antara wawancara langsung, tatap muka, dan wawancara telepon.
INFO GRAFIS Definisi tentang pemerkosaan Hubungan seksual secara paksa sampai terjadi penetrasi | : | 86,1% | Hubungan seksual secara paksa, tanpa terjadi penetrasi | : | 18,3% | Penetrasi paksa dengan benda keras | : | 8,6% | Penyentuhan organ vital | : | 8,4% | Kata-kata yang melecehkan secara seksual | : | 7,9% | Menelanjangi korban | : | 9,5% | Lain-lain | : | 1,8%
| Definisi tentang Istilah Massal dalam Pemerkosaan Massal Pemerkosaan terhadap satu korban, oleh banyak pelaku | : | 54,7% | Pemerkosaan terhadap banyak korban, oleh banyak pelaku | : | 54,4% | Pemerkosaan terhadap satu korban, oleh satu pelaku, disaksikan banyak orang | : | 11,3% | Lain-lain | : | 1,5%
| Kepercayaan terhadap pemerkosaan massal Percaya | : | 38,8% | Tidak | : | 38,8% | Ragu-ragu | : | 22,4%
| Latar belakang pemerkosaan massal Hanya efek kerusuhan | : | 42,5% | Teror terhadap etnik tertentu | : | 38,5% | Menjatuhkan citra kelompok tertentu | : | 37,0% | Lain-lain | : | 13,2% | |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo