Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pada 8 Februari 1904 silam pasukan Korps Marechaussee te Voet alias Marsose, yang dipimpin Gotfried Coenraad Ernst (G.C.E) van Daalen memulai ekspedisi ke Tanah Gayo, Alas, dan Batak. Rangkaian Perang Aceh tersebut berujung pada pembantaian penduduk setempat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ekspedisi ini merupakan upaya Belanda untuk mengakhiri perlawanan rakyat Aceh yang berlangsung selama tiga dekade, termasuk menangkap Cut Nyak Dhien. Ekspedisi ke tanah Gayo dan Alas ini berawal dari laporan hasil riset Snouck Hurgronje berjudul Het Gajolan en Zijn Bewoners kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat itu, Yohannes Benedictus van Heutsz. Van Heutsz yang sangat berambisi menguasai seluruh wilayah Aceh, menunjuk van Daalen sebagai pemimpin ekspedisi itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Van Daalen membawa setidaknya tiga kapal besar untuk mengangkut 208 anggota Marsose. Sebagian besar anggota satuan militer yang bernaung di bawah Koninklijk Nederlands-Indische Leger (KNIL) itu berasal dari orang pribumi, di antaranya dari Jawa hingga Maluku. Selain membawa pasukan, Belanda juga mengangkut sejumlah orang penting. Yaitu 10 orang perwira, 13 bintara, serta ahli geologi dan tenaga medis berkebangsaan Eropa. Tak hanya itu, Daalen juga membawa 473 orang mandor, puluhan kuli paksa, dan penunjuk jalan.
Sesampainya di Gayo, Van Daalen kemudian mengirimkan surat kepada raja-raja setempat. Dalam surat tersebut Van Daleen menghendaki raja-raja Gayo datang menghadap untuk menandatangani perjanjian takluk. Namun tak satu pun raja-raja Gayo menuruti permintaan Gubernur Jenderal Hindia Belanda itu. Lantaran panggilan lewat surat diabaikan, Van Daalen mengutus pasukan untuk mendatangi satu per satu perkampungan di wilayah Gayo.
Pasukan Van Daalen mengancam jika para raja dan pemuka masyarakat tidak takluk, perkampungan akan diserbu. Namun rakyat Gayo tetap kukuh menolak takluk dan memilih untuk melawan. Van Daalen murka karena ditentang dan memerintahkan pasukannya untuk menumpas rakyat Gayo.
Surat Kabar Deli Courant menyebutkan, dalam peristiwa ekspedisi di salah satu desa di Gayo, ratusan warga dibantai dan menyebabkan korban tewas terdiri 313 pria, 189 wanita, dan 59 anak-anak. Aksi pembantaian berlanjut ke wilayah Suku Alas di Aceh Tenggara. Mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka Asnawi Ali, mengatakan ada 2.922 orang tewas dalam tragedi itu, terdiri atas 1.773 laki-laki dan 1.149 perempuan, termasuk anak-anak dan orang tua.
Ajudan van Daalen, J.C.J. Kempees dalam laporan berjudul De tocht van Overste van Daalen door de Gajo, Alas-en Bataklanden menyebut ekspedisi militer Belanda di tanah Gayo, Alas, dan Batak itu setidaknya menelan korban nyawa hingga 4.000 orang. Dalam laporannya, Kempees menyertakan foto-foto bukti pembantaian massal rakyat Gayo maupun Alasa. Seusai penyerbuan, Van Daalen memerintahkan Kempees mengambil foto tumpukan mayat mereka.
Ekspedisi Belanda ke pedalaman Aceh berlanjut hingga ke Karo, Sumatera Utara. Peristiwa ini menjadi babak akhir Perang Aceh, di mana Cut Nyak Dhien akhirnya tertangkap dan diasingkan ke Sumedang, Jawa Barat. Meski Cut Nyak Dien sebagai pimpinan terakhir telah ditangkap, tetapi para pejuang dan rakyat Aceh terus melawan Belanda dalam skala kecil. Perlawanan berlangsung bahkan hingga Belanda menyerah kepada Jepang pada 1942.
HENDRIK KHOIRUL MUHID
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.