TIGA orang rakyat kecil bulan ini tewas akibat tembakan petugas.
Seorang di antaranya, Suratmi, gadis kecil 11 tahun, ditembak
Kapten Inf. S. Sibero ketika bocah itu mengambil kelapa sawit di
perkebunan Mayang, PTP VII Sum-Ut. Korban selanjutnya Walter
Pandiangan, tertembak ketika Koptu Pol. P.W. Sinaga menggerebek
penjudi di Sidikalang Sum-Ut. Dan Chudori, tewas tertembak Sertu
Pol. Totok Soekarto, karena disangka pencuri sapi di Lumajang
Ja-Tim.
Sore itu, hutan sawit di perkebunan Mayang, PTP VII, Bahjambi
sekitar 90 km dari Pematangsiantar, Sumatera Utara sudah sepi.
Buruh-buruh sudah pulang, karena sudah pukul 16.00. Tiba-tiba
suara sebuah tembakan memecah kesunyian hutan. Terdengar pekik
ketakutan anak-anak. Tak berapa lama disusul dua bunyi tembakan
lagi.
Hutan itu kembali sunyi. Tiga jam kemudian di sebuah jurang di
hutan itu ditemukan sesosok tubuh, mayat seorang anak perempuan,
Suratmi 11 tahun, dengan luka akibat peluru yang menembus
ubun-ubun sampai bagian bawah telinganya. Tangan dan kakinya
terikat sobekan kain.
Seperti biasanya, hari itu, sepulang sekolah, Suratmi bersama
tiga orang temannya mencari sisa-sisa buah kelapa sawit yang
tercecer di tanah. Buah yang sudah membusuk itu mereka kumpulkan
guna memarakkan api di dapur. Perkebunan itu memang berjarak
sekitar 1 km dari rumah mereka di Desa Parputaran, Kecamatan
Marihatbutar, Kabupaten Simalungun. Tetapi waktu itu belum
banyak kepala sawit yang berhasil dikumpulkan uratmi. Tiba-tiba
muncul seorang lelaki berpakaian hijau yang belakangan dikenal
bernama. Kapten Inf.Sibero.
Tanpa diketahui anak-anak itu dari mana munculnya, Sibero dengan
pistol di tangan, menembak: "Apa yang kalian lakukan, mencuri
buah sawit, ya!" Anak-anak itu terkesiap, kaget, dan "dor"
tiba-tiba terdengar letusan. Bocah-bocah itu menjerit-jerit
sambil bubar ketakutan. Mereka lari beradu cepat sambil
menangis.
Namun seorang di antaranya, Suratmi belum sempat lari sudah
terjatuh dengan teriakan "aduh", seperti dituturkan temannya
Misiah, 10 tahun, murid kelas 3 SD. Semula Misiah mengira,
Suratmi sengaja tengkurap. Sebab itu Misiah memperingatkan: "Mi,
ayo lari, dia membawa senjata." Tetapi Suratmi tak terlihat lagi
oleh teman-temannya, yang terus berlari. Sambil berlari pulang,
Misiah masih mendengar dua kali letusan Iagi.
Sesampai di rumah, Misiah memberitahu orangtua Suratmi, Sarman
35 tahun. Sarman segera mencari anaknya ke tempat kejadian, tapi
ia tidak menemukan Suratmi. Kecuali sebuah bakul berisi beberapa
butir kelapa sawit yang ia kenal milik anaknya. Sarman mengira
anaknya tertangkap, karena itu ia datangi pos Hansip perkebunan.
Anggota Hansip yang berjaga hari itu hanya menggelengkan kepala.
Begitu pula ketika Sarman menemui Perwira Pengaman Perkebunan,
Kapten Inf. S. Sibero. "Tidak ada orang yang kami tangkap sore
ini," jawab Sibero tenang. Di kantor polisi, barulah Sarman tahu
anaknya sudah tiada. Malam itu juga penduduk mendatangi Sibero.
Tetapi perwira ini sudah "diselamatkan," dan diserahkan
komandannya, Kolonel P. Setepu kepada Kodim 0201, Simalungun.
Dalam pemeriksaan sementara, Sibero (48 tahun) mengaku menembak
bocah itu.
S. Sibero, berperawakan tinggi, besar dan buncit, memang dikenal
keras terhadap bawahan maupun orang yang dianggapnya salah.
Menurut seorang anggota Hansip bawahannya, P. Sitepu, perwira
itu paling senang membuang peluru. Pernah senjatanya diletuskan
hanya untuk membangunkan seorang anggota Hansip yang tertidur
ketika sedang bertugas. "Senjata itu tidak diarahkan ke atas,
tapi persis di sisi telapak kaki Hansip yang tidur itu," ujar
Sitepu.
Tembakan peringatan terhadap orang yang diduganya mencuri, juga
tidak ke atas, melainkan ke sisi-sisi badan orang itu. Pernah,
seorang wanita terkencing kencing akibat menjadi bulan-bulanan
tembakan Sibero. Sebab itu pula, kata Sitepu, perwira yang baru
3 bulan bertugas di perkebunan itu dikenal anak buahnya dengan
sebutan "koboi Sibero".
Tepat pada HUT Kemerdekaan RI baru lalu, seorang lagi korban
tembakan petugas di Sidikalang, Kabupaten Dairi, 200 km dari
Medan. Kali ini, Walter Pandiangan, 30 tahun, tewas akibat
tembakan Koptu P.W. Sinaga, ketika polisi itu menggerebek
perjudian "Jekker", sejenis permainan dadu.
Hari itu, P.W. Sinaga berusaha menangkap penjudi-penjudi yang
sedang asyik main. Tetapi mereka keburu lari, kecuali Walter
Pandiangan. Bapak lima orang anak itu, malah masih mengumpulkan
uang dan alat-alat judi ketika Sinaga datang. Bahkan menurut
Kasi Pendak 11 Sum-Ut, Letkol Dzahiri Daoed, Walter melawan dan
berusah a merebut senjata Sinaga. Tidak jelas prosesnya,
ternyata Walter tertembak, dan tewas akibat peluru menembus
kepalanya.
Kasus penembakan oleh petugas terjadi pula di Lumajang, Jawa
Timur. Malam 14 Agustus lalu sekitar pukul 24.00 di Desa
Dadapan, lereng Gunung Bromo, Kecamatan Gucialit, sudah sunyi
senyap di kelelapan malam. Namun ada 4 orang laki-laki berdiri
di tepi jalan desa yang terjal. Mereka yang bersenjata tajam itu
terdiri dari Sutadji (Carik Dadapan), Bunadi (Kabayan desa),
Sunardi (Mantri polisi) dan Sersan Satu Pol. Totok Soekarto.
Chudori
Soekarto ditugasi Kores Lumajang menangkap Selam, yang diduga
gembong pencurian sapi di Desa Dadapan. Menurut info dari
pencuri sapi yang telah tertangkap, Kerok, Selam ada di Desa
Dadapan dan mempunyai sepeda motor.
Keempat petugas itu merasa malam itu buronan mereka sudah masuk
jaring. Sebab itu, ketika menjelang dini hari ada bunyi mesin
sepeda motor, mereka yakin itu pasti Selam. "Maklumlah, masa
'kan penduduk yang keluar semalam itu," ujar Sutardji.
Totok memberikan isyarat agar pengendara yang memboncengkan
seseorang itu berhenti dengan senter. Tetapi ketika sudah dekat,
pengendara motor memacu kendaraannya. Dengan sigap Totok
mencabut revolvernya. Menurut Danres Lumajang, Letkol R.
Soebiyantoro tiga kali tembakan peringatan, motor itu tidak
berhenti. Tembakan ke empat, di jarak 100 meter, barulah kedua
pengendara rubuh bersama motornya. Setelah didekati, ternyata
yang tertembak bukan Selam, melainkan Chudori bersama iparnya,
Rais. Chudori yang malam itu pulang dari menghadiri halal
bihalal ranting NU Runuwurung, tewas seketika, dan iparnya Rais
menderita luka-luka.
Rais yang baru sembuh dari luka-lukanya setelah dirawat seminggu
di RSmmengatakan, malam itu dari jarak sekitar 3 km ia sudah
melihat sekelompok orang memberi isyarat untuk menghentikan
motornya. Tetapi ia berniat kabur," karena waktu itu saya
memastikan orang-orang itu berniat jahat," ujarnya. Apalagi,
semua lelaki yang mencegatnya itu kelihatan membawa senjata
tajam, di antaranya celurit. Yang disesalkannya, tidak seorang
pun dari pimpinan desa dan polisi yang menghadiri penguburan
Chudori --dan semua biaya ditanggung keluarga.
Kenapa semua harus main tembak? "Itulah risiko seorang petugas
keamanan," kata Danres Lumajang Letkol. Pol. Soebiyantoro.
Menurut Soebiyantoro, anak buahnya itu sekarang sudah dita han
di tahanan militer. Berkas perkara Totok Soekarto juga sudah
disusun untuk diajukan ke Mahkamah Militer.
Nasib yang sama juga dialami S. Sibero yang menembak gadis kecil
Suratmi. Perkaranya siap diajukan ke Mahkamah Militer. "Kami
sudah serahkan ke Laksusda Medan untuk diproses," ujar Kolonel
Wasiman, Dan Refort Militer 021 Pantai Timur, Pematang Siantar.
Menurut sumber TEMPO, Sibero sekarang ditahan di Jalan Gandhi
Medan, tempat residivis-residivis mendekam.
Menurut Kolonel Wasiman senjata yang digunakan S. Sibero, jenis
FN, berasal dari kesatuannya semula di Dodipasamor Medan.
Setelah MPP, Sibero dikaryakan sebagai petugas keamanan di
perkebunan Mayang. Seharusnya, kata Wasiman, Sibero tidak lagi
memegang senjata, karena telah MPP. Adanya senjata di tangannya
belum dilaporkan kepada Wasiman. "Dia diberi senjata itu bukan
untuk main tembak begitu ," ujar Wasiman. Tentu saja.
Seperti Sibero dan Totok,P.W.Sinaga juga akan diselesaikan
menurut hukum yang berlaku, kata Kadapol 11 Sum-Ut Brigjen ]FR
Montolalu. Menurut Kadapol, "tidak ada perintah tembak di tempat
terhadap penjahat apa pun, kecuali pada saat-saat terdesak dan
mengancam keselamatan petugas."
Kriteria yang sama juga disampaikan Kadispen Mabak, Brigjen Pol
Darmawan. Polri baru boleh melakukan penembakan, "dalam keadaan
noodweer atau ovewneht," ujar Darmawan -- artinya dalam keadaan
terpaksa. Menurut Darmawan, Polri dipersenjatai sebab dalam
tugasnya melindungi rakyat, mungkin berhadapan dengan
penjahat-penjahat yang bersenjata lebih baik.
Seorang polisi tutur perwira tinggi ini, di lapangan diperlukan
intelegensia tinggi untuk membaca situasi, sehingga dapat
memutuskan "perlu atau tidaknya penembakan." Misalnya, kalau
penjahatnya masih bisa dikejar dengan membonceng motor orang,
polisi belum perlu menembak. Karena itu dalam setiap penembakan,
apa pun alasannya, harus diusut: apakah oknum polisi itu sudah
pantas menembak atau belum. Kalau tidak perlu tapi tetap
menembak, akibatnya ke mahkamah. "Sebab itu tepat ungkapan,
sebelah kaki polisi di penjara dan sebelah lagi di kuburan,"
kata Darmawan setengah bergurau.
Tak lupa Darmawan menyebut ada 23 orang anggota polisi di
scluruh Indonesia yang guur dalam menjalankan tugas selama ]
980. "Ada yang dibacok, dikeroyok atau ditikam penjahat," ujar
Darmawan mernperlihatkan daftar nama-nama petugas yang gugur
itu. "Cuma sayangnya, masyarakat selalu hanya memperhatikan
penjahat yang tertembak, tetapi tidak ada yang memperhatikan
keluarga korban kejahatan atau petdgas yang gugur," ujar
Darmawan.Tentu saja, karena petugas yang salah tembak masitl
dianggap kejadian "aneh".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini