PARTAI Persatuan Pembangunan ternyata tetap belum akur.
Pertemuan konsultasi antara pimpinan PPP dengan Lembaga
Pemilihan Umum (LPU) Jumat pekan lalu belum berhasil
menyelesaikan urutan daftar dan jumlah calon anggota DPR dari
masingmasing unsur partai.
Partai ini meminta pengunduran batas waktu untuk berembuk lagi
sampai 27 Oktober mendatang. Sebelumnya PPP telah meminta
penundaan jadwal penyerahan daftar calon dari tanggal 27
September menjadi 1 Oktober, dan mengulur waktu penyerahan
urutan daftar calon 12 Oktober.
Rupanya pertikaian dalam menentukan kursi wakilnya di DPR belum
dapat diatasi. Tuntutan MI (Muslimin Indonesia) agar jumlah.
wakil satu unsur tidak lebih besar dari tiga unsur lainnya tetap
ditolak kelompok terbesar NU. Alasannya: pembagian kursi harus
berdasarkan konsensus dewan partai 1975. "Kalau menghendaki
perubahan komposisi, harus ditinjau kembali konsensusnya," kata
H.M. usuf Hasyim, Ketua I PBNU. Artinya, NU saat ini memperoleh
56 buah dari 99 kursi yang direbut PPP dalam Pemilu 1977.
Komposisi MI
Sikap NU ini membuat tiga unsur lainnya agak jengkel. "Kalau NU
tetap mempertahankan itu, masalah pencalonan dan daftar urutan
tidak bakal selesai," kata Sudardji, Ketua DPP-MI pada TEMPO.
Menurut dia, penyelesaian hanya bisa dicapai bila NU menerima
perubahan komposisi seperti usul MI.
Menghadapi perbedaan pendapat ini, kabarnya Mendagri Amirmachmud
menyodorkan usul agar NU bersedia melepas sekitar 7 sampai 10
kursi jatahnya. Tapi saran itu pun dinilai Sudardji belum
memuaskan. "Kami tolak komposisi itu karena belum menjamin
kegiatan politik PPP bakal sesuai dengan undang-undang
parpol-Golkar," katanya keras.
Padahal, kalau saran itu diterima tiga unsur non-NU yang selama
ini hanya mendapat sekitar 45 persen akan meningkat menjadi 50
persen.
Masalah lain yang masih mengganjal kesepakatan partai itu ialah
soal urutan daftar calon. NU tetap mempertahankan urutan seperti
Pemilu 1977. Urutan pertama sampai empat untuk NU, dua nomor
berikutnya untuk MI dan kemudian satu nomor untuk SI dan Perti.
Kabarnya, tiga unsur lainnya meminta perombakan komposisi urutan
dafur calon itu. menjadi tiga nomor pertama untuk NU, dua nomor
berikutnya untuk MI sedang SI dan Perti masing-masing satu
nomor. "Dengan komposisi itu, praktis jatah NU akan, berkurang,"
kata seorang pimpinan PB NU.
Kesulitan lain para calon PPP: soal izin calon anggota DPR yang
kini menjadi pegawai negeri. Departemen P&K dan Agama tidak
membolehkan pegawainya menjadi calon parpol. Dari para calon PPP
untuk DPRD I Ja-Teng, misalnya, 59 orang terpaksa mendapat
kesulitan karena adanya instruksi Menteri Agama Alamsyah
tersebut. "Satu-satunya jalan kalau tetap ingin menjadi anggota
DPR mereka harus berhenti sebagai pegawai negeri," kata Karmani,
dosen Universitas Diponegoro Semarang yang tidak aktif mengajar
sejak 1971 karena menjadi anggota DPR. Akhirnya yang memilih
mundur sebagai pegawai negeri dan bersedia dicalonkan cuma 32
orang saja.
Hambatan yang sama juga terjadi di Ja-Tim. Dari daftar calon
yang dikirim DPW PPP Ja-Tim, ada 13 orang pegawai negeri. Yang
memutuskan mengundurkan diri sebagai pegawai Departemen Agama
dan sudah mendapat surat pemberhentian enam orang. Tapi ternyata
masih ada beberapa lagi yang sedang menimbang. "Saya masih belum
menetapkan, akan meneruskan sebagai calon anggota DPR atau
berhenti sebagai pegawai negeri," kata Ali Haidar, pegawai
Kanwil P&K Ja-Tim yang dicalonkan untuk DPR Pusat.
Yang optimistis bakal terpilih menjadi anggota DPR memang dengan
cepat bisa memutuskan kesulitan itu. Misalnya Atabik Ali, putra
pertama Rais Aam NU Kiai Ali Ma'shum dari Yogyakarta. Sebelum
namanya masuk pencalonan, guru Madrasah Aliyah Pondok Krapyak
itu telah meminta agar dicopot dari pegawai negeri. "Saya mundur
agar bisa bebas bergerak," kata calon nomor pertama untuk DPR
dari Daerah Istimewa Yogyakarta itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini