Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pada 22 Juli, 127 tahun silam, panglima Perang Aceh Teuku Nyak Makam gugur di tangan tentara Belanda. Cerita ini bermula ketika Teuku Nyak Makam diangkat menjadi Mudabbiru syarqiah oleh Sultah Ibrahim Mansyursyah (1838-1870), sultan Aceh terbesar abad ke-19.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mudabbiru syarwiah adalah penegak kedaulatan Aceh di bagian timur yang saat itu, Teuku Nyak Makam dianggap Sultan Ibrahim memiliki kecakapan dalam berpolitik dan pintar meramu strategi militer menghadapi bala tentara Kerajaan Belanda yang ingin menguasai seluruh Sumatera.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain menjadi Mudabbiru syarwiah, Teuku Nyak Makam juga diangkat menjadi Panglima Mandala Kerajaan Aceh di Sumatera Timur dan Aceh Teimur dengan didampingi oleh Teuku Nyak Muhammad sebagai wakilnya.
Dengan pengangkatannya tersebut, membuat Belanda yang tadinya ingin menguasai Aceh menjadi takut dan menciut karena banyak yang ketakutan oleh Teuku Nyak Makam beserta pasukannya. Meskipun begitu, serangan demi serangan terus dilancarkan Belanda untuk tetap ingin menguasai Aceh.
Berkali-kali militer Belanda yang menguasai sebagian kawasan Sumatera Utara sekarang, dipecundangi kubu Teuku Nyak Makam. Jumlah korban tewas tentara Belanda mencapai ratusan dalam kurun waktu beberapa tahun saja..
Akhirnya, pada 22 Juli 1986 Belanda berhasil membunuh Teuku Nyak Makam dan menguasai Aceh. Pembunuhan tersebut dilakukan setelah Belanda mendengar kabar bahwa Teuku Nyak Makam sedang berada dalam keadaan sakit berat di Lamnga.
Belanda yang kala itu dipimpin oleh Letnan Kolonel G.F. Soeters segera menuju Lamnga dengan mengerahkan setidaknya 2.000 orang tentara. Dengan kekuatan tersebut, Belanda berhasil menghadapi Teuku Nyak Makam yang sedang sakit.
Saat itu, Belanda melakukan sergapan yang membuat desa Lamnga belum sempat mempersiapkan strategi pertahanan. Oleh karena itu, Belanda dapat dengan mudah menangkap Teuku Nyak Makam dan menyeret keluarganya menuju kampung Gigieng, tempat Kolonel Soeters menunggu.
Di sana, tubuh Teuku Nyak Makam yang kurus dicincang oleh 2.000 tentara Belanda di depan istri dan anaknya serta penduduk Lamnga yang dipaksa untuk menyaksikan pembantaian biadab tersebut.
JURNAL UNIMED | UNSAM | TIM TEMPO
Pilihan editor : 126 Tahun Kematian Tragis Panglima Kerajaan Aceh Teuku Nyak Makam