Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Pengentasan Mensyaratkan Pemutakhiran Data

Berbagai program pemerintah untuk mengentaskan masyarakat dari kemiskinan dilakukan dari tahun ke tahun. Program ini tidak tepat sasaran lantaran database penduduk miskin tidak diperbarui.

16 Juni 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Warga beraktivitas di Kampung Bandan, Jakarta, 18 Juni 2021. Tempo/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Permasalahan kemiskinan di Indonesia tak kunjung selesai.

  • Banyak program berjalan tidak efektif.

  • Database yang tidak dimutakhirkan menjadi penyebab.

JAKARTA – Mengurai masalah kemiskinan di Indonesia bak mengurai benang kusut. Berbagai program pemerintah untuk mengentaskan masyarakat dari kemiskinan dilakukan dari tahun ke tahun, namun masalah itu tetap menjadi masalah menahun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menteri Koordinator Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendi mengatakan, pemerintah sudah membuat sejumlah program perlindungan sosial. Program tersebut misalnya bantuan sosial, subsidi, jaminan sosial, ataupun berbagai program pemberdayaan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pemerintah mengklaim program ini efektif karena dianggap berhasil dalam dua dekade. Dia mengatakan, penurunan angka kemiskinan ekstrem di Indonesia lebih cepat dan lebih baik dari rata-rata dunia. Tingkat kemiskinan ekstrem yang dimaksud adalah seseorang yang hidup di bawah US$ 1,9 purchasing power parity atau paritas daya beli. “63,2 persen pada 1998 turun menjadi 4 persen pada 2021. Penurunan kemiskinan secara umum mencapai 9,71 persen,” ujar Muhadjir, kemarin.

Warga tengah mencari ikan menggunakan jaring di pinggiran kali kawasan Tanah Abang, Jakarta, 30 Maret 2021. Tempo/Tony Hartawan

Pemerintah juga berupaya memperbaiki data rakyat miskin. Salah satunya dengan satu data Pensasaran Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem (P3KE). Data tersebut memuat perankingan dan tingkat kesejahteraan masyarakat yang telah dipadankan dengan data di masing-masing program. Presiden Joko Widodo juga telah mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2022 tentang Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem.

Inpres yang diteken pada Rabu, 8 Juni lalu, ini diterbitkan untuk penghapusan kemiskinan ekstrem pada 2024 melalui keterpaduan dan sinergi program, serta kerja sama antar-kementerian/lembaga ataupun pemerintah daerah. “Dengan begitu, ada informasi yang cukup akurat untuk memastikan kelompok keluarga miskin ekstrem dan rentan miskin tercakup dalam program,” kata Muhadjir.

Peneliti SDGs Universitas Padjadjaran, Arief Anshory Yusuf, mengatakan bahwa secara konsep, program pengentasan masyarakat miskin di Indonesia memang efektif. Namun keefektifannya menjadi hilang karena program-program itu sering tidak tepat sasaran. Arief menyebutkan, sekitar 50 persen anggaran tersebut tidak sampai pada orang miskin yang menjadi target.

“Kalau sampai, problem ini pasti sudah selesai,” kata Arief kepada Tempo, kemarin. “Apalagi terhadap masyarakat dalam PKH atau Program Keluarga Harapan. Masalahnya, enggak semua orang yang seharusnya mendapat manfaat dari program ini bisa mendapatkannya.”

Ketidaktepatan sasaran program pengentasan masyarakat miskin itu lantaran database penduduk miskin tidak diperbarui. Menurut Arief, pemutakhiran database tersebut baru mencapai 10 persen. Padahal kemiskinan di Indonesia terhitung secara dinamis. “Orang yang hari ini miskin, bisa jadi sudah tidak miskin besok lusa. Begitu pula sebaliknya,” ujarnya.

Dia menegaskan, persoalan data menjadi kunci utama yang harus diselesaikan. Idealnya, kata dia, program ini mesti kembali lagi pada penyempurnaan database. Arief menyarankan Badan Pusat Statistik (BPS) dan pemerintah desa bisa mengoptimalkan survei penduduk miskin secara rutin.

Terlepas dari persoalan data penduduk miskin, Arief menyoroti ketimpangan ekonomi yang erat kaitannya dengan kemiskinan. Sebab, kata dia, ketika pertumbuhan ekonomi naik tapi ketimpangannya besar, angka kemiskinan akan tetap tinggi. Karena itu, negara wajib memberi kesempatan kepada setiap warga. Misalnya, kata dia, akses pendidikan. Jika kesempatan pendidikan masih timpang, artinya masih ada hal yang harus dibereskan. Sebab, ketimpangan itu tidak natural. “Bukan soal bakat atau kemalasan dan kerajinan orang,” ujarnya.

Selain itu, kata Arief, komitmen pemerintah mengurangi kemiskinan juga harus diiringi dengan pengalokasian anggaran sosial yang besar. Minimal, setara dengan anggaran sosial negara-negara yang pendapatan per kapitanya sama dengan Indonesia.

RIRI RAHAYUNINGSIH

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus