Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Tata Tertib DPR tidak bisa digunakan untuk lembaga lain.
Kewenangan Dewan dalam Tata Tertib DPR rentan disalahgunakan.
Tata tertib baru DPR membuat lembaga itu menjadi superpower.
REVISI Tata Tertib DPR atau Dewan Perwakilan Rakyat memberi wewenang baru kepada para politikus Senayan untuk mengevaluasi dan mencopot pejabat negara yang telah mereka pilih. Berbagai pegiat demokrasi, juga ahli hukum tata negara, pun mengkritik revisi Tata Tertib DPR. Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, menilai kewenangan DPR itu kebablasan dan bisa disalahgunakan.
“Dengan kewenangan tersebut, DPR bisa lebih bebas menekan lembaga lain melalui evaluasi dan rekomendasi,” katanya saat dihubungi Tempo, Rabu, 12 Februari 2025. Evaluasi oleh DPR terhadap pejabat negara pun seperti amunisi baru. “DPR juga punya fungsi budgeting untuk membuat lembaga lain mengikuti keinginan mereka.”
Bivitri menilai mekanisme evaluasi oleh DPR membuat posisinya dengan lembaga lain menjadi tidak setara. Ia mengibaratkan hubungan DPR dengan pejabat negara yang mereka pilih seperti atasan dan bawahan. “Jadi seperti hubungan ketenagakerjaan,” ujarnya. Ia pun menilai kewenangan DPR yang berlebihan merusak sistem ketatanegaraan.
Otoritas baru DPR termuat dalam Pasal 228A Tata Tertib DPR. Isinya tentang evaluasi secara berkala komisi-komisi DPR terhadap pejabat negara yang telah ditetapkan parlemen dalam rapat paripurna. Hasil evaluasi Dewan bersifat mengikat dan bisa ditindaklanjuti oleh pimpinan DPR sesuai dengan mekanisme yang berlaku.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Jimly Asshiddiqie, menilai DPR bisa menyalahgunakan evaluasi untuk mendongkel pejabat negara. Ia merujuk pada kasus hakim konstitusi Aswanto yang dicopot oleh DPR pada akhir September 2022. Aswanto, hakim yang diusulkan oleh DPR, dicopot karena dinilai kerap membatalkan undang-undang yang dihasilkan DPR dan pemerintah.
Menurut Jimly, DPR bisa jadi akan membongkar-pasang pejabat negara yang telah mereka pilih dengan evaluasi tersebut. Padahal Tata Tertib DPR hanya berlaku untuk kalangan internal. “Aturan mainnya, DPR tidak boleh menyasar subyek tertentu,” tutur mantan anggota Dewan Perwakilan Daerah itu.
Pun mantan hakim konstitusi I Dewa Gede Palguna menyatakan Tata Tertib DPR tidak bisa mengikat lembaga lain di luar parlemen. Ia mengingatkan, Tata Tertib DPR bagai undang-undang yang memberi kewenangan evaluasi dan pencopotan seperti yang menimpa Aswanto. “Masak, DPR enggak paham hierarki aturan?” ujar Ketua Majelis Kehormatan MK ini.
Tata tertib baru DPR membuat lembaga itu menjadi superpower atau memiliki kekuatan luar biasa. Lebih khusus, otoritas itu akan membuat posisi partai-partai politik pendukung pemerintah di DPR berada di atas angin. Dengan kewenangan itu, kata Bivitri Susanti, Koalisi Indonesia Maju paling diuntungkan karena makin mudah mencapai tujuannya dengan menekan lembaga lain.
Namun Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad membantah jika revisi Tata Tertib disebut membuat DPR bisa cawe-cawe atau melampaui lembaga lain. Ia mengklaim Tata Tertib DPR hanya berlaku di lingkup internal. “Tujuannya mendorong kinerja pengawasan DPR, bukan memecat si A atau B,” ucap Ketua Harian Partai Gerindra ini kepada Tempo pada Jumat, 14 Februari 2025.
Menurut Dasco, komisi-komisi di DPR akan memberikan rekomendasi setelah menggelar evaluasi. Pimpinan DPR akan menyerahkan hasil evaluasi ke lembaga eksekutif ataupun yudikatif. “Kami menyarankan pemerintah atau institusi yang pejabatnya dievaluasi mengambil langkah yang diperlukan,” ujar Dasco.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Aturan Kebablasan dari Senayan".