Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Pinjam mazhab (lain), apa salahnya?

Di desa kajen, jawa tengah, 35 ulama nahdlatul ulama membahas soal pinjam mazhab. karena adanya keterbatasan satu mazhab. diputuskan bahwa pinjam ma zhab boleh, asal syarat-syaratnya dipenuhi.

14 Maret 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEANDAINYA umat Islam Indonesia kukuh memegang mazhab Syafii, kata K.H. Ali Yafie, awal puasa di Aceh, Jakarta, dan Ujungpandang, misalnya, bisa tak serentak. Menurut Imam Syafii, hanya dalam satu kawasan yang secara geografis sama, kalender puasanya sama. Bila Jumat pekan lalu puasa serentak diawali dari Sabang sampai Merauke, itu karena umat Islam Indonesia yang mayoritasnya penganut mazhab Syafii, dalam hal ini, memakai dalil mazhab Maliki. Bagi Imam Maliki, kesamaan kalender puasa pada satu wilayah tak hanya ditentukan oleh kesamaan letak geografis. Tapi boleh lebih luas dari itu, misalnya karena wilayah itu disatukan dalam satu negara. Kalau begitu, bisakah umat Islam Indonesia, terutama mayoritas penganut Syafiinya, dibilang tak konsekuen, karena menggunakan dalil mazhab lain untuk mengatasi persoalan? Senin dua pekan lalu, di Desa Kajen Pati, Jawa Tengah, 35 ulama Nahdlatul Ulama membahas soal "pinjam" mazhab itu. Pendorong pertemuan ini tentu bukan cuma soal waktu awal puasa. NU, yang menganut mazhab Syafii, ternyata terpaksa melakukan mauquf untuk banyak persoalan, yakni membiarkan persoalan tetap mengambang, karena dalil dari mazhab Syafii kurang bisa dipakai menjawab masalah itu. Misalnya saja soal haramhalalnya bursa saham dan masalah-masalah baru yang lain. K.H. Sahal Mahfudz, Wakil Rais Am NU, dalam pertemuan di Kajen itu mengakui keterbatasan satu mazhab. Misalnya dalam soal berwudu. Menurut Imam Syafii, bila seorang lelaki bersentuhan dengan wanita, batallah wudunya. Tapi bagaimana di tempat-tempat ibadah yang penuh dikunjungi orang, misalnya di Masjidil Haram ketika musim haji, yang niscaya lelaki dan perempuan akan bersentuhan ketika tawaf, mengelilingi Ka'bah beramai-ramai? Dan kata K.H. Abdul Aziz Yasin, satu-satunya panelis dalam pertemuan itu, banyaknya masalah yang tak bisa dijawab hanya oleh satu mazhab itu seluas "samudra masail fiqhiyah," seluas masalah fiqih itu sendiri. Maka, diusulkanlah intiqol madzhab, atau arti bebasnya "pinjam mazhab" sebagai salah cara untuk memecahkannya. Langkah ini menunjukkan adanya perubahan sikap dalam diri para ulama NU. Tadinya, mereka hanya terpaku pada pendapat-pendapat yang ada di mazhab Syafii, kini dengan cara ini mereka mencoba melirik tiga mazhab yang lain: Hanafi, Maliki, dan Hambali. Dalam banyak soal keempat Imam besar itu memang menjawab masalah dengan pemecahan yang berbeda, tanpa menyimpang dari Quran dan hadis. Soal tawaf yang bisa membuat batal wudu itu, misalnya, bagi Imam Hanafi tak jadi masalah. Juga soal zakat tanaman pokok yang harus dibayar dengan tanaman itu sendiri, misalnya. Menurut Syafii, zakat tanaman harus dibayar dengan tanaman. Dalil ini bisa menyulitkan di zaman sekarang, ketika tak semua petani secara langsung menangani sendiri tanamannya. Tapi mereka menyerahkan pada orang lain, dan hanya tahu terima uangnya. Dalam hal yang demikian itu, cocoklah dalil mazhab Hanafi, yang menyatakan zakat tanaman pokok boleh saja dibayar dengan uang yang setara. Yang kemudian dibahas dalam pertemuan dua pekan lalu itu, bagaimana tata cara "pinjam mazhab" itu. Lalu, bolehkah orang mencampuradukkan dalil-dalil keempat imam dengan hanya mengambil dalil yang dianggap paling meringankan kewajiban umat, misalnya? Ternyata tidak. Ada syarat-syarat yang mesti dipenuhi dalam intiqol madzhab itu. Antara lain, "peminjam" mesti memahami tadwin fikih, bisa mengidentifikasi masalah dengan benar, dan sudah mengkaji alternatif-alternatifnya sampai tuntas. Itu masih ditambah dengan larangan untuk melakukan talfiq, yaitu meramu komponen-komponen dari dua mazhab menjadi satu bentuk yang baru. Talfiq inilah, menurut Abdul Aziz Yasin, yang menyebabkan orang bermazhab selama ini enggan melakukan intiqol madzhab. Sebab, setelah melakukan "pinjam mazhab", langkah lebih maju lagi jadi terbuka dan menggoda. Yakni untuk memadukan dua dalil dari dua mazhab. Jadinya, ini bukan soal pinjam lagi, tapi lebih dari itu, sudah "melahirkan" mazhab baru, yang masih perlu diuji. Tampaknya memang hanya berkukuh dalam satu mazhab, dalam dunia yang katakanlah hampir tiap hari muncul masalah baru, bisa ketinggalam zaman. Kata Kiai Sahal Mahfudz, Wakil Rais Am NU itu, ini semua berguna untuk pegangan para kiai dalam memutuskan sesuatu. Bila tak ada dalilnya dalam mazhab Syafii, misalnya, kini sah mengambil dalil dari tiga mazhab yang lain. Julizar Kasiri (Jakarta) dan Bandelan Amarudin (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus