BU Haji, Ny. Masitoh, membantah tuduhan seolah-olah ia menjadi
otak perampokan. Yang diakuinya adalah ikut menikmati hasil
perampokan yang dilakukan anaknya Tatang bersama komplotannya,
dan berada di luar rumah yang dirampok ketika terjadi perampokan
di Jatan Mundu Rawamangun, Jakarta Timur, bulan puasa lalu.
Mengenakan kebaya dan kain batik dengan selendang merah, di
tahanan wanita Blok A, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Ny.
Masitoh tidak mengesankan gambaran penduduk kampung Kadung
ampar, Rangkasbitung, Ja-Bar sebagai wanita tua, yang jago silat
dan banyak "ilmu" serta berpakaian nyentrik. (TEMPO. 29 Agustus
1981). Tambah lagi, Ny. Masitoh (50 tahun) dituduh mempunyai
"istri," Mursini (16 tahun), bekas pemain ronggeng.
Keterlibatannya dalam kasus perampokan itu, tutur Ny. Masitoh,
dimulai ketika ia kedatangan dua orang tamu, Armali dan istrinya
di rumahnya di Kadungampar, 9 km dari Rangkasbitung. Tamu itu
dikenalnya sebagai teman anaknya, Tatang, yang sedang mencari
anaknya. Tetapi Tatang tidak ada, dan kebetulan pula kata Ny.
Masitoh, ia juga sedang mencari-cari anaknya itu. Sebab itu, ia
mengikuti suami istri itu ke tempat tinggal mereka di
Tanjungpriok, Jakarta untuk mencari anaknya.
Ny. Masitoh melihat ada 6 orang anak muda di rumah Armali, namun
ia mengaku, tidak melihat Tatang. Malamnya rombongan anak muda
itu pergi dari rumah Armali. Tidak lama, ia juga pergi bersama
Armali dan seorang lainnya bernama Madoli, dengan taksi menuju
Pulo Gadung. Ny. Masitoh mengaku, di suatu tempat yang tidak ia
ketahui daerahnya, taksi berhenti. Waktu Armali pergi, Ny
Masitoh bersama Madoli menunggu di sebuah lapangan. Tetapi Ibu
Haji itu membantah, ia mengetahui saat itu sedang dilakukan
perampokan oleh komplotan Armali dan anaknya Tatang pada sebuah
rumah tak jauhdari tempatnya menunggu.
Setelah perampokan selesai, Armali muncul lagi. Setelah itu
mereka menuju Ciledug, rumah mertua Tatang. Di rumah itu, sudah
menunggu pemuda-pemuda yang sebelumnya dilihat Ny. Masitoh di
rumah Armali. Dan ada Tatang. Mereka yang jumlahnya sudah
menjadi 9 orang menurut Ny. Masitoh, waktu itu sedang membongkar
dua kopor besar.
Setelah itu Tatang dan teman temannya berbagi uang dan
masing-masing Rp 60.000. Ny. Masitoh dan Madoli (yang menunggu
di luar) diberi Rp 50.000. Sejauh itu Ny. Masitoh mengaku, masih
belum tahu apa yang terjadi. "Saya bertanya uang apa ini, tetapi
tidak ada yang menjawab," katanya. Namun ia membenarkan,
bagiannya itu diterimanya juga. "Uang itu saya bagi-bagikan
kepada 23 orang anak yatim di Kadungampar masing-masing Rp 300,
dan 1.300 saya sedekahkan ke langgar," ujarnya, tanpa
menyebutkan ke mana sisanya.
Ny. Masitoh -- kelihatannya cepat tertawa, dan cepat pula
berbalik murung - membenarkan, memelihara gadis Mursini di
rumahnya. Tetapi ia menyangkal melakukan hubungan sebagai
"suami-istri" dengan gadis itu. "Demi Allah, saya berani
bersumpah, tidak pernah melakukan zina, dan tidak pernah
melakukan hubungan yang menimbulkan gairah seks dengan Mursini,"
ujar Ny. Masitoh.
Pertama kali ia bertemu dengan Mursini, ketika gadis itu
mengadakan pertunjukan ronggeng di Somang, desa asal Ny.
Masitoh. Ia mengaku, mendatangi Mursini dan mengajak tinggal
bersamanya, asal gadis itu berhenti meronggeng. "Saya anggap
pekerjaan itu maksiat,"
kata Ny. Masitoh. Mursini akhirnya menerima tawaran itu, begitu
pula Ny. Saipah, ibu Mursini. Kedua wanita itu kemudian berdiam
di rumah Ny. Masitoh di Kadungampar, dan membuka toko keperluan
harian di sebagian rumah itu.
Mursini bersama ibunya, kata Ny. Masitoh, sudah ia anggap
sebagai saudaranya--sama halnya dengan janda Fatimah. Tapi ia
membantah "menceraikan" Fatimah, karena mendapat Mursini.
"Fatimah saya kawinkan," kata Ny. Masitoh. Niat yang sama juga
dikandungnya untuk Mursini. Untuk itu, Ny. Masitoh memilihkan
seorang keturunan Cina sebagai calon suami Mursini. "Tetapi
perkawinan itu mungkin tidak akan jadi, karena laki-laki itu
tidak mau disunat," kata Ny. Masitoh.
Mengaku pernah berguru pada Kiai Dahlan di Gombong, Banten,
menurut Ny. Masitoh ia diberi bacaan-bacaan dari Al Quran yang
harus dibacanya setiap selesai salat. "Hasilnya usaha saya
maju," ungkapnya. Karena kemajuannya itulah menurut Ny. Masitoh,
penduduk kampung Kadungampar, iri kepadanya.
Saya difitnah, dikucilkan, itulah sifat masyarakat desa yang
tidak baik," keluhnya sambil menuding-nudingkan telunjuknya.
Agar Insyaf
Anaknya Tatang, diakui Ny. Masitoh sebagai anak nakal dan suka
bergaul dengan orang yang lebih dewasa. Tatang putus sekolah,
hanya sampai SD, "sebab itu saya kawinkan, agar insyaf," ujar Bu
Haji itu.
Tatang, yang berwajah kekanak-kanakan, mengaku baru berusia 14
tahun. Ia membenarkan ikut terlibat dalam perampokan di Jalan
Mundu, Rawamangun bulan puasa itu,' "karena diajak teman-teman."
Sebelum perampokan dilakukan, Tatang ikut berkumpul di rumah
Armali di Tanjungpriok. Ketika itu menurutnya ia bertemu dengan
ibunya, dan saat perampokan akan dilakukan ibunya sembahyang.
Tatang mengakui juga, ibunya ikut ke tempat perampokan di
Rawamangun, dan menunggu di luar bersama Madoli. Namun menurut
Tatang, ibunya tidak terlibat dalam perarnpokan itu, "ibu tidak
tahu ketika itu saya ada di tempat itu," kata Tatang membela
ibunya.
Namun menurut pihak kepolisian, Ny. Masitoh turut terlibat.
Lettu Husin, Dan Unit Penindak Kores 705 Jakarta Timur,
menuturkan korban perampokan, Aswan Amir--majikan Armali sendiri
- diikat oleh komplotan rampok itu yang semuanya bersenjata
golok. Armali ang diduga sebagai "otak" perampokan, sampai
sekarang masih buron. Sementara Haji Masitoh diduga polisi
sebagai 'tokoh spiritual" dalam operasi perampokan itu.
Kebenarannya, tentu menunggu persidangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini