Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Permandian yang dirindukan

Gerakan kristen karismatik di indonesia mulai berkembang, perbedaan sikap antara gereja protestan dan katolik.

5 September 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NYANYIAN silih berganti. Dari yang lembut sampai yang bersemangat, mirip musik rock. Dan sekitar 200 orang di ruang Panti Surya Room Hotel Aryaduta itu pun bertepuk tangan. Tapi ini bukan acara perayaan ulang tahun. Nyanyian yang dikumandangkan adalah nyanyian kudus dalam Kebaktian Kristen Karismatik tiap Minggu dan Kamis di salah satu ruang hotel tadi. Para jemaat itu, menurut Pendeta Suwandoko, 36 tahun, salah seorang yang memimpin kebaktian di situ, merupakan kelompok karismatik pertama di Indonesia. Dulu, 1968, kelompok ini memulai kegiatannya di Hotel Indonesia. Pindah ke Aryaduta baru dua tahun yang lalu. Sesudah Konvensi Pemimpin Pembaharuan Karismatik Katolik I pada Juni yang lalu, melalui satu penelitian Lembaga Penelitian dan Studi (LPS) Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI) tentang gerakan karismatik (1980), agaknya gerakan karismatik semakin banyak diikuti warga gereja. Tapi, karena sifatnya yang tak melembaga itu, sulit dihitung naik-turun jumlah pengikutnya. Juga, awal mula gerakan ini muncul di Indonesia agak susah dilacak. Namun yang menarik, ada perbedaan penerimaan karismatik di kalangan Protestan dan Katolik. Menurut hasil penelitian LPS-DGI, kelompok karismatik di kalangan gereja Protestan muncul sekitar 1965. Bermula di Timor, lantas menyebar ke Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. Keimanan Ekstrim Itu dibenarkan Drs. Medellu, 59 tahun, anggota Gereja Protestan Indonesia Bagian Barat. Menurut bekas anggota Badan Pekerja Harian DGI (1978-1981) ini, beberapa hari menjelang 30 September 1965 suatu kebaktian di sebuah gereja di So'e, sebuah kota kecamatan di Pulau Timor, turun Roh Kudus. Maka di gereja itu bagaikan terulanglah peristiwa Pantekosta beberapa hari setelah Yesus disalib. Para jemaat tiba-tiba mengucapkan doa dalam bahasa yang tak mereka kenal. Roh Kudus telah masuk dalam diri mereka--mereka telah mengalami yang disebut permandian Roh Kudus, kata Medellu. Sejak itulah beberapa penginjil lantas menyebar, mengabarkan peristiwa tersebut sembari mengadakan kebaktian yang disebut Kebaktian Kebangunan Rohani. Dan kalau kemudian kelompok kebaktian yang khas ini disebut kelompok karismatik, "nama itu disesuaikan dengan nama gerakar yang sejenis dari luar negeri yang telah ada terlebih dulu," kata Medellu pula. Karismatik di kalangan Katolik, agaknya lebih jelas munculnya. Sewaktu dua pastor dari Filipina pendukung karismatik, Pastor O'Brien dan Pastor Schneider, mengadakan kebaktian di Jakarta sejak itulah, 1976, muncul pengikut kelompok ini di Indonesia, Tak hanya awal mula yang berbeda, ternyata sikap masing-masing gereja pun berbeda. Gereja Protestan cenderung menolak gerakan karismatik. Dari hasil angket LPS-DGI terhadap sejumlah Gereja Protestan, disimpulkan: gerakan ini dianggap "merugikan persekutuan jemaat". Ketidaksetujuan gereja ini' terutama berdasar anggapan, bahwa karismatik "mengajar para jemaat pengertian keimanan Kristen secara ekstrim." Gereja Katolik lebih bersikap merangkul kelompok karismatik. Dasarnya: di Amerika Serikat karismatik mulai memasuki Gereja Katolik sekitar 1966. Tiga tahun kemudian pihak Gereja Katolik di sana mengadakan penelitian soal itu. Hasilnya ternyata bernada positif. "Gerakan ini menimbulkan pengertian kekristenan lebih mendalam, membawa kemajuan rohani," begitu kesimpulan Mgr. Alexander Zaleski, yang waktu itu menjadi uskup daerah Michigan yang mengetuai penelitian itu. Bahkan kemudian, pada amanatnya kepada para kardinal, 21 Desember 1973, Paus Paulus VI mengatakan centang kelompok karismatik ini: "Hembusan Roh Kudus telah datang untuk membangkitkan ini kekuatan yang tertidur di dalam gereja." Dan puncaknya, pada Kongres Karismatik Internasional 1975, Paus Paulus VI tanpa ragu-ragu merestui dan menyatakan kelompok karismatik memang dibangkitkan Roh Kudus sendiri. " . . . lebih-lebih di zaman sekarang ini baik gereja maupun dunia membutuhkan berlangsungnya kembali mukjizat Pantekosta," demikian Paus Paulus VI almarhum. Kristen Karismatik (baik Protestan maupun Katolik) agaknya memang merindukan kembalinya peristiwa Pantekosta, yaitu peningkatan kehidupan kerohanian lewat satu penyerahan total kepada Allah. Tapi, apakah gereja selama ini tak memberikan itu? Hasil penelitian LPS-DGI mengatakan, para penganut karismatik memandang gereja sekarang ini "terlalu menyibukkan diri dengan soal organisatoris, struktural, kekuasaan duniawi, sehingga mengabaikan pembinaan kerohanian jemaat." Atau, menurut Pastor Hendrik Antonius Marie Pennock, 60 tahun, salah seorang tokoh Karismatik Katolik di Indonesia, "kini gereja, dilihat secara umum, memang mengalami krisis kehidupan rohani. Ada kedinginan rohani." Agaknya memang kekosongan spirituallah yang menyuburkan kelompok karismatik. Sebagaimana cerita Dr. S.A.E. Nababan, Sekretaris Umum DGI, munculnya karismatik di Amerika pada awalnya merupakan reaksi terhadap "tiadanya kebahagiaan rohani, meskipun mereka makmur." Dan sebab yang lain "karena gereja zaman sekarang lebih menekankan rasionalisme daripada iman kepada Tuhan." Sehingga, tutur Nababan lebih lanjut, tak mengherankan kalau kemudian mereka berpaling, dan lebih menekankan peranan Roh Kudus dalam kebaktianmereka. Padahal, Roh Kudus hanya merupakan oknum ketiga dari Tri Tunggal Allah. Kesombongan Rohani Memang. Para pengikut karismatik, biasanya akan bercerita bagaimana mercka mengalami perubahan rohani setelah mengikuti kebaktian karismatik. Sejak itu lantas rajin membaca Kitab Suci. Ada yang mengatakan, setelah itu serasa ketenteraman ada dalam keluarganya selalu. Seorang ibu yang tak pernah bercerita kepada anak-anaknya, setelah mengikuti kebaktian karismatik selalu menceritakan satu cerita dari Kitab Suci menjelang anaknya tidur. Toh, ada yang dinilai Nababan sebagai yang negatif. "Mereka kemudian biasanya dijangkiti kesombongan rohani, merasa lebih Kristen dari yang lain," tutur Nababan. Pada konvensi Karismatik Katolik yang lalu pun, Mgr. Leo Soekoto Sj. mengingatkan kembali pesan Paus Paulus VI agar kelompok karismatik tetap "setia kepada ajaran iman yang autentik. " Dan jangan sampai terjatuh ke dalam "minat karismatik yang berlebihan." Yang jelas, kelompok karismatik sesungguhnya bukan satu sekte dari gereja, melainkan merupakan "gerakan spiritual" saja. Karena itu mereka tak melepaskan diri dari gereja masing-masing. Medellu yang kini menjadi dosen di PTIK misalnya, masih menyatakan sebagai anggota GPIB. Juga peserta kebaktian karismatik di Hotel Aryaduta masih tetap setia mengikuti kebaktian di gereja masing-masing. Karena itu susah sekali menghitung berapa banyak kelompok karismatik sekarang. Nababan, di samping keberatannya, pun melihat aspek positif dari munculnya kelompok ini. "Ada pesan yang dibawa gerakan karismatik, ialah seharusnya gereja memperhatikan hal-hal yang terbengkalai," kata Sekum DGI itu. Walhasil, kelompok karismatik -yang acara kebaktiannya mirip kebaktian Gereja Pantekosta bebas berekspresi -- memang menarik bagi yang merindukan kehidupan rohani langsung, yang tidak "diatur oleh dogma gereja yang dibuat manusia itu," tutur Medellu lagi. Maka, baginya, istilah karismatik sebenarnya kurang pas. "Yang tepat sebetulnya istilah Alkitabiah, artinya kita kembali kepada Alkitab."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus