NYANYIAN silih berganti. Dari yang lembut sampai yang
bersemangat, mirip musik rock. Dan sekitar 200 orang di ruang
Panti Surya Room Hotel Aryaduta itu pun bertepuk tangan.
Tapi ini bukan acara perayaan ulang tahun. Nyanyian yang
dikumandangkan adalah nyanyian kudus dalam Kebaktian Kristen
Karismatik tiap Minggu dan Kamis di salah satu ruang hotel tadi.
Para jemaat itu, menurut Pendeta Suwandoko, 36 tahun, salah
seorang yang memimpin kebaktian di situ, merupakan kelompok
karismatik pertama di Indonesia. Dulu, 1968, kelompok ini
memulai kegiatannya di Hotel Indonesia. Pindah ke Aryaduta baru
dua tahun yang lalu.
Sesudah Konvensi Pemimpin Pembaharuan Karismatik Katolik I pada
Juni yang lalu, melalui satu penelitian Lembaga Penelitian dan
Studi (LPS) Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI) tentang
gerakan karismatik (1980), agaknya gerakan karismatik semakin
banyak diikuti warga gereja. Tapi, karena sifatnya yang tak
melembaga itu, sulit dihitung naik-turun jumlah pengikutnya.
Juga, awal mula gerakan ini muncul di Indonesia agak susah
dilacak. Namun yang menarik, ada perbedaan penerimaan karismatik
di kalangan Protestan dan Katolik.
Menurut hasil penelitian LPS-DGI, kelompok karismatik di
kalangan gereja Protestan muncul sekitar 1965. Bermula di Timor,
lantas menyebar ke Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi.
Keimanan Ekstrim
Itu dibenarkan Drs. Medellu, 59 tahun, anggota Gereja Protestan
Indonesia Bagian Barat. Menurut bekas anggota Badan Pekerja
Harian DGI (1978-1981) ini, beberapa hari menjelang 30 September
1965 suatu kebaktian di sebuah gereja di So'e, sebuah kota
kecamatan di Pulau Timor, turun Roh Kudus. Maka di gereja itu
bagaikan terulanglah peristiwa Pantekosta beberapa hari setelah
Yesus disalib. Para jemaat tiba-tiba mengucapkan doa dalam
bahasa yang tak mereka kenal. Roh Kudus telah masuk dalam diri
mereka--mereka telah mengalami yang disebut permandian Roh
Kudus, kata Medellu.
Sejak itulah beberapa penginjil lantas menyebar, mengabarkan
peristiwa tersebut sembari mengadakan kebaktian yang disebut
Kebaktian Kebangunan Rohani. Dan kalau kemudian kelompok
kebaktian yang khas ini disebut kelompok karismatik, "nama itu
disesuaikan dengan nama gerakar yang sejenis dari luar negeri
yang telah ada terlebih dulu," kata Medellu pula.
Karismatik di kalangan Katolik, agaknya lebih jelas munculnya.
Sewaktu dua pastor dari Filipina pendukung karismatik, Pastor
O'Brien dan Pastor Schneider, mengadakan kebaktian di Jakarta
sejak itulah, 1976, muncul pengikut kelompok ini di Indonesia,
Tak hanya awal mula yang berbeda, ternyata sikap masing-masing
gereja pun berbeda. Gereja Protestan cenderung menolak gerakan
karismatik. Dari hasil angket LPS-DGI terhadap sejumlah Gereja
Protestan, disimpulkan: gerakan ini dianggap "merugikan
persekutuan jemaat". Ketidaksetujuan gereja ini' terutama
berdasar anggapan, bahwa karismatik "mengajar para jemaat
pengertian keimanan Kristen secara ekstrim."
Gereja Katolik lebih bersikap merangkul kelompok karismatik.
Dasarnya: di Amerika Serikat karismatik mulai memasuki Gereja
Katolik sekitar 1966. Tiga tahun kemudian pihak Gereja Katolik
di sana mengadakan penelitian soal itu. Hasilnya ternyata
bernada positif. "Gerakan ini menimbulkan pengertian kekristenan
lebih mendalam, membawa kemajuan rohani," begitu kesimpulan Mgr.
Alexander Zaleski, yang waktu itu menjadi uskup daerah Michigan
yang mengetuai penelitian itu.
Bahkan kemudian, pada amanatnya kepada para kardinal, 21
Desember 1973, Paus Paulus VI mengatakan centang kelompok
karismatik ini: "Hembusan Roh Kudus telah datang untuk
membangkitkan ini kekuatan yang tertidur di dalam gereja."
Dan puncaknya, pada Kongres Karismatik Internasional 1975, Paus
Paulus VI tanpa ragu-ragu merestui dan menyatakan kelompok
karismatik memang dibangkitkan Roh Kudus sendiri. " . . .
lebih-lebih di zaman sekarang ini baik gereja maupun dunia
membutuhkan berlangsungnya kembali mukjizat Pantekosta,"
demikian Paus Paulus VI almarhum.
Kristen Karismatik (baik Protestan maupun Katolik) agaknya
memang merindukan kembalinya peristiwa Pantekosta, yaitu
peningkatan kehidupan kerohanian lewat satu penyerahan total
kepada Allah. Tapi, apakah gereja selama ini tak memberikan itu?
Hasil penelitian LPS-DGI mengatakan, para penganut karismatik
memandang gereja sekarang ini "terlalu menyibukkan diri dengan
soal organisatoris, struktural, kekuasaan duniawi, sehingga
mengabaikan pembinaan kerohanian jemaat." Atau, menurut Pastor
Hendrik Antonius Marie Pennock, 60 tahun, salah seorang tokoh
Karismatik Katolik di Indonesia, "kini gereja, dilihat secara
umum, memang mengalami krisis kehidupan rohani. Ada kedinginan
rohani."
Agaknya memang kekosongan spirituallah yang menyuburkan
kelompok karismatik. Sebagaimana cerita Dr. S.A.E. Nababan,
Sekretaris Umum DGI, munculnya karismatik di Amerika pada
awalnya merupakan reaksi terhadap "tiadanya kebahagiaan rohani,
meskipun mereka makmur." Dan sebab yang lain "karena gereja
zaman sekarang lebih menekankan rasionalisme daripada iman
kepada Tuhan." Sehingga, tutur Nababan lebih lanjut, tak
mengherankan kalau kemudian mereka berpaling, dan lebih
menekankan peranan Roh Kudus dalam kebaktianmereka. Padahal, Roh
Kudus hanya merupakan oknum ketiga dari Tri Tunggal Allah.
Kesombongan Rohani
Memang. Para pengikut karismatik, biasanya akan bercerita
bagaimana mercka mengalami perubahan rohani setelah mengikuti
kebaktian karismatik. Sejak itu lantas rajin membaca Kitab Suci.
Ada yang mengatakan, setelah itu serasa ketenteraman ada dalam
keluarganya selalu. Seorang ibu yang tak pernah bercerita kepada
anak-anaknya, setelah mengikuti kebaktian karismatik selalu
menceritakan satu cerita dari Kitab Suci menjelang anaknya
tidur.
Toh, ada yang dinilai Nababan sebagai yang negatif. "Mereka
kemudian biasanya dijangkiti kesombongan rohani, merasa lebih
Kristen dari yang lain," tutur Nababan. Pada konvensi Karismatik
Katolik yang lalu pun, Mgr. Leo Soekoto Sj. mengingatkan kembali
pesan Paus Paulus VI agar kelompok karismatik tetap "setia
kepada ajaran iman yang autentik. " Dan jangan sampai terjatuh
ke dalam "minat karismatik yang berlebihan."
Yang jelas, kelompok karismatik sesungguhnya bukan satu sekte
dari gereja, melainkan merupakan "gerakan spiritual" saja.
Karena itu mereka tak melepaskan diri dari gereja masing-masing.
Medellu yang kini menjadi dosen di PTIK misalnya, masih
menyatakan sebagai anggota GPIB. Juga peserta kebaktian
karismatik di Hotel Aryaduta masih tetap setia mengikuti
kebaktian di gereja masing-masing. Karena itu susah sekali
menghitung berapa banyak kelompok karismatik sekarang.
Nababan, di samping keberatannya, pun melihat aspek positif dari
munculnya kelompok ini. "Ada pesan yang dibawa gerakan
karismatik, ialah seharusnya gereja memperhatikan hal-hal yang
terbengkalai," kata Sekum DGI itu.
Walhasil, kelompok karismatik -yang acara kebaktiannya mirip
kebaktian Gereja Pantekosta bebas berekspresi -- memang menarik
bagi yang merindukan kehidupan rohani langsung, yang tidak
"diatur oleh dogma gereja yang dibuat manusia itu," tutur
Medellu lagi. Maka, baginya, istilah karismatik sebenarnya
kurang pas. "Yang tepat sebetulnya istilah Alkitabiah, artinya
kita kembali kepada Alkitab."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini