Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Gerakan Rakyat Lawan Perampasan Tanah atau Geram Tanah menyerukan penyelamatan konstitusi dan menjalankan reforma agraria dalam memperingati Hari Tani Nasional, yang jatuh pada 24 September 2024. Menurut Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria, Dewi Kartika, selama kepemimpinan dua periode Jokowi, agenda konstitusi agraria itu tak dijalankan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Sayangnya, agenda konstitusi yang bertujuan untuk menciptakan tatanan agraria yang adil dan mensejahterakan petani melalui reforma agraria tidak dijalankan," katanya dalam keterangan tertulis, Selasa, 24 September 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di sisi lain, ia mengatakan bahwa pemerintah serta pemodal justru semakin gencar melestarikan penindasan terhadap para petani. Penindasan itu, katanya, berakibat buruk pada kesejahteraan kebanyakan petani di Tanah Air.
"Petani tidak memiliki tanah, pengetahuan, sarana produksi, teknologi, infrastruktur yang memadai dan pasar yang melindungi," ucapnya.
Ia menuturkan dampak yang dialami petani itu yang menjadi sumber utama masalah mengapa Indonesia tak bisa terbebas dari kemiskinan dan krisis sistemik lainnya. "Kami juga hendak menyampaikan kepada seluruh rakyat Indonesia bahwa sepanjang satu dekade ini telah terjadi kejatahan sistematis terhadap konstitusi agraria," ucap Dewi.
Tak hanya abai terhadap konstitusi agraria, Dewi mengungkapkan, kepala negara telah merusak sendi-sendi demokrasi dan reformasi. Dia menyebut, masih adanya ancaman terhadap kebebasan petani dalam berserikat yang dilakukan oleh pemerintahan Jokowi.
"Pemerintahan ini telah mengkhianati reformasi yang susah payah dibangun oleh darah dan keringat rakyat pada 1998," katanya.
Menurut dia, pelemahan demokrasi oleh pemerintah ini bertujuan untuk mempermudah kroni kekuasaan yang bekerja sama dengan pengusaha, agar bisa merampas tanah petani. Pemerintah juga, katanya, telah berkolaborasi untuk terus-menerus merampas kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil, hutan, hingga wilayah masyarakat adat.
Karena itu, ia mewakili para petani, nelayan, buruh, hingga masyarakat adat menuntut pemerintah agar menjalankan reforma agraria secepat mungkin. Sebab, ujarnya, hal itu telah diamanatkan dalam konstitusi serta Undang-undang Pokok Agraria 1960.