Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Peristiwa Reformasi Mei 1998 dari Kaca Mata Mendiang Salim Said

Mendiang Salim Said mewariskan catatan tentang Peristiwa Mei 1998 dalam bukunya, "Dari Gestapu ke Reformasi: Rangkaian Kesaksian".

21 Mei 2024 | 10.45 WIB

Salim Said dalam acara hasil survei tantangan calon presiden populer dua tahun menjelang Pilpres 2014 yang diselenggarakan oleh Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), di Hotel Four Seasons, Jakarta, Minggu (8/7). TEMPO/Dhemas Reviyanto
material-symbols:fullscreenPerbesar
Salim Said dalam acara hasil survei tantangan calon presiden populer dua tahun menjelang Pilpres 2014 yang diselenggarakan oleh Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), di Hotel Four Seasons, Jakarta, Minggu (8/7). TEMPO/Dhemas Reviyanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Peristiwa Reformasi Mei 1998 menjadi awal baru bagi formasi pemerintahan Indonesia. Sejumlah daerah di Indonesia bergejolak menuntut adanya reformasi dan mendorong Presiden Soeharto lengser. Namun, aksi-aksi itu diwarnai dengan tragedi yang memakan korban akibat tindakan represif aparat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Selama ini, cerita-cerita kelamnya Reformasi 1998 banyak diungkapkan oleh orang-orang di luar pemerintahan. Tetapi, lewat tulisan mendiang Salim Said, Tokoh Pers dan Perfilman Nasional serta mantan Duta Besar RI untuk Republik Ceko, kita jadi tahu apa yang sebenarnya terjadi di tubuh Orde Baru kala itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Tulisan tentang peristiwa Mei 1998 tersebut tertuang dalam buku Dari Gestapu ke Reformasi: Rangkaian Kesaksian (2013). Dalam buku terbitan Mizan itu, pembaca bagai ikut terjun menyaksikan apa yang terjadi pada 14 Mei 1998 hingga lengsernya Soeharto pada 21 Mei 1998 dari sudut orang pemerintahan.

Salim Said mengungkapkan, ketika Jakarta terbakar pada 14 Mei 1998, dirinya sedang berada di Mabes ABRI, kini TNI, Cilangkap, Jakarta Timur. Bersama dengan beberapa pimpinan ABRI dan sejumlah kecil kaum cendekiawan— antara lain Nurcholish Madjid, Eep Saifullah, Indria Samego, dan Ryaas Rasyid— mereka diajak berdiskusi ihwal mengatasi krisis yang melanda Indonesia hari-hari itu.

Diskusi tidak bisa dilanjutkan karena telepon genggam Letnan Jenderal TNI Hari Sabarno, Ketua Fraksi ABRI di MPR, terus menerus berdering mengabarkan makin meluasnya kebakaran yang melanda Jakarta. Huru-hara sebenarnya sudah bermula secara terbatas sehari sebelumnya, tak lama setelah empat korban penembakan mahasiswa di Universitas Tri Sakti dimakamkan.

"Setelah Letnan Jenderal TNI Susilo Bambang Yudhoyono, Kepala Staf Sospol yang jadi tuan rumah rapat itu meninggalkan sidang secara mendadak, kami semua sepakat mengakhiri pertemuan," tulis Salim Said.

Agenda berikutnya adalah masuk kembali ke Jakarta. Ternyata tidak mudah. Huru-hara sudah mendekati dua pintu tol di pinggir timur Jakarta yang harus Salim Said lewati untuk masuk kota. Dengan susah payah, melewati jalan-jalan tikus dari arah Bekasi, akhirnya ia bisa tiba di rumahnya yang terletak di Cipinang Muara, Jakarta Timur. Selanjutnya, Salim Said hanya sanggup mengikuti berita terbakarnya Jakarta lewat sejumlah saluran televisi.

Saat peristiwa Mei 1998 terjadi, Salim Said mengaku sudah sekitar 50 tahun menetap di Jakarta. Dia sudah mengalami semua huru-hara yang pernah melanda Jakarta sejak menetap di ibu kota itu. Huru-hara yang akhirnya menjatuhkan Soeharto ini, kata dia, memang paling luar biasa seru dan mengerikan. Kebakaran dan penjarahan melanda semua penjuru dan kematian ratusan manusia tak terelakkan.

"Saya kira ini adalah ledakan kemarahan yang sudah terpendam bertahun-tahun sehingga tidak lagi mudah menuding siapa pencetusnya, siapa yang menunggangi, dan apa targetnya," tulis eks wartawan senior Tempo ini.

Selanjutnya: Salim Said terima kabar kematian Mahasiswa Trisakti

Salim Said mengaku, dirinya sedang bertamu di rumah Letnan Jenderal TNI Mohammad Yunus Yosiah ketika berita terbunuhnya empat mahasiswa Universitas Trisakti pada 12 Mei masuk lewat telepon genggamnya. Informan adalah sutradara film Chairul Umam, teman lama yang seorang anggota keluarganya adalah mahasiswa yang tewas sore hari itu.

Terbunuhnya empat mahasiswa itu mengingatkan Salim Said pada tewasnya Arief Rahman Hakim di depan Istana Merdeka pada hari-hari demonstrasi 1966. Entah Arief terkena peluru nyasar dari pasukan Cakrabirawa yang mengawal Istana atau peluru dari senjata mereka yang merencanakan penciptaan seorang martir, tidak pernah jelas sampai hari ini. Yang jelas hari tertembaknya Arief adalah titik berangkat jatuhnya Presiden Sukarno.

"Secara spontan, setelah menerima berita kematian mahasiswa Tri Sakti itu saya berkata kepada Jenderal Yunus, 'Kita sedang berada pada hari-hari terakhir rezim Orde Baru,'" katanya.

Presiden Soeharto berada di Kairo tatkala huru-hara terjadi. Salim Said menulis, bahkan sebelum Presiden mendarat di pangkalan udara Halim Perdanakusuma menjelang subuh 15 Mei, tidak seorang pun di antara mereka yang masih yakin rezim Orde Baru akan bertahan. Apalagi tekanan terus meningkat agar Soeharto mundur secepatnya. Di jalanan maupun di Gedung DPR/MPR, suara tuntutan itu makin nyaring.

Menjelang 20 Mei, Amien Rais, tokoh terpenting gerakan Reformasi dan tuntutan penurunan Soeharto waktu itu, mengumumkan agar pada 20 Mei seluruh rakyat membanjiri lapangan Monumen Nasional (Monas) untuk secara bersama meneriakkan agar Soeharto mundur. Agenda itu gagal digelar setelah Amien Rais ditelepon oleh petinggi TNI untuk membatalkan rencana. Agenda dikawatirkan menyulut tragedi yang lebih luas.

Aparat keamanan mempunyai alasan kuat ketika memutuskan mencegah pengumpulan massa di Monas. Yang ditakutkan oleh para petinggi militer, massa akan merangsek ke mana-mana. Padahal, di sekitar Monas terletak sejumlah gedung vital: Istana Kepresidenan, Markas Besar Angkatan Darat, Departemen Pertahanan, gedung Telkom, Studio Pusat RRI, Bursa Efek, dan sejumlah kantor kementerian lainnya.

Untuk mencegah berkumpulnya massa tersebut, militer memasang barikade di semua jalan menuju lapangan Monas dengan cara mengerahkan tank, panser, berbagai kendaraan militer lainnya, serta barikade kawat berduri. Dan tentu saja disertai sejumlah besar prajurit siap tempur. Amien Rais akhirnya memang membatalkan rencana pengumpulan massa itu. Tapi, tentara tak ingin mengambil risiko, dan Monas tetap ditutup dari segala penjuru.

"Dalam keadaan tertutup itulah saya mendapat telepon dari staf Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono untuk hadir pada 20 Mei, pukul 19.00 dalam sebuah rapat di Gedung Urip Sumohardjo di Kompleks Departemen Pertahanan dan Keamanan yang terletak di Jalan Merdeka Barat," tulis Salim Said.

Salim Said menghadiri undangan rapat itu. Namun mobilnya hanya bisa mengantar sampai ke Tugu Tani di Menteng Raya sebab di sanalah “garis perbatasan” terletak. Dari sana ia masuk ke wilayah Monas, melewati barikade, dengan mobil militer yang dikendarai oleh Mayor Benny, seorang staf kantor Kepala Staf Sosial Politik yang memang ditugaskan menjemputnya di “perbatasan”. Monas sepi, jalan-jalan lengang, dan yang bergerak hanya beberapa kendaraan militer. 

"“Penyeberangan” ke dalam wilayah Monas yang terjaga ketatmengingatkan saya pada peng alaman menyeberang dari Berlin Barat ke Berlin Timur yang saya alami per tama kali pada musim semi 1970," tulisnya.

Dalam rapat tersebut ternyata dibahas tentang kemungkinan Soeharto mundur dan sosok penggantinya. Wakil Presiden  BJ Habibie harus naik menurut peraturan perundang-undangan. Namun kala BJ Habibie kewibawaannya diragukan. Tapi, walau bagaimanapun, peraturan tetaplah peraturan.

"Kesokan harinya di Istana Kepresidenan, seperti sudah diketahui, Soeharto mengumumkan mundur dari jabatan yang didudukinya selama hampir 32 tahun. Dan Habibie langsung disumpah seba gai Pre siden ketiga Republik Indonesia," tulis Salim Said.

Adapun Salim Said, Tokoh Pers dan Perfilman Nasional serta mantan Duta Besar RI untuk Republik Ceko, meninggal dunia setelah sempat dirawat di RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Sabtu 18 Mei 2024 pukul 19.33 WIB. Kabar meninggalnya Salim Said dikonfirmasi oleh istrinya, Herawaty, dalam pesan singkat yang diterima sejumlah wartawan di Jakarta, Sabtu 18 Mei 2024.

Jenazah Salim Said akan disemayamkan di rumah duka di Jalan Redaksi Nomor 149, Kompleks Wartawan PWI, Cipinang, Jakarta Timur. Rencananya, jenazah Salim Said akan dimakamkan di TPU Tanah Kusir, Jakarta Selatan, pada Ahad, 19 Mei 2024 siang. Salim Said tutup usia pada umur 80 tahun. Ia merupakan akademikus yang lahir pada 10 November 1943 di Amparita Parepare, Kota Parepare, Sulawesi Selatan.

HENDRIK KHOIRUL MUHID  | HENDRIK YAPUTRA

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus