Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Antara Puisi dan Eksperimen Ilmu Pengetahuan

Bagian dari pertunjukan Art Summit Indonesia II, komponis asal AS Alvin Lucier menciptakan musik dari resonansi alami ruang dan gelombang suara. Ia mencipta musik dengan metode ilmu pengetahuan tapi muncul seperti sebuah puisi.

12 Oktober 1998 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seorang lelaki duduk di tengah panggung. Gelap. Hanya ada api kecil menyala dari pelita mungil di atas meja yang terbuat dari gelas dan disambungkan ke kompor berbahan bakar. Sambil menyandarkan punggungnya di kursi sejauh setengah meter dari corong pelita, orang itu mengeksplorasi sensitivitas api dengan "menyanyi" sedemikian rupa untuk menundukkan, mendorong ke belakang dan ke samping ujung lidah api. Berlangsung selama sekitar sepuluh menit, musik yang terdengar hanyalah suitan panjang mirip suara ketel air menguap yang melengking tinggi, kadang menurun dan sesekali berhenti.

Pertunjukan musik yang digelar di Gedung Kesenian Jakarta pada acara Art Summit Indonesia II 1998 pada 21 dan 22 September memang hampir tidak seperti pertunjukan musik konvensional. Tak ada melodi atau irama yang lazim. Namun, itulah salah satu komposisi musik gubahan Alvin Lucier, komponis eksperimentalis dari Amerika Serikat. Diilhami dari percobaan sains oleh filsuf dan ilmuwan Inggris John Tyndall (1820-1893), Tyndall Orchestrations, begitu judul komposisi itu, menjadi sebuah pameran bunyi dan efek gelombang dari seorang ilmuwan. Atau lebih konyol lagi, "Itu sulapan," kata Lucier kepada TEMPO.

Tentu, pernyataan profesor musik di Universitas Wesleyan Connecticut yang disampaikan sambil terbahak itu hanya guyonan. Lucier adalah komponis yang telah keluar dari batasan-batasan musik konvensional. Pendekatannya kepada musik, karena sangat personal, sulit dirumuskan. Tapi, ciri umum yang menonjol, karya-karyanya merupakan eksperimen dari penjelajahan resonansi alami ruang dan pengolahan gelombang suara. Instrumen yang digunakan bisa apa saja, dari kaleng biskuit, botol susu kosong, kardus, suara manusia, perkusi, sampai gamelan. Namun, instrumen semacam gamelan, yang bisa ditabuh secara konvensional, oleh Alvin akan diperlakukan sebagai sumber bunyi. Ia sering memanfaatkan pengeras suara untuk merekayasa bunyi dan musik yang terdengar dari karya-karyanya yang cenderung datar, berulang-ulang, monoton, dan dingin. Karena itu, komponis Slamet Abdul Sjukur secara berseloroh menilai karya Lucier "tidak manusiawi".

Penjelajahan resonansi alami ruang bisa dilihat dari beberapa dari tujuh karya Lucier yang dipentaskan malam itu. Dalam Music for Gamelan Instruments (1994), Alvin menggunakan tiga gender yang ditabuh tiga pemain sebagai sumber bunyi. Ada empat orang yang masing-masing memegang bonang dan kenong dengan posisi bagian rongga menghadap ke mikrofon. Untuk menciptakan gaung, seperangkat salon pengeras suara diletakkan di atas panggung. Bunyi yang ditimbulkan gender adalah serangkaian bunyi yang berulang-ulang. Ditingkahi gaung yang muncul dari rongga bonang dan kenong lewat mikrofon, dan karakter resonansi alami ruang pertunjukan, kedua unsur itu menciptakan serangkaian beat.

Dalam komposisi berjudul Theme (1994), Lucier menampilkan empat orang yang membaca puisi karya John Ashbery, penyair kontemporer New York, secara bergantian. Masing-masing menyorongkan mulut ke rongga pot kecil, botol susu, kerang laut, dan telur plastik. Dilengkapi mikrofon yang diletakkan dalam benda-benda berongga itu, getar suara itu menimbulkan gaung sesuai dengan karakteristik resonansi alami benda.

Pada komposisi Bird and Person Dyning, Lucier lebih menekankan aspek gelombang suara. Terdengar kicau burung yang tak putus-putus dari pengeras suara. Lalu terdengar gaung yang diakibatkan mikrofon dan pengeras suara yang saling mendekat, yang melengking menusuk telinga. Lucier seolah mencoba mengurai gaung yang merecoki kicau burung itu: dua unsur yang sama-sama menciptakan kombinasi bunyi.

Dalam menciptakan komposisi, Lucier mengaku tidak ingin bersikap sebagai komposer yang cerewet dengan keindahan. Dalam usianya yang sudah mencapai 67 tahun itu, Lucier tampaknya menekankan proses kreasi musiknya. Dan untuk melakukan proses kreatif itu, ia menggunakan cara dan metode yang mirip dengan para ilmuwan dalam melakukan eksperimen. Tak mengherankan jika sepintas karya Lucier tak ubahnya percobaan-percobaan ilmu pengetahuan dengan obyek bunyi dan suara. Komposisi Tyndall, misalnya, atau yang lebih ekstrem, Music for Solo Performer (1996). Karya ini adalah nomor yang paling fenomenal yang menggunakan gelombang pikiran sebagai sumber bunyi. Dan ide-ide itu dibiarkan telanjang mewujudkan dirinya, tanpa harus menambah ini dan itu--sesuai dengan kaidah komposisi. Dan bagi sang komponis, itulah seni, itulah puisi.

Kelik M. Nugroho

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus