Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta – Perang Aceh bisa dibilang perang yang paling menguras uang dan sumber daya Kerajaan Belanda dalam ambisi kolonialisme di bumi Hindia. Durasinya cukup lama, yakni dari 1873 sampai dengan 1912.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Anthony Reid dalam buku Asal mula konflik Aceh: dari perebutan pantai Timur Sumatra hingga akhir kerajaan Aceh abad ke-19, Perang Aceh dilatarbelakangi oleh Perjanjian Siak 1858 yang tidak ditepati oleh Belanda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Belanda saat itu dituduh melanggar janji yang kemudian membuat kapal-kapal Belanda di sekitaran Aceh ditenggelamkan oleh pasukan Kerajaan Aceh.
Dari situlah Perang Aceh meletus selama lima periode, 1873 sampai 1874, 1874 sampai 1880, 1881 sampai 1896, 1896 sampai 1910, dan terakhir 1910 sampai 1912.
Menurut Adrian Vickers, Perang Aceh memakan 37.000 korban dari pihak Belanda dan sekira 70.000 orang dari pihak Aceh. Selain itu, Perang Aceh juga memakan empat jenderal Belanda, yakni Jenderal Johan Harmen Rudolf Köhler, Jenderal Johannes Ludovicius Jakobus Hubertus Pel, Jenderal Henry Demmeni, dan Jenderal Jan Jacob Karel de Moulin.
Dalam perang selama 40 tahun tersebut, menurut Profesor Sejarawan Universitas Groningen, Belanda, Ernst Kossmann dalam buku berjudul The Low Countries: 1780-1940, Belanda menghabiskan uang sebesar 15 sampai 20 juta gulden dalam setahun. Artinya sekitar Rp 1,84 triliun terkuras pertahunnya untuk Perang Aceh.
UISU.AC.ID | SAJOGYO INSTUTE
Pilihan editor : 127 Tahun Lalu Panglima Perang Aceh Teuku Nya Makam Gugur: Saat Sakit Disergap Belanda