Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Pendidikan

PPNI: Alur Birokrasi Panjang, Insentif Tenaga Medis Belum Merata

Dari temuan PPNI insentif sebenarnya sudah turun bagi kebanyakan tenaga medis di rumah sakit-rumah sakit rujukan utama di DKI Jakarta.

25 Juni 2020 | 18.50 WIB

Tenaga medis di Laboratrium tes Polymerase Chain Reaction (PCR) di Tower 4 Wisma Atlet, Kemayoran, Jakarta, Jumat 15 Mei 2020. Dokter dan tenaga medis harus dipastikan keamanan APD, mulai dari memakai hingga melepas melalui prosedur yang ketat untuk menghindari tertular virus Covid-19, selain itu petugas medis juga memerlukan usaha yang besar karena harus menahan panas hingga buang air kecil selama kurang lebih 8 jam lamanya. TEMPO/Nurdiansah
Perbesar
Tenaga medis di Laboratrium tes Polymerase Chain Reaction (PCR) di Tower 4 Wisma Atlet, Kemayoran, Jakarta, Jumat 15 Mei 2020. Dokter dan tenaga medis harus dipastikan keamanan APD, mulai dari memakai hingga melepas melalui prosedur yang ketat untuk menghindari tertular virus Covid-19, selain itu petugas medis juga memerlukan usaha yang besar karena harus menahan panas hingga buang air kecil selama kurang lebih 8 jam lamanya. TEMPO/Nurdiansah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta- Ketua Umum Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI ) Harif Fadhilah mengatakan panjangnya alur birokrasi menjadi salah satu masalah belum meratanya insentif bagi tenaga medis di daerah-daerah.

"Kalau yang berhubungan dengan pemerintah daerah, ini prosesnya lebih panjang. Harus ke Dinas Kesehatan juga harus diusulkan. Verifikasinya lebih panjang," ujar Harif saat dihubungi Tempo, Kamis, 25 Juni 2020.

Dari temuan PPNI, Harif mengatakan, insentif sebenarnya sudah turun bagi kebanyakan petugas medis di rumah sakit-rumah sakit rujukan utama di DKI Jakarta, seperti Rumah Sakit Persahabatan, Rumah Sakit Sulianti Saroso, hingga Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto. Menurutnya, hal ini dikarena rumah sakit tersebut berhubungan langsung dengan Kementerian Kesehatan.

Di daerah, rumah sakit yang ditunjuk oleh pemerintah daerah sebagai rujukan harus menghitung ulang teknis insentif yang didapat oleh masing-masing tenaga kesehatan. Ia mencontohkan untuk perawat, insentif sebesar Rp 7,5 juta diberikan bagi yang bekerja secara penuh 22 hari kerja dalam sebulan.

"Kalau dia hanya 10 hari kerja berarti hitungannya beda. Nah faktor-faktor hitungan ini, administratif ini juga yang menghambat. Itu yang saya dapatkan kondisi lapangan," kata Harif.

Alur ini diperburuk oleh sosialisasi yang belum maksimal. Banyak petugas medis yang belum tahu jumlah insentif yang diterima sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes/KMK) nomor HK.01.07/MENKES/278/2020. Selain itu, bila besaran insentif per masing-masing tenaga medis sudah diketahui, datanya harus diserahkan dulu ke Dinas Kesehatan Provinsi, sebelum diserahkan ke Kementerian Kesehatan.

"Hambatan tadi birokrasinya itu yang harus mampir di pemerintahan daerah. Lebih baik transfer langsung ke rumah sakitnya. Karena kondisi wabah, tentu kita harus buat breakthrough untuk membuat terobosan untuk proses proses itu," kata Harif.

Harif mengatakan di lapangan, insentif ini sebetulnya tidak dikeluhkan oleh tenaga medis. Namun keberadaan insentif, sebut Harif, akan sangat menambah motivasi bagi para garda terakhir penanganan Covid-19 tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Egi Adyatama

Bergabung dengan Tempo sejak 2015. Alumni Universitas Jenderal Soedirman ini sejak awal meliput isu politik, hukum, dan keamanan termasuk bertugas di Istana Kepresidenan selama tiga tahun. Kini menulis untuk desk politik dan salah satu host siniar Bocor Alus Politik di YouTube Tempodotco

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus