SEKITAR satu setengah tahun lalu, Menteri Agama pernah ditanya tentang kawin beda agama. Sang Menteri ketika itu Munawir Sjadzali menjawab, ''Tak ada perkawinan beda agama di sini.'' Maksud Munawir, ketika itu, Undang-Undang Perkawinan (UUP) 1974 hanya mengatur perkawinan campur yang berkaitan dengan perkawinan antarwarga negara (Pasal 57 UUP). Sementara itu, perkawinan antara pasangan yang berbeda agama, misalnya di DKI Jakarta, jumlahnya terus meningkat. Itu terhitung sejak 1974, yakni sejak berlakunya UUP 1974. Pada tahun 1970 ada 10 pasangan, tahun 1979 ada 80 pasangan, dan tahun 1986 ada 491 pasangan, sekadar contoh. Bagaimana mengatasi persoalan ini? Adalah Ichtianto S.A., 52 tahun, dosen hukum Islam di Universitas Indonesia, secara tak langsung, mencoba mencari jalan pemecahannya. Paling tidak, upaya Ichtianto itu berguna di lingkup akademis. Jawaban Ichtianto itu tertuang dalam bentuk disertasi yang berhasil dipertahankannya dengan sangat memuaskan di hadapan sidang terbuka Senat Guru Besar UI, Selasa pekan lalu. Selama ini, persisnya sejak berlakunya UUP 1974, menurut penelitian Ichtianto, terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ahli dan praktisi hukum tentang perkawinan campur beda agama. Perbedaan itu terletak pada pemahaman Pasal 57 UUP: ''Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan, dan salah satu pihak berwarga negara Indonesia.'' Itu sebabnya berkembang pendapat bahwa UUP belum mengatur perkawinan antaragama. Bahkan, ada pendapat, UUP tak mengatur perkawinan campur antaragama. Alasannya, setiap agama memiliki ketentuan sendiri yang melarang perkawinan antaragama. Yang berpendapat demikian di antaranya Hakim Agung Bismar Siregar dan K.H. Hasan Basri. Itu, menurut Ichtianto, menyebabkan terjadinya kekosongan hukum. Artinya, tak ada pelayanan hukum terhadap perkawinan pasangan beda agama. Tampaknya, pendapat inilah yang banyak berkembang. Karena itu, jarang Kantor Urusan Agama berani mengawinkan calon pengantin yang berbeda agama. Menurut Ichtianto, yang juga ahli peneliti madya bidang kehidupan beragama di Departemen Agama, tak ada kekosongan dalam UUP 1974. Bagi Ichtianto, peraturan perkawinan yang lama (GHR), sebelum UUP 1974 berlaku, bisa digunakan sepanjang UUP tak mengaturnya. Di sini, Ichtianto menengok ke Pasal 6 GHR Tahun 1898 yang menegaskan pelaksanaan perkawinan campuran menurut satu hukum, yakni hukum agama suami. Dalam Islam juga berlaku hukum suami. Quran, kata Ichtianto, memakai hukum pria untuk perkawinan pria muslim dengan wanita bukan muslim. Itu sesuai dengan isi Surat Al Maidah Ayat 5: ''Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembilahan) ahli kitab halal bagimu, dan makananmu halal bagi mereka. Juga halal bagimu wanita mukminah dan wanita kitabi, dan seterusnya.'' Jadi, laki-laki Islam dibolehkan kawin dengan wanita nonmuslim, tapi dengan syarat: perkawinan itu tak boleh menghancurnya keyakinan agamanya. Bagaimana untuk wanita muslim yang mau menikah dengan lelaki non-Islam? Itu, kata Ichtianto, dilarang menurut hukum Islam. Dengan kata lain, hukumnya haram. Larangan itu, antara lain, ditemukan dalam Surat Al Baqarah Ayat 221 dan Surat Al Mumtahanah Ayat 10. Itu, menurut Ichtianto, telah disepakati oleh ulama Sunni dan Syiah. Bahkan, telah diterapkan, antara lain, dalam undang-undang perkawinan di Yordania, Irak, Maroko, Iran, India, dan Malaysia. Karena itu, kata Ichtianto, bila ada wanita Islam yang ingin kawin dengan penganut agama lain, itu bisa terlaksana menurut hukum agama lain, yakni agama sang suami. Tapi, menurut hukum Islam, perkawinan itu tidak sah. Menurut Ichtianto, terungkap asas bahwa yang berlaku dalam perkawinan adalah hukum suami. Prof. Rachmat Djatnika, ahli hukum Islam yang ikut menguji Ichtianto, menilai disertasi Ichtianto itu mendukung pendapat Majelis Ulama Indonesia, juga kalangan umum. Misalnya, pendapat yang mengatakan pernikahan harus di tempat suami. Namun, Djatnika tak setuju pada penerapan Pasal 6 Ketentuan Perkawinan Campuran 1898 itu. Sebab, menurut Djatnika, kawin campur dapat dilakukan menurut hukum suami atau kesepakatan kedua calon pengantin. Namun, ''Ketentuan itu tak berlaku (tak diakui) oleh hukum Islam. Dasarnya, ya, kembali ke Pasal 2 Ayat 1 UUP, '' kata Prof. Djatnika kepada wartawan TEMPO Happy Sulistiadi. Tampaknya, dalam hal ini, Djatnika sependapat dengan Prof. Ibrahim Hossen, ahli hukum Islam yang menjabat Ketua Majelis Ulama Indonesia. Bagi Ibrahim, Pasal 2 Ayat 1 sudah jelas, tak perlu lagi ditafsirkan seperti yang dilakukan Ichtianto. Prof. Ali Yafie, ulama yang tergolong membolehkan lelaki muslim kawin dengan wanita ahli kitab, tak melihat aneh bila kawin beda agama tak ada tempat dalam UUP 1974. ''Itu biasa saja, '' kata Ali Yafie. Hal itu, katanya, juga terjadi di negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Katolik. Filipina, misalnya, menolak terjadinya perkawinan beda agama sehingga ada di antara warganya pergi melakukan pernikahan ke Singapura. Julizar Kasiri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini